tirto.id - Jurij Dobczansky mampu menghias telur dengan berbagai gambar ukiran bercita rasa seni. Menggunakan pewarna yang dicampur dengan cairan lilin lebah, ia menulisi telur layaknya sedang membatik. Dibutuhkan kesabaran dan dedikasi untuk menyelesaikan satu telur yang dihias cantik.
Apa yang dilakukan Dobczansky ini tidak lain untuk menyambut Paskah. Praktik yang diwarisinya sejak abad ke-11 ini melebur bersama tradisi keagamaan. Pekerjaan seni menghias telur yang disebut Pysanka ini tidak hanya di Ukraina saja, melainkan hampir dapat ditemui di seluruh kultur Kristen Eropa timur.
Seperti ditulis Washington Post, Dobczansky yang telah berusia 67 tahun dan kini bermukim di Silver Spring, Maryland, Amerika Serikat ini masih terus aktif membuat Pysanka atau telur Paskah hias. Ia juga tak jarang berbagi keterampilan dengan pelatihan di Gereja Katolik Ukraina wilayah setempat, demi menjaga warisan tradisi.
Kehadiran telur yang dihiasi berbagai macam pernak-pernik yang berwarna-warni sudah menjadi ikon yang identik dengan perayaan Paskah, tidak hanya sekedar milik tradisi dari denominasi gereja tertentu. Termasuk di Indonesia. Perlombaan mencari telur Paskah juga kerap diselenggarakan seusai ibadah perayaan Paskah.
Lalu, bagaimana mulanya telur dapat masuk menjadi ikon kebudayaan Paskah?
Menurut situs Pysanka, di Eropa Timur khususnya negara seperti Ukraina, tradisi menghias telur sudah ada sebelum masuknya kekristenan. Ini berkaitan dengan ritual pelepasan bumi dari belenggu musim dingin ke musim semi atau musim panas. Janji akan harapan baru, hidup baru, kesehatan, dan kesejahteraan mengiringi ritual ini.
Adopsi ke kultur kekristenan di Ukraina terjadi pada 988 M, seiring penerimaan masyarakat atas agama Kristen. Dekorasi telur kemudian menjadi bagian dari peringatan kebangkitan Kristus.
Pysanka atau Pysanky adalah telur mentah, meski telah dihias sedemikian rupa. Telur-telur ini kemudian disimpan di rumah dari tahun ke tahun sebagai dekorasi sekaligus dipercaya sebagai pelindung dari kejahatan, kebakaran, dan serangan petir.
Motif asal, yakni segitiga yang mewakili tiga unsur, bumi, api, dan udara, kini berganti menjadi simbol-simbol iman Kristen seperti salib dan Kristus. Maka, kebudayaan Pysanka pun terus lestari dan tetap menjadi simbol identitas lintas zaman.
Legenda baru terkait Pysanka juga merebak. Salah satunya yang paling dikenal di Ukraina adalah tentang seorang pedagang miskin yang sedang dalam perjalanan ke pasar untuk menjual sekeranjang telur. Ketika itu, ia bertemu dengan sekumpulan massa marah yang sedang mengejek seorang pria pemikul salib.
Pedagang itu kasihan dan meninggalkan sekeranjang telur di pinggir jalan dan pergi membantu pria tersebut. Darah pria yang memikul salib itu jatuh menetesi telur-telur tersebut. Pria berdarah itu adalah Kristus, sedangkan pedagang miskin yang menolongnya adalah Simon.
Bergeser ke kebudayaan lain yang lebih tua, praktik menghias telur juga ditemui di peradaban kuno yang masih merujuk pada ritual menyambut musim semi. Telur burung unta dengan hiasan ukiran berumur 60.000 tahun ditemukan di Afrika seperti dipaparkan Brian Steward dari University of Cambridge dalam esainya "Egg Cetera #6: Hunting for the World’s Oldest Decorated Eggs."
Pada periode budaya awal Mesopotamia dan di daerah Kreta, ada cerita lain lagi terkait telur hias. Di daerah itu, telur yang pada umumnya memakai telur burung unta itu dikaitkan dengan kematian dan kelahiran kembali. Umumnya, telur hias ditempatkan di kuburan bangsa Sumeria kuno dan Mesir sejak 5.000 tahun yang lalu, seperti yang dijelaskan dalam buku Treasures from Royal Tombs of Ur karya Richard L. Zettler dan kawan-kawannya.
Peninggalan peradaban Mesopotamia ini diadopsi ketika Kekristenan awal muncul di daerah tersebut, yang kemudian dikenal bagian dari Kekristenan Ortodoks.
Kenneth Thompson, seorang profesor sosiologi pernah membahas penyebaran telur Paskah di seluruh dunia kekristenan dalam bukunya berjudul Culture & Progress: Early Sociology of Culture. Menurutnya, penggunaan telur pada perayaan Paskah datang dari Persia ke gereja-gereja Kristen berbahasa Yunani di Mesopotamia.
Telur-telur ini umumnya dicelupkan dalam pewarna merah, juga dalam warna hijau maupun kuning. Dari daerah Mesopotamia yang kini merujuk pada negara-negara Timur Tengah, tradisi ini terus menyebar ke Rusia dan Siberia melalui Kristen Ortodoks.
Dari Gereja Kristen Yunani, kebiasaan menghias dan memakai telur dalam perayaan Paskah diadopsi baik oleh Gereja Katolik Roma maupun banyak Gereja Kristen Protestan, dan menyebar ke seluruh Eropa. Di Eropa Timur, tradisi penyajian telur Paskah ini bertemu dengan model tradisi telur lainnya seperti Pysanka di Ukraina yang punya teknik berbeda. Tak dicelupkan pada pewarna, melainkan ditulis seperti batik.
Dilansir Huffington Post, telur Paskah merupakan simbol dari kebangkitan Yesus Kristus. Ia sangat erat dengan tradisi Gereja Ortodoks maupun Kristen Timur. Telur-telur ini kerap diwarnai merah, mewakili darah Yesus di kayu salib. Telur Paskah kemudian diberkati oleh pemimpin agama dan dibagikan kepada jemaat. Cangkang telur yang bertekstur keras merupakan perlambangan dari segel makam Kristus, dan retakannya adalah simbol kebangkitan Kristus dari kematian duniawi.
Dalam masa pra-Paskah, telur adalah salah satu makanan yang pantang untuk dimakan, khususnya dalam tradisi Gereja Katolik dan Ortodoks. Memakannya ketika hari Paskah merupakan bagian dari puncak perayaan.
Selain menyebar ke seluruh Eropa, telur Paskah ini juga membaur dengan banyak tradisi lain. Contohnya adalah kegiatan memberi warna dan memakan telur pada saat Sham, el-Nessim, sebuah hari libur nasional yang jatuh setelah hari Paskah Kristen Koptik Mesir. Di Spanyol, ada tradisi memakan hidangan bernama Hornazo di saat Paskah. Hidangan ini mengandung telur rebus sebagai bahan utama.
Kini, seiring dengan bercampurnya modernitas dan budaya populer, banyak dijumpai pula telur-telur yang diganti dengan telur berbahan cokelat, atau telur plastik yang berisi permen atau jelly. Tentu saja banyak anak yang bergembira dalam permainan mencari telur Paskah, terutama jika terbuat dari cokelat.
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani