tirto.id - Sejak 1970-an, masyarakat dunia meyakini bahwa pubertas pada perempuan mulai terjadi di usia sebelas tahun. Sementara itu, menstruasi dipercaya baru muncul di usia 13 atau 14 tahun. Itu semua berdasarkan penelitian ahli endokrin pediatrik James Tanner yang melibatkan ratusan anak perempuan dalam interval tiga bulan pada 1949 hingga 1971 di London.
Namun, Tanner juga mewanti-wanti masyarakat yang mempercayai hasil penelitiannya bahwa pubertas bukanlah spektrum yang akan selalu muncul pada anak-anak perempuan secara ketat. Alih-alih, pubertas tak ubahnya ritme dalam bermusik yang memiliki temponya tersendiri.
Seturut definisi, pubertas merupakan proses saat kelenjar pituitari mulai mengeluarkan hormon gonadotropin. Pada perempuan, hormon ini menyebabkan ovarium tumbuh dan menghasilkan estrogen, hormon seks yang memicu perkembangan karakteristik seks sekunder.
Selain itu, pubertas ditandai pula oleh perubahan adrenarche (kebangkitan kelenjar adrenal yang memicu tumbuhnya rambut kemaluan dan ketiak). Ia pun acapkali datang tak menentu. Dapat datang lebih cepat dibanding usia yang diyakini.
Kehati-hatian yang coba diingatkan Tanner tersebut diamini pula oleh peneliti pediatrik pada Duke University Marcia Herman-Giddens. Usai meneliti data sekitar 17 ribu anak perempuan di Amerika Serikat pada 1940 hingga 1994, Herman-Giddens menemukan banyak anak perempuan yang mengalami pubertas sebelum menginjak usia sepuluh tahun.
Bahkan, khusus untuk kalangan kulit hitam, tak sedikit anak perempuan yang mengalami pubertas kala baru berusia sembilan tahun. Secara umum, Herman-Giddens juga mengklaim bahwa usia pubertas memiliki tren muncul lebih cepat beberapa bulan di setiap generasi baru.
Sempat menjadi teka-teki, sebagaimana dituturkan Jesicca Winter dalam “Why More and More Girls Are Hitting Puberty Early” (The New Yorker, Oktober 2022), tren kemunculan pubertas yang lebih dini (dibandingkan keyakinan pada 1970-an) ini timbul karena perubahan pola hidup masyarakat dunia Pascaperang Dunia Kedua yang secara umum lebih baik—tapi sekaligus memiliki efek samping tersendiri.
Generasi pascaperang menjalani kehidupan yang nisbi lebih nyaman ketimbang generasi sebelumnya. Anak-anak yang lahir setelah Perang Dunia Kedua umumnya lebih banyak mengalami kegemukan atau obesitas. Karena obesitas meningkatkan kadar kortisol atau zat yang terkait dengan peningkatan hormon leptin (salah satu komponen penting bagi kelenjar pituitari), pubertas lebih dini terjadi.
Lalu, diinisiasi makanan serta pelbagai kebutuhan hidup, khususnya kosmetik, yang kian gencar mencampurbaurkan bahan kimia berbahaya (seperti kasus bedak talek buatan Johnson & Johnson), pubertas dini kian menjadi-jadi dialami anak-anak perempuan.
Meskipun pubertas merupakan proses alamiah tubuh, tren ini tentu tak cuma disebabkan oleh faktor internal seperti obesitas dan paparan bahan kimia. Pubertas juga dipengaruhi pula oleh faktor eksternal berupa stres. Terlebih, seiring perkembangan zaman, anak-anak mengalami tuntutan lebih tinggi soal pendidikan.
Kiwari, stres yang menimpa anak-anak kian membabi-buta dimotori kemunculan virus SARS-CoV-2 yang membuat masyarakat dunia terjebak di rumah. Akibatnya, kembali merujuk paparan Winter, pubertas di usia lebih dini kian meningkat, bahkan terjadi di usia delapan tahun.
Sebuah studi yang dilakukan otoritas Jerman dan Turki menyebut bahwa peningkatan jumlah anak perempuan yang mengalami pubertas dini di masa pandemi COVID-19 diklaim terjadi dua hingga tiga kali lebih banyak dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.
Seturut Winter, ini fenomena yang meresahkan. Musababnya, pubertas dini yang dialami anak-anak perempuan diyakini ilmuwan berbahaya bagi kesehatan. Ia disebut berkorelasi pada peningkatan resiko kanker, depresi, serta pelbagai masalah perilaku.
Selain itu, di pelbagai belahan dunia, pubertas dini bertransformasi menjadi pembenar perilaku busuk bernama pernikahan anak-anak. Padahal, pubertas bukanlah gerbang kedewasaan, melainkan tahapan lain dari masa kanak-kanak. Suatu masa yang, tentu saja, lebih layak dan pas dimanfaatkan untuk menimba ilmu dan bermain, bukan berkeluarga.
Nahas, merujuk laporan yang disusun Plan International, pernikahan anak-anak saat ini tengah meningkat popularitasnya. Lebih dari 14 juta anak perempuan berusia kurang dari 18 tahun menjadi korban setiap tahunnya.
Secara keseluruhan, terdapat 70 juta pasangan anak perempuan-lelaki dewasa (di atas 18 tahun) yang menikah. Seturut laporan Unicef, jumlahnya diprediksi bakal kian meningkat hingga 10 juta pasangan per tahun.
Secara umum, pernikahan anak-anak banyak terjadi di negara-negara miskin, khususnya di Afrika Sub-Sahara. Namun, pernikahan anak-anak pun terjadi di negara-negara berkembang, semisal Indonesia, dan bahkan di negara (semi) kaya, seperti Cina, serta negara-negara Eropa, khususnya Eropa Timur.
Menurut laporan Plan International, 3 persen dari total populasi anak perempuan Indonesia yang berusia 15 tahun menjadi korban pernikahan anak.
Pembenar fenomena pernikahan anak-anak bukan semata didasarkan atas pubertas dini pada perempuan, melainkan pula faktor ekonomi dan budaya.
Farah Deeba Chowdhury dalam “The Socio-Cultural Context of Child Marriage in a Bangladesh Village” (terbit di jurnal Social Walfare, 2004) menyebut bahwa pernikahan anak perempuan di pedesaan Bangladesh umumnya terjadi atas kepercayaan masyarakat yang menganggap anak perempuan sebagai "objek" dan memiliki status inferior dibandingkan laki-laki.
Menurut Farah, anak perempuan diyakini sebagai "beban keluarga yang harus sesegera mungkin dilepaskan (dinikahkan) [...] Sedari dini, anak perempuan memiliki peran sosial berbeda dibandingkan laki-laki, dan pembeda tersebut dapat dilihat dari bagaimana perempuan dipanggil, yakni anak dari, istri dari, janda dari—alias tak memiliki independensi identitas selayaknya laki-laki."
Alasan serupa itu juga disebut oleh Belinda Maswikwa dalam “Minimum Marriage Age Laws and the Prevalence of Child Marriage and Adolscent Birth: Evidence from Sub-Sahara Africa” (International Perspective on Sexual and Reproductive Health, 2015).
Pernikahan anak-anak merupakan tradisi turun-temurun yang terus-menerus terjadi bahkan kala negara telah memiliki peraturan perundangan tentang batas usia menikah. Di Nigeria, misalnya, 70 persen pernikahan melibatkan anak perempuan.
“Populernya” pernikahan anak-anak di seluruh dunia tentu sangat mengkhawatirkan. Musababnya, kembali merujuk paparan Maswikwa, pernikahan anak-anak merupakan pernikahan yang sangat beresiko secara kesehatan. Dalam penelitiannya di Afrika Sub-Sahara, Maswikwa menemukan tak kurang 50 persen anak perempuan yang menikah meninggal kala melahirkan.
Kembali merujuk paparan Farah, pernikahan juga merupakan penghalang terkuat anak perempuan dari dunia pendidikan. Ini kemudian menggiring pada terjadinya kobodohan turun-temurun. Maka praktik pernikahan anak-anak memang harus segera dihentikan.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi