Menuju konten utama

Hati-Hati Gejala Pubertas Dini

Data dari BKKBN menyebutkan, akibat lain dari kurangnya pendidikan seks secara dini adalah masalah kehamilan di luar nikah.

Hati-Hati Gejala Pubertas Dini
Ilustrasi remaja depresi [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Tiga video kasih-kasihan beberapa pasang remaja meramaikan sediaan umpan di Facebook, disertai komentar sinis dan bernada khotbah.

Pemeran di video pertama adalah sepasang remaja laki-laki dan perempuan yang sedang makan. Remaja laki-laki menyuapi remaja perempuan yang sedang asyik bermain gajet, tapi sendoknya ditarik mundur. Begitu kepala bocah perempuan mengikuti, si bocah laki-laki tiba-tiba nyosor dan mereka tertawa berdua.

Video kedua, masih seumuran remaja di video pertama, berpeluk-cium-peluk dan lari berkejar-kejaran bak aktor dan aktris holywood bermain peran di kawasan wisata Kota Tua. Video ketiga, lagi-lagi adegan dua anak manusia kisaran usia sama yang saling mengucap janji setia-semati diakhiri respon saling pagut bibir.

Beragam tanggapan bagi video-video itu. Banyak yang menganggap video pertama lucu lucu saja, meski tak sedikit yang kemudian ceramah. Suara-suara yang terdengar untuk yang kedua dan ketiga malah hampir seragam: cacian, serapah, dan khotbah.

Tapi ada pertanyaan yang layak dicermati, apakah para remaja di awal usia belasan ini puber terlalu dini? Terlebih ada foto-foto yang dianggap publik ekstrem: foto dua remaja laki-laki dan perempuan seperti sedang bermalam bersama di sebuah kamar.

Pubertas memang datang pada setiap orang dengan tingkatan umur yang bervariasi, biasanya pada perempuan hinggap di usia 8-13 tahun, sementara untuk laki-laki sedikit lebih lama yakni 9-14 tahun. Namun, bagaimana jika sebelum menginjak umur di angka tersebut para bocah ini sudah menjadi dewasa?

Dalam dunia medis, hal semacam itu disebut pubertas prekoks. Seorang anak dapat dikatakan mengalami pubertas prekoks apabila mengalami ciri-ciri masa pubertas lebih awal dari waktunya. Ia diawali aktivitas otak yang memicu kelenjar mengeluarkan hormon seks dan menyebabkan perubahan fisik seperti tumbuhnya rambut pubis serta membesarnya payudara serta testis pada laki-laki.

Tentu saja usia SMP sudah masuk kategori usia awal pubertas, Tapi apakah usia SMP sudah cukup untuk berhubungan seksual? Data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan sebanyak 63 persen remaja melakukan hubungan seksual di tingkatan SMP dan SMA. Angka ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya menunjukkan 47,54 persen di wilayah kota-kota besar.

Survei yang lain dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Cabang Samarinda di tahun yang sama, sebanyak 28 persen remaja ini melakukan aktivitas seksual di rumah saat kedua orangtuanya tak dirumah dan 14 persennya melakukan di sekolah saat jam istirahat atau ketika jam belajar-mengajar rampung.

Penelitian dari organisasi riset nirlaba AS, Research And Development (RAND) November 2008 lalu, menyatakan tayangan televisi mengambil andil terbesar sebagai penyebab utama. Banyaknya tayangan televisi yang mengandung unsur seksual yang ditonton anak-anak meningkatkan resiko hamil lebih besar pada remaja.

Hasil tersebut dibenarkan dr Aditya Suryansyah Semendawai, Sp.A, dalam bukunya Dalam buku Panik Saat Puber? Say No!!!. Menurutnya, sinetron dan makanan penuh hormon seperti junkfood adalah penyebab anak-anak mengalami pubertas dini. Apalagi jika mereka berada di lingkungan yang terlalu terbuka dalam mengumbar seksualitas. Ditambah, pengawasan orang tua yang tak sadar filterisasi tontonan anak dan kurangnya pengetahuan para orang tua ini dalam mengedukasi anak perihal seksualitas.

Sinetron atau tayangan-tayangan lain yang mengekspose seksualitas dan sensualitas juga jadi pemicu hormon seksual. Ditambah, kontaminasi zat-zat tertentu dari makanan atau bahan-bahan kosmetik selain polutan seperti residu pestisida, polybrominated biphenyls, phthalates, bisphenol dan dichlorobenzene yang bisa mempengaruhi hormon seksual

Pubertas Dini Berdampak Buruk

Anak-anak dengan pubertas dini selain lebih cepat dewasa dan berhasrat melakukan aktivitas seksual yang membahayakan juga memiliki dampak lain di sisi psikologi yang tak kalah buruk. Jurnal Pediatrics dalam publikasi penelitiannya tanggal 9 Desember 2013 mengemukakan adanya perilaku buruk yang timbul pada perempuan dengan pubertas dini.

Mereka akan mudah tersulut amarahnya dan memancing perkelahian, sering bolos sekolah, dan kabur dari rumah. Para perempuan dengan pubertas prekoks ini juga memiliki kemungkinan terkena depresi yang lebih tinggi karena mengalami ketidakcocokan antara perkembangan fisik dan emosi. Singkatnya: belum siap mental.

"Perubahan hormon dalam tubuh pasti akan mempengaruhi struktur tubuh, pubertas dini, pasti ada dampaknya," terang dr. Aditya.

Untuk mengatasi pubertas prekoks ini, orangtua perlu menemani anak-anaknya di rumah, memfilter tontonannya, menjaga pergaulannya, memberi edukasi seksual secara tepat, dan menjagaasupan makanannya.

Ya, pendidikan seks secara dini memang diperlukan guna mengurangi resiko pubertas prekoks, tapi pendidikan yang diberikan para orang tua dan guru ini haruslah tepat dan sesuai porsinya. Karena salah-salah malah memancing anak mencari tahu masalah sensualitas dari sumber-sumber tidak terpercaya. Hal inilah yang diklaim masih rendah di tataran para orangtua Indonesia.

“Kerap ada unsur ketidaksengajakan yang dilakukan anak-anak pelaku pelecehan seksual. Mereka biasanya hanya mengimitasi apa yang dilihatnya karena kurang pemahaman dan pendidikan yang diterima," kata Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas Perlindungan Anak.

Data dari BKKBN menyebutkan, akibat lain dari kurangnya pendidikan seks secara dini adalah masalah kehamilan di luar nikah. Datanya menyebutkan sebanyak 20,9 persen remaja di Indonesia mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah.

Pada tahun 2013, angka kehamilan di luar nikah bahkan sudah mencapai jutaan, pada usia 10-11 tahun angka kehamilan di luar nikah mencapai 600 ribu kasus. Di usia 15-19 tahun angkanya mencapai 2,2 juta, jumlah tersebut belum termasuk usia 12-14 tahun yang tidak terdata.

Sebagai contoh, baru-baru ini Koordinator Penelitian dan Diseminasi Data Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) D.I Yogyakarta, Aprilia Ike Nurwijayanti memaparkan, di tahun 2015, Dinas Kesehatan DIY mencatat 1.078 remaja usia sekolah di Yogyakarta yang melakukan persalinan dan 976 di antaranya hamil di luar nikah. Angka ini ternyata juga berbanding lurus dengan data dispensasi nikah usia 16-18 tahun pada Pengadilan Agama yang mencapai 37 pernikahan selama 2015.

Infografik Waspada Pubertas Dini

Memulai Seks di Usia 19

Tapi jika melihat survei Durex, usia seks orang Indonesia tak terlalu mengkhawatirkan. Survei Durex's Face of Global Sex menyebut Indonesia menempati peringkat ke-11 negara dengan umur tertua melakukan aktivitas sex, yakni di usia 19 tahun. Artinya, rata-rata orang Indonesia berhubungan seks di usia remaja akhir.

Survei yang dilakukan pada 2012 di 44 negara ini menobatkan Islandia sebagai negara yang melakukan sex di usia termuda, yakni 15 tahun.

Beberapa negara yang melakukan aktivitas seks di atas batas umur Indonesia yakni Spanyol, Jepang, Nigeria, dan Vietnam yang memiliki angka rata-rata melakukan seks sedikit lebih tua di atas 19 tahun. Masyarakat Hongkong dan Thailand di usia 20 tahun.

Setelahnya ada Cina, Singapura, dan India yang rata-rata rakyatnya melepas keperawanan atau keperjakaan mereka di usia 22 tahun. Adapun Malaysia menjadi negara tertua yang melepas keperawanan dan keperjakaan di umur rata-rata 23 tahun.

Tapi angka yang aman untuk berhubungan seksual tidak berarti usia itu aman untuk berkeluarga. Itulah sebabnya pendidikan sangat penting. Seseorang harus bisa menimbang risiko sebelum ia memutuskan untuk beraktivitas seksual, mempunyai anak, dan membangun keluarga. Sebab pernikahan dini bisa jadi sama berbahayanya dengan pubertas dini.

Baca juga artikel terkait PUBERTAS DINI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani