tirto.id - Pertengahan Agustus lalu, media di Amerika Serikat mengungkap bahwa generasi yang lahir setelah 1980 dan sebelum 2000 tidak begitu mencintai calon Presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump. Klaim itu didasarkan pada survei USA Today/Rock the Vote Poll yang menunjukkan Trump tak populer di kalangan generasi milenial yang seangkatan dengan putrinya Ivanka.
Laporan USA Today mengungkapkan dukungan responden yang berusia di bawah 35 tahun terhadap Donald Trump hanya sebesar 20 persen. Sedangkan dukungan untuk Hillary Clinton mencapai sekitar 56 persen. Ini adalah dukungan terendah dari generasi muda atau milenial terhadap capres Republik. Gallup Organization menyebut dukungan kaum muda terhadap mendiang Richard Nixon yang diklaim terburuk pun masih lebih tinggi dari angka 20 persen tersebut.
Dua minggu sebelum pemilihan presiden Amerika Serikat digelar, atau pada akhir Oktober lalu, hasil survei Reuters menyebutkan Hillary Clinton kembali unggul atas calon dari Partai Republik Donald Trump sebesar 15 persen di kalangan kaum milenial. Clinton juga unggul di negara-negara bagian yang suara pemilihnya mudah berubah seperti Ohio dan Arizona, serta basis Partai Republik seperti Georgia dan Texas.
Laporan dari Reuters, Minggu (30/10/2016), Clinton telah memimpin rata-rata 4-7 persen pada jajak pendapat beberapa pekan terakhir sebelum hari-H. Sebabnya: Trump terbelit masalah pelecehan seksual. Trump juga harus berjuang menghadapi isu terkait pajak serta kontroversinya yang membuat ia ditinggalkan para milenial.
Jika dibandingkan 8 tahun lalu, keunggulan Hillary meraih simpati dari para milenial ini mirip dengan Presiden Barack Obama atas calon dari Partai Republik saat itu, Mitt Romney pada 2012. Tapi ternyata hasilnya kemudian tak sama-sama amat.
Survei memang menunjukkan Hillary memimpin pada generasi milenial, namun survei terakhir Reuters menunjukkan adanya peningkatan jumlah pemilih muda yang mendukung Trump. Jika sebelumnya terpaut 36 persen, terakhir jadi hanya terpaut 15 persen. Sampai detik-detik akhir, Hillary dan timnya tampaknya tak menyadari pergerakan ini. Mereka sepertinya terbuai oleh berbagai survei yang meletakkan nama Hillary sebagai pemenang.
Pada 8 November malam, hitung cepat menuju Gedung Putih antara Hillary Clinton dan Donald Trump pun berakhir. Kemenangan ternyata diraih Donald Trump, sang miliarder nyentrik. Kekalahan Hillary diduga disebabkan tidak munculnya pendukung sebesar yang diharapkan, misalnya pemilih dari kalangan Afro-Amerika, Latin, juga pemilih muda atau milenial.
Pentingnya Dukungan Milenial
Sejak pilpres Amerika Serikat 2008, suara generasi muda menjadi hal penting. Pada pilpres 2008 dan 2012, presiden yang menang dalam pilpres adalah yang mendapat dukungan maksimal dari kaum milenial. Kontributor Huffington Post David Cahn yang menghabiskan dua tahun untuk berbicara dengan para milenial, berpendapat pengabaian suara milenial adalah kesalahan besar.
“Saya pikir pemilu ini akan menjadi kisah bagi para milenial. Jika mereka berpikir untuk mendukung Hillary, ia akan menang. Jika tidak, maka ia akan kalah,” kata David seperti dilaporkan US News.
Strategi memikat para milenial ini dijalankan oleh Obama pada 2012 yang meraup 60 persen suara kelompok usia ini. Cerita sukses ini ingin diulang Hillary, namun rupanya gagal. Hasil poling menunjukkan secara nasional Hillary hanya mendapat 55 persen suara atau turun 5 persen dari rekan separtainya Obama.
Trump yang semula dianggap tidak disukai para milenial ternyata mampu mendapat 37 persen suara. Angka sama yang diperoleh rekan separtainya, Mitt Romney pada 2012 lalu.
Penurunan suara milenial untuk Hillary ini terjadi di sekitar 10 negara bagian. Menurut NPR, negara bagian yang meninggalkan Hillary adalah Iowa. Di wilayah itu terjadi penurunan hingga 22 persen dibandingkan persentase yang diperoleh Obama. Begitupun di Nevada. Di wilayah tersebut, pemilih milenial yang meninggalkan Hillary mencapai 21 persen.
Tapi faktor kekalahan utama Hillary adalah karena ia tak meemnangkan hati milenial di negara-negara bagian yang berayun, negara-negara bagian penentu macam Florida, Wisconsin, dan Pennsylvania. Ia masih memang masih memenangkan suara anak muda, tapi tak sebesar kemenangan Obama. Di Florida, kemenangannya lebih kecil 16 persen dari Obama; di Wisconsin lebih kecil 20 persen; dan di Pennsylvania lebih kecil 19 persen.
Sarah Ricker yang berasal dari Pennsylvania yang memilih Hillary mengungkapkan dirinya sesungguhnya semangat memilih perempuan. “Saya hanya berharap itu bukan dia. Saya berharap ada orang yang sedikit lebih meyakinkan. Dia berpengalaman, ia pintar, ia tau apa yang ia lakukan. Tetapi ia tidak menarik. Ia tidak memiliki daya tarik yang sama seperti yang dimiliki Obama,” ujar Sarah kepada NPR.
Pendapat lain datang dari Brian Aulisio. Sebelumnya ia memilih Obama dalam dua pemilihan presiden, tapi kali ini ia memilih Trump, calon dari Republik.
“Obama adalah calon yang menginspirasi, ia menginspirasi banyak orang. Entah kamu Republikan atau Demokrat. Ia lebih inspiratif dari Hillary. Ia [Hillary] jelas lebih korup,” kata Brian.
Ronald Corales yang orang tuanya datang ke AS secara ilegal pada 1980-an juga memilih pengusaha nyentrik Trump meski ia tahu Trump berjanji akan membangun tembok di perbatasan selatan. “Semua orang sudah bangun. Skandal email [pada Hillary] adalah hal besar bagi saya. Trump bukan favorit saya. Tapi menurut saya ia lebih dari Hillary,” ujar Ronald.
Dari segi ras dan etnis menurut civicyouth.org, pemilih muda dari keturunan Afrika-Amerika yang mendukung Obama besarnya 91 persen. Kini hanya 83 persen yang mendukung Hillary. Begitupun keturunan Latin di mana sebelumnya Obama mendapat 74 persen suara, sekarang hanya 70 persen yang memilih Hillary. Adapun dari milenial kulit putih, Hillary hanya mendapatkan 43 persen suara.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani