Menuju konten utama

Utang RI dengan Masa Pelunasan Terlama Sepanjang Sejarah

Pemerintah menerbitkan surat utang internasional dengan durasi pelunasan terlama sepanjang sejarah.

Utang RI dengan Masa Pelunasan Terlama Sepanjang Sejarah
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan kepada media tentang Stimulus Kedua Penanganan Dampak Covid-19 di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/3/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/ama.

tirto.id - Pemerintah Indonesia baru-baru ini menerbitkan obligasi jumbo dalam bentuk dolar AS. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan mencatatnya sebagai surat utang global yang memiliki tenggat pelunasan (tenor) terpanjang dalam sejarah penerbitan global bond Indonesia.

Total surat utang yang dirilis di tengah kebutuhan anggaran besar untuk penanganan wabah COVID-19 itu mencapai 4,3 miliar dolar AS atau setara Rp112 triliun (kurs Rp16 ribu per dolar AS).

Penerbitan global bond ini dipecah menjadi tiga: 1,65 miliar dolar AS dengan tenor 10,5 tahun dan imbal hasil (yield) 3,9 persen; 1,65 miliar dolar AS dengan tenor 30,5 tahun dan yield 4,25 persen; dan terakhir, 1 miliar dolar AS dengan tenor 50 tahun dan yield 4,5 persen.

Soal tenornya yang mencapai setengah abad, kata Sri Mulyani, dilakukan untuk menekan beban angsuran serta mempertimbangkan jatuh tempo surat utang negara lain yang bertenor pendek.

“Ini juga menunjukkan kepercayaan investor terkait kondisi ekonomi dan pengelolaan keuangan negara,” ucapnya.

Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia Ramdhan Ario Maruto menilai global bond ini mau tak mau memang harus diterbitkan. Sebabnya, pemerintah telah mengumumkan kebutuhan tambahan belanja sebanyak Rp405 triliun.

Dalam Perpres No. 50 tahun 2020 yang diterbitkan Jokowi, pembiayaan utang dipastikan bertambah menjadi Rp654,5 triliun dalam APBN Perubahan alias naik hampir dua kali lipat dari Rp351,9 triliun di APBN 2020.

Untuk mencapai kebutuhan tersebut, agak sulit jika pemerintah hanya mengandalkan pasar SBN domestik, apalagi jika mau mendapat uang segar dalam jumlah besar dan jangka waktu relatif singkat. Alhasil, pemerintah pun dengan lekas berpaling ke luar.

“Maka dipilih global bond dan target global investor. Bisa dapat uang lebih banyak sekali penerbitan. Liquid sekali Rp70 triliun ini,” ucap Ramdhan saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (8/4/2020).

Ramdhan juga yakin masih akan ada penerbitan tahap dua untuk memenuhi kebutuhan anggaran saat ini. Di sisi lain, pemerintah juga tengah berhitung lantaran beban utang mereka saat ini sudah cukup berat.

Menurutnya hal ini menjadi alasan pemerintah menerapkan skema tenor sangat panjang bahkan menjadi patokan baru dalam penerbitan utang selanjutnya.

“Ada 10, 30, dan 50 tahun. Saya lihat ini profiling utang-utang kita jadi pemerintah mengatur jatuh tempo utang-utangnya ke belakang. Beban sekarang masih besar untuk jangka pendek,” ucap Ramdhan.

Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar B. Hirawan menilai yield dari obligasi jumbo ini masih dalam level yang bisa diterima.

Ia mencontohkan yield global bond kemarin berada di kisaran 3,9-4,5 persen lebih rendah dari yield obligasi 10 tahun Indonesia di kisaran 6,5-8 persen.

Di sisi lain, penerbitan obligasi dalam dolar tentu bakal menambah cadangan devisa Bank Indonesia. Menurutnya, obligasi ini memang sengaja dilakukan untuk dua fungsi yaitu pembiayaan APBN dan cadangan devisa.

Namun, ia menilai pemerintah masih punya PR besar untuk mempertahankan antusiasme investor global membeli obligasi Indonesia. Pasalnya kegagalan menjaga faktor ini bisa berujung pada melonjaknya bunga utang.

“Kan, investor respons pada tingginya yield. Kalau memang tidak antusias, penerbitan obligasi akan dilakukan dengan yield yang lebih tinggi,” ucap Fajar saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (8/4/2020).

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah juga memberi catatan penerbitan obligasi atau surat utang tetap perlu memperhatikan sejumlah risiko. Salah satunya terkait dominasi kepemilikan asing pada surat utang pemerintah yang saat ini berada di kisaran 35-40 persen. Jumlahnya lebih besar dari Thailand, Malaysia, maupun Cina.

Besarnya kepemilikan ini bisa membuat perekonomian rentan dari bahaya pelarian modal tiba-tiba atau sudden capital outflow. Selama Januari-Maret 2020 kemarin saja risiko ini sudah terasa pada nilai tukar dengan pelemahan rupiah sebanyak 17,4 persen.

“Pelemahan nilai tukar Rupiah merupakan salah satu pelemahan terdalam di dunia,” ucap Piter dalam keterangan tertulis, Kamis (9/4/2020).

Di sisi lain, ia juga mengingatkan risiko crowding out effect. Maksudnya, kebutuhan anggaran ini bakal membuat pemerintah dan swasta berebut dana segar dalam bentuk obligasi. Dampaknya sumber pembiayaan akan semakin sulit dan dan berimbas pada tingginya bunga utang yang harus dibayar keduanya.

Baca juga artikel terkait UTANG INDONESIA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana