Menuju konten utama

HIPMI Sebut Penerbitan Global Bond Bebani Dunia Usaha

HIPMI memperkirakan surat utang global itu berpotensi lebih banyak mudaratnya meski pemerintah bisa mendapatkan dana segar dengan waktu singkat.

HIPMI Sebut Penerbitan Global Bond Bebani Dunia Usaha
Petugas menata tumpukan uang dolar AS di Cash Center Bank Mandiri, Jakarta, Rabu (18/4/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Ajib Hamdani mengkritik rencana penerbitan global bond dengan nilai terbesar dan tenor terpanjang dalam sejarah Indonesia.

Menurut Ajib penerbitan surat utang global itu berpotensi lebih banyak mudaratnya dalam jangka panjang meski saat ini pemerintah bisa mendapatkan dana segar dengan waktu singkat dalam rangka penanganan COVID-19.

“Dengan tambahan hutang dan bunga yang tinggi dan unstructured ini, maka akan banyak crowding out dalam 50 tahun ke depan untuk pembayaran hutang,” ucap Ajib dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Ahad (12/4/2020).

Adapun crowding out yang dimaksud Ajib berkaitan dengan situasi terbatasnya pendanaan yang tersedia di Indonesia. Masalahnya saat perebutan uang ini terjadi maka pemerintah dan swasta bakal beradu agar kebutuhan uang masing-masing bisa terpenuhi. Namun biasanya obligasi yang diterbitkan pemerintah lebih menarik bagi pasar karena relatif lebih aman.

Masalahnya kata Ajib utang ini bersifat jangka panjang sampai 50 tahun masa tenor. Lalu ada tingkat suku bunga cukup tinggi. Selain menimbulkan crowding out, ia juga yakin defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD) bakal semakin memburuk.

Ajib juga menambahkan utang ini nantinya bakal membebani dunia usaha secara tidak langsung. Pasalnya penopang utama pembayaran utang mau tidak mau pasti berasal dari pajak.

Di sisi lain, usai pemberlakuan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang membuka berbagai kunci relaksasi pajak diterapkan lebih awal sebelum omnibus perpajakan, maka ada potensi kehilangan pajak cukup besar hingga beberapa tahun ke depan. Alhasil ia bilang pemerintah terpaksa mencari pajak baru untuk menambal selisih target dan realisasi penerimaan pajak atau shortfall tersebut.

“Ini yang dikhawatirkan menimbulkan kontraproduksi ekonomi ke depannya dan memperlambat perekonomian karena pajak akan semakin digenjot,” ucap Ajib.

Ajib menyarankan agar pemerintah mengoptimalkan lebih dulu dana yang ada. Misalnya pemakaian cadangan devisa BI karena risiko crowding out ke depannya lebih minim.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didin S. Damanhuri juga menyarankan opsi pemanfaatan anggaran yang sudah ada lebih maksimal lagi. Menurutnya surat utang global ini berpotensi membebani negara.

Didin menaranka pemerintah menguras anggaran yang sudah dialokasikan terlebih dahulu dari capaian penghematan Rp190 triliun yang sudah pernah diumumkan. Sebab total kebutuhannya mencapai Rp405,1 triliun.

“Menunda proyek-proyek kurang prioritas seperti ibu kota negara, kereta cepat, dan sebagainya,” ucap Didin dalam siaran live di akun Youtube Indef, Senin (13/4/2020).

Baca juga artikel terkait SURAT UTANG NEGARA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan