tirto.id - Tiga tahun lalu beredar berita tentang surat nikah dan surat cerai antara Inggit Garnasih dengan Sukarno yang hendak dijual Tito Z. Harmaen, cucu angkat Inggit Garnasih. Surat-surat itu ditawarkan kepada masyarakat lewat sebuah akun instagram.
Kejadian ini sontak mencuri perhatian masyarakat. Mereka menyayangkan dan mendorong pemerintah untuk menjaga dan merawat surat bersejarah tersebut.
Kisah cinta keduanya terjadi di Kota Bandung. Sukarno, yang saat itu mahasiswa dan sedang merintis karier di dunia politik, menjalin hubungan asmara dengan ibu kosnya.
Di usia relatif muda, Sukarno memberanikan diri mengungkapkan rasa cintanya kepada Inggit. Meskipun keduanya kala itu sudah menikah alias masing-masing telah memilki pasangan resmi, Inggit memberi sinyal positif atas cinta yang diutarakan oleh Sukarno.
Di rumah orang tuanya, Inggit kemudian disahkan menjadi istri Sukarno pada 1923. Dalam buku Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan K.H. yang terbit pertama kali tahun 1981, rumah tersebut dimiliki oleh keluarga Inggit dari pihak ibu.
Ketika Sukarno dibuang ke Ende pada tahun 1933, rumah tempat Inggit melewati masa kanak-kanak dan remaja itu harus direlakan menjadi milik orang lain. Rumah itu dijual karena Inggit serta ibunya tidak tahu kapan akan kembali ke Bandung.
Dalam penuturan Inggit kepada Ramadhan K.H., rumah orang tuanya itu berada di Jalan Javaveem yang terletak di antara gudang yang dimiliki perusahaan bernama Javaveem di Jalan Braga dengan Sungai Ci Kapundung.
Javaveem dan Bandung yang Terus Berubah
Javaveem berdiri sekitar tahun 1896. Di Bandung, perusahaan yang bergerak di bidang ekspedisi ini membuka kantor dan gudang di tepi Jalan Braga. Lokasinya sekarang dekat dengan persilangan rel kereta api dan ditempati oleh Bank Mandiri Kantor Cabang Braga.
Gudang Javaveem, menurut Us Tiara dalam buku Basa Bandung Halimunan (2011) merupakan salah satu dari beberapa gudang besar di Bandung. Selain Javaveem, ada juga gudang kopi milik pemerintah di Jalan Kebon Jati, gudang sayur mayur di Jalan Oto Iskandar Dinata, dan gudang uyah (garam) di seberang gudang Javaveem. Gudang-gudang tersebut letaknya dekat dengan rel kereta api.
Untuk memudahkan bongkar muat dan pengiriman barang, Javaveem memiliki jaringan rel sendiri yang terhubung dengan jaringan rel utama. Karena berada di belakang Javaveem, orang-orang kemudian mengenal kawasan tersebut dengan nama Kampung Javaveem. Kiwari, perkampungan ini telah hilang seiring perkembangan Kota Bandung.
Perkampungan di sekitar Javaveem mulai menghilang terutama sejak pembangunan viaduk--jembatan kereta api yang di melintas di atas jalan raya sekaligus sungai Ci Kapundung. Jembatan beton ini dibuat untuk menghilangkan lintasan kereta api yang memotong Jalan Suniaraja menuju Landraad Weg (Jalan Perintis Kemerdekaan).
Rencana pembangunan jembatan ini sebenarnya sudah tercetus sejak tahun 1919 dan tertuang dalam Nota betreffende de plannen tot ombouw van den spoorweg ter hoofdplaats Bandoeng. Bersamaan dengan rencana penggandaan jalur antara Padalarang dan Cicalengka, rencana pembangunan jembatan didorong oleh rencana perbaikan pola angkutan kereta api di dalam Kota Bandung.
Seiring waktu, pembangunan jembatan kereta api di atas sungai Ci Kapundung seolah terlupakan. Baru sekitar 20 tahun kemudian, wacana ini kembali mencuat.
Tahun 1939, Pemerintah Kota Bandung mengajukan proposal kepada dewan untuk membangun sebuah viaduk untuk memperlancar arus lalu lintas di antara Jalan Suniaraja dan Jalan Landraad. Alasannya tetap sama. Koran Bataviaasch Nieuwsblad edisi 3 Juli 1939 menyebut tingginya volume kereta api yang melintas cukup menganggu lalu lintas kendaraan lain.
Majalah Spoor-en tramwegen menggambarkan, aliran lalu lintas di Kota Bandung sering terhambat oleh kereta api yang membelah kota. Dan salah satu pelintasan sebidang terletak di Jalan Landraad, yang diakui sebagai perlintasan kereta api paling sibuk di Kota Bandung.
Menurut Haryoto Kunto dalam Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986), pembangunan viaduk tidak lepas dari rencana pembangunan boulevard di sepanjang sungai Ci Kapundung. Rencananya boulevard ini bermula di Viaduk Suniaraja sampai Jembatan Jalan Raya Pos, samping barat Gedung Merdeka sekarang.
Dari rencana besar yang digulirkan, hanya Viaduk Suniaraja yang berhasil diwujudkan.
Saat membangun viaduk, dua jalan dibangun untuk melancarkan lalu lintas di sekitarnya, yakni jalan terusan yang menghubungkan Jalan Suniaraja dengan Jalan Braga, dan Jalan Javaveem yang dibangun persis di samping tenggara jembatan.
Pembangunan viaduk dan terusan Jalan Suniaraja tenyata harus memangkas perkampungan di sekitarnya. Perlahan, perkampungan itu menghilang dan berganti dengan bangunan-bangunan modern. Dan nama Javaveem semakin memudar setelah gudang yang berada di tepi jalan Braga ini diganti dengan gedung lain.
Meski demikian, sekitar tahun 1950-an, gudang javaveem masih berfungsi. Berdasarkan penuturan Us Tiarsa dalam buku Basa Bandung Halimunan (2011), gudang Javaveem di Jalan Braga sering dipakai sebagai tempat transit teh dan hasil bumi dari Bandung selatan sebelum dibawa ke Tanjung Priok di Jakarta.
Hari ini, Bank Mandiri Kantor Cabang Braga berdiri tegak di lokasi gudang Javaveem. Selain itu, nama Jalan Javaveem diganti menjadi Jalan Viaduct (memakai kata aslinya, bukan viaduk).
Saat kereta api jurusan Surabaya yang membawa rombongan Sukarno dan keluarga melewati jembatan lama Ci Kapundung, Inggit merasakan kesedihannya. Tempat dia melewatkan masa kecil dan remaja akan ditinggalkan. Kesedihan yang menjadi tanda bahwa daerah belakang Javaeem dan jembatan Ci Kapundung memang berubah.
Ketika Inggit kembali ke Kota Bandung setelah perceraiannya dengan Sukarno, kawasan ini benar-benar berubah. Tidak ada lagi anak-anak yang bermain di bantaran sungai Ci kapundung, tidak ada lagi permukiman penduduk, semuanya telah berganti.
Penulis: Hevi Riyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi