Menuju konten utama

Hikayat Sebuah Kota yang Tumbuh dan Berubah

Kota bisa berubah wajah sedemikian rupa. Bisa karena merespons sesuatu, tapi bisa juga melalui perencanaan yang panjang.

Hikayat Sebuah Kota yang Tumbuh dan Berubah
Ilustrasi aerial salah satu mall di Jakarta. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sebuah kota, tidak seperti bayangan banyak orang, adalah sebuah ekosistem yang punya nyawa. Ia punya degup jantung, memiliki renjana, ketakutan, kekhawatiran, dan kebahagiaannya sendiri. Sebuah kota adalah wajah para penduduknya, juga mereka yang mengaturnya.

Namun kota juga tidak melulu seperti manusia. Ia akan terus ada, meski manusia datang dan pergi, lahir dan mangkat. “Karena kota tidak seperti manusia,” ujar novelis John Updike suatu ketika. “Kota akan terus ada dan ada, meski alasan mereka untuk tetap ada sudah hanyut dibawa arus sungai menuju ke laut.”

Maka kita tengok, kota bisa berubah wajah sedemikian rupa. Bisa karena merespons sesuatu, tapi bisa juga melalui perencanaan yang panjang. Liverpool, sebuah kota industri dan pelabuhan, kini dikenal sebagai kota musik dan kultur, berkat peremajaan kota (urban renewal) untuk merespons komoditas terbaik mereka yang pernah ada: The Beatles.

Tak bisa tidak, untuk menyebut urban renewal, Singapura adalah contoh yang paling banyak dibicarakan. Peremajaan kota yang mereka lakukan ini berangkat dari perencanaan dan juga perselisihan yang panjang.

Dalam jurnal “The Origins of Urban Renewal in Singapore: A Transnational History” (2021), Stephen Dobbs dan Kah Seng Loh menyebut sejak merdeka pada 1965, pemerintah Singapura di bawah Lee Kuan Yew langsung menghadapi banyak masalah, termasuk kebutuhan darurat untuk hunian layak dan sehat. Hal ini tak terhindarkan, mengingat populasi yang terus meningkat, sementara luas kawasan terbatas. Lebih jauh, mereka melihat bahwa peremajaan kota adalah langkah penting untuk mengembangkan ekonomi.

“Ini meniru pola universal di seluruh dunia pada pertengahan abad 20, ketika peremajaan kota menjadi sesuatu yang diwajibkan oleh negara sebagai elemen penting agenda modernisasi,” tulis Dobbs dan Loh.

Singapura kemudian membenahi banyak hal. Termasuk pembentukan Housing and Development Board (HDB), juga Urban Renewal Authority (URA) pada 1974.

Peremajaan kota di Singapura tidak selalu berjalan mulus. Protes dan perlawanan ada di sana-sini. Dampak dari peremajaan kota dalam skala besar ini, salah satunya, adalah hilangnya ratusan kampung, dan para warganya dipaksa tinggal di flat atau rusun.

“Hidup banyak warga Singapura berubah drastis dan dramatis, karena beralihnya hidup di kampung ke flat umum,” tulis komunitas Remember Singapore.

Jabodetabek-Punjur yang Berupaya Kembali Jadi Remaja

Jakarta, sebagai kota terpadat di Asia Tenggara juga menghadapi masalah serupa seperti banyak megapolitan lain. Permasalahan serupa juga terjadi di kawasan Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur, disingkat Jabodetabek-Punjur.

Tingkat keterjangkauan perumahan (housing affordability) yang rendah, kawasan kumuh, sedikitnya jalur pejalan kaki, minimnya ruang hijau, infrastruktur air bersih, hingga pemanfaatan ruang yang belum efisien, adalah beberapa masalah besar yang sejak dulu seperti benang kusut.

Perkara kawasan kumuh, misalkan. DKI Jakarta punya kawasan kumuh yang tersebar di 438 RW, dan 2,8 persen di antaranya tergolong kumuh berat. Kawasan ini melahirkan banyak dampak buruk. Mulai dari persoalan sosial hingga kesehatan. Belum lagi risiko banjir dan kebakaran.

Begitu pula tentang minimnya ruang hijau di Jakarta. Pada 2017, pengamat perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Jogo, menyebut bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jakarta cenderung stagnan dalam lima tahun terakhir. Saat ini, RTH di Jakarta hanya punya sekitar 9,4 persen RTH.

Padahal, dalam Pasal 29 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa RTH di wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota.

Meski pelan, pemerintah tentu tidak berpangku tangan. Untuk pelan-pelan menyelesaikan masalah perkotaan ini, pada 13 April 2020 lalu Presiden Jokowi mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60/ 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur. Peraturan itu kemudian disusul oleh Peraturan Menteri (Permen) Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nomor 22 tahun 2020.

Peraturan ini kemudian melahirkan Tim Pelaksana dan Project Management Office (PMO) yang akan membantu tim koordinasi untuk melakukan tugasnya. Dari temuan-temuan masalah, tim PMO kemudian memetakan jalan keluarnya.

Soal hunian, misalkan. Penyediaan rumah susun dengan konsep mixed-use development dianggap menjadi salah satu solusi paling pas untuk menyediakan hunian bagi warga. Konsep hunian vertikal ini selain lebih cocok untuk menampung warga dalam jumlah banyak, juga bisa dibangun bersamaan dengan ruang hijau.

Di kelurahan Karet Tengsin RW 09 dan RW 11, misalkan. Ada sekitar 300 KK (1.450 jiwa) dan 534 rumah tapak. Mereka kemudian direlokasi ke rusun. Huniannya adalah rusun dengan jumlah 2.399 unit yang bisa menampung 9.596 jiwa. Ini artinya surplus hunian untuk 8.146 jiwa.

Selain perkara hunian, permukiman padat tanpa RTH jadi sorotan tim PMO. Karena itu, dari lahan dan rumah tapak yang direlokasi, akan ada pembangunan ruang terbuka hijau seluas 8.732 meter persegi. Selain menjadi ruang terbuka, RTH ini bisa menjadi sarana bagi warga untuk berkumpul, sekaligus menyediakan area resapan hujan sebagai bentuk mitigasi banjir.

Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui.

Dengan langkah-langkah yang perlahan tapi pasti ini, Jabodetabek-Punjur akan menjadi kembali remaja. Menjadi kota yang lebih layak huni bagi para warganya, dan memberi alasan warga untuk terus bertahan dan merawat kota dengan cara-cara terbaik. Dengan cara ini, kawasan ini akan menjadi kota ideal yang digambarkan oleh Jane Jacobs dalam The Death and Life of Great American Cities.

“Semakin berhasil sebuah kota berpadu dengan warga dan aktivitasnya, maka akan sukses pula kehidupan warganya. Dengan demikian, mereka akan meramaikan taman-taman hijau di sekitar, dan sebuah kota bisa memberikan keanggunan dan kebahagiaan alih-alih kehampaan.” []

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis