tirto.id - Tahun lalu, nasib baik tak memihak I Nyoman Sudastra. Lesunya harga rumput laut membuat Nyoman merugi. Rumput laut jenis katoni yang biasanya laku dijual Rp10.000 per kilogram, susut menjadi hanya Rp7.000.
Nyoman tak sendiri, nasib buruk itu juga menimpa seluruh petani rumput laut di Nusa Penida, Bali. Bukan hanya harganya saja yang murah, cuaca tak menentu membuat hasil panen tak sebanyak biasanya. Dibandingkan hasil panen tahun 2014, terjadi penurunan 30 persen.
Tak hanya di Nusa Penida, para petani di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur juga ikut menjerit. Harga rumput laut yang semula dipatok Rp14.000, merosot menyentuh angka Rp8.000 per kilogram.
Sahrul, salah satu petani mengatakan, hasil penjualan gagal menutupi biaya operasional. Untuk satu keramba ukuran 70 tali, dia harus mengeluarkan modal Rp455.000. Ketika panen, hasil 70 tali itu hanya dihargai Rp360.000.
Cuaca yang tak bersahabat membuat proses pengeringan rumput laut tak maksimal. Akibatnya, hasil panen petani dihargai murah. Hal ini tak akan terjadi jika para petani tidak hanya bergantung pada budidaya, tetapi juga bisa melakukan pengolahan dengan mesin-mesin sederhana untuk mencuci, meniriskan, merajang, dan menggiling menjadi tepung. Harga jual rumput laut yang telah diolah akan naik setidaknya tujuh kali lipat.
Apabila ditarik dalam skala makro, anggaplah petani-petani ini seperti negara penghasil rumput laut yang menjual hasil panennya ke negara lain. Ekspor rumput laut kering hanya dihargai 0,3 dolar per kilogram. Jika diolah sedikit menjadi semi refined carrageenan atau karagenan kasar, nilai jualnya naik menjadi 6 dolar per kilogramnya. Harga naik lagi menjadi 10 dolar jika diolah menjadi karagenan halus.
Karagenan adalah salah satu hasil olahan rumput laut yang digunakan sebagai bahan pengenyal, pengental, pengemulsi, penstabil, dan bahan pengikat. Ia kerap digunakan pada bakso dan jelly. Selain untuk industri makanan, karagenan juga digunakan dalam manufaktur keramik, farmasi, dan pupuk.
Menteri Perindustrian Saleh Husin mengatakan dari total produksi rumput laut kering dunia, Indonesia memasok sekitar 56 persen setiap tahunnya. Sayangnya, mayoritas pasokan ke pasar global itu belum diolah. Padahal, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat ada sekitar 500 jenis produk turunan di mana rumput laut sebagai bahan bakunya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat produksi rumput laut basah Indonesia pada tahun 2015 mencapai 10,3 juta ton. Jika dikonversi menjadi rumput laut kering, jumlahnya sekitar 1,03 juta ton.
Jenis rumput laut Indonesia mampu menghasilkan agar-agar, karagenan, dan alginate. Agar-agar bisa diolah menjadi produk akhir pangan, farmasi, kosmetik, dan tisu. Karagenan biasanya dianfaatkan sebagai pembuat saus, pakan ternak juga farmasi. Sedangan alginate dapat diolah menjadi tekstil dan kosmetik selain bahan pangan dan farmasi.
Dua jenis produk hilir rumput laut yang kerap diekspor Indonesia adalah agar-agar dan karagenan. Dalam satu dekade terakhir, trennya terus menurun. Pada 2010, angka ekspor tumbuh 30,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, pada 2013, pertumbuhan ekspor hanya menyentuh angka 5,21 persen.
Sementara Indonesia mengimpor produk hilir rumput laut dengan tren yang terus meningkat. Padahal, dengan potensi bahan baku yang berlimpah, Indonesia harusnya bisa memroduksi sendiri kebutuhan produk hilir ruput lautnya. Hilirisasi industri adalah kunci.
Hilirisasi industri rumput laut ini sudah digagas sejak Menteri KKP belum dijabat Susi Pudjiastuti. Setidaknya pada tahun 2011, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) pernah membahas soal hilirisasi industri pertanian, termasuk di dalamnya industri rumput laut.
Pembahasan itu dilakukan pada Rapat Koordinasi Pangan Kadin. Salah satu targetnya adalah meningkatkan nilai tambah dan diversifikasi produk turunan rumput laut.
Kadin menjabarkan enam permasalahan utama hilirisasi industri rumput laut kala itu. Pertama, tidak adanya kepastian jaminan pasokan bahan baku. Kedua, Terbatasnya kekuatan penetrasi pasar dalam negeri. Ketiga, Belum berkembangnya teknologi pengolahan rumput laut dan pemanfaatan produksi hidrokoloid.
Keempat, terbatasnya jaringan insfrastruktur pendukung seperti transportasi, energi, dan pelabuhan di sentra-sentra potensi rumput laut. Kelima, belum berkembangnya industri penyedia bahan pendukung dan penghasil alat pengolahan. Terakhir, terbatasnya kualitas SDM.
Atas enam permasalahan itu, Kadin merumuskan tiga rencana aksi, yaitu; pengembangan kawasan industri, pengembangan pasar, peningkatan kegiatan penelitian, dan pengembangan industri rumput laut. Lima tahun berselang, angka ekspor rumput laut kering masih tinggi, tak pernah kurang dari 50 persen.
Awal 2013, pemerintah pernah pasang target tak lagi mengekspor rumput laut mentah, melainkan produk olahan. KKP pun menggaet swasta untuk investasi di sektor hilir.
Awal tahun itu, ada enam perusahaan yang tertarik dan menggelontorkan Rp165 miliar untuk investasi. Mereka membangun fasilitas pengolahan rumput laut. Kapasitas produksinya 100 ton per bulan. Bahan baku diperoleh dengan sistem kemitraan dengan para petani.
Upaya hilirisasi industri rumput laut masih jauh untuk dikatakan berhasil, tetapi memang terlalu kejam jika disebut gagal. Sampai saat ini, pemerintah masih tampak terus berupaya.
Tahun lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan akan melarang ekspor rumput laut mentah mulai 2018. Sembari menunggu, peta jalan digodok. Di dalamnya, ditentukan target produksi, arah pengembangan hingga rencana aksi untuk mencapai sasaran pengolahan rumput laut. Tak hanya KKP, Kemenperin dan Kementerian Perekonomian juga ikut ambil peran. Tetapi, sampai saat ini, belum ada kepastian kapan peta jalan itu bisa dirampungkan.
Larangan ekspor tanpa adanya serapan bahan baku di dalam negeri jelas mustahil. Safari Aziz, Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) pun berkata demikian. Dia mengambil contoh Sumba. Salah satu pulau di Nusa Tenggara Timur itu mampu menghasilkan 100.000 ton rumput laut per tahun. Tetapi hanya 40 persen yang mampu diserap pabrik setempat. Sisanya, diekspor ke luar negeri. Aziz pun meminta pemerintah membatalkan aturannya jika tidak bisa memastikan seluruh rumput laut itu bisa diserap industri hilir dalam negeri.
Mengapa hilirisasi ini tak kunjung terealisasi? Kadin sudah menjabarkan enam permasalahannya. Pertanyaannya, apakah permasalahan itu sudah diselesaikan satu per satu?