tirto.id - TikTok, aplikasi yang kerap dibicarakan saat ini pasti sering terlihat di linimasamu. Video-video dari aplikasi yang dulu bernama Musical.ly ini kerap muncul tanpa disengaja. Karena itu kamu akhirnya memutuskan untuk coba menontonnya.
Ada yang lucu, ada yang konyol, beberapa adalah dansa tanpa pretensi selain bersenang-senang. Kamu mungkin merasa ada yang berbeda saat melihat orang-orang Kaukasian bergaya dengan mengikuti lagu “Bagaikan Langit” yang dipopulerkan Potret hampir tiga dekade lalu. Tapi kamu, anehnya, juga bisa tertawa lepas melihat sekumpulan bapak-bapak membuat video dengan semangat menghibur ala anak muda.
“Biasanya aku selalu menghindari TikTok, karena aplikasi itu membuatku merasa tua,” tulis Shira Ovide di The New York Times.
Shira tak salah. Pengguna aplikasi ini kebanyakan adalah anak muda. Hingga Juli 2020, aplikasi yang didirikan oleh Zhang Yiming ini sudah diunduh sekitar dua miliar kali, dan 41 persen penggunanya berusia 16 hingga 24 tahun. Namun belakangan, seiring popularitasnya makin menanjak, banyak pula orang berusia senior turut serta bikin video. Salah satu yang paling populer adalah seorang pengemudi ojol bernama Babeh Ary yang kemampuannya bikin video di TikTok cukup mengagumkan.
Shira, di artikel yang berjudul “TikTok (Yes, TikTok) is the Future” menyebut bahwa aplikasi yang kini dimiliki oleh ByteDance tersebut adalah sesuatu yang diperlukan selama pandemi ini. Fungsinya juga makin luas. Selain video dengan spirit bersenang-senang itu, kini TikTok juga dipakai sebagai wahana untuk menyebarkan agenda aktivisme, seperti video demonstrasi memprotes pembunuhan George Floyd di Minneapolis, atau video sejarah tentang pembantaian warga kulit hitam di Tulsa medio 1921.
“TikTok membuat jadi kreatif itu terasa mudah, dan aplikasi ini mendorong kita untuk menonton karya-karya terbaik dari pembuat konten lain. Batasan 60 detik membuat orang belajar untuk bikin konten tanpa banyak basa-basi,” tulis Shira.
TikTok berbeda dengan media sosial yang sudah ada selama ini. TikTok memiliki dunianya sendiri. Dalam istilah Shira, TikTok “…bukan tempat untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi dan tren saat ini.” Namun ini pula yang membuat orang merasa segar, tak terpengaruh dengan lalu lintas percakapan ala medsos yang kadang bikin pening karena satu tema yang sedang ramai biasanya akan dibicarakan hingga berhari-hari.
“TikTok mungkin sedang menata ulang tentang apa itu hiburan, juga memberikan cara baru untuk menuturkan narasi bagi para aktivis generasi baru, sekaligus menantang tatanan dunia internet saat ini,” kata Shira.
Tentu saja, TikTok tak lepas dari rundungan berbagai masalah. Salah satu yang paling ramai dibicarakan dan dikhawatirkan adalah soal keamanan data. Beberapa hari lalu, The Guardian pernah merilis tulisan yang mengutip beberapa laporan perusahaan keamanan digital. TikTok dituduh mengumpulkan data seperti surel, nomor ponsel, juga izin untuk mendeteksi lokasi, kamera, juga kontak. Selain itu, TikTok juga dituding membagikan data yang mereka punya kepada pemerintah Cina.
“Bahwa TikTok dimiliki oleh perusahaan Cina, itu membuat kekhawatiran soal keamanan data jadi beralasan,” ujar Hank Schless, manajer perusahaan keamanan digital asal San Francisco, Lookout.
Tapi benarkah TikTok seberbahaya itu?
Apakah TikTok Aman ?
TikTok dengan tegas menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak pernah berbagi data dengan pemerintah Cina. Salah satu cara yang mereka ambil adalah dengan menunjuk Kevin Mayer, mantan eksekutif The Walt Disney, sebagai Chief Executive Officer.
TikTok tak hanya menunjuk Mayer. Beberapa bulan sebelumnya, TikTok juga menunjuk Vanessa Pappas, mantan eksekutif YouTube untuk bergabung sebagai salah satu pejabat penting di TikTok. Upaya ini juga menegaskan TikTok akan berekspansi ke dunia bisnis Amerika Serikat, termasuk dengan mengikuti semua tata cara yang ditentukan. Ini juga upaya untuk meyakinkan publik Amerika Serikat dan pemerintahnya, bahwa TikTok adalah perusahaan digital yang tidak sembarangan mengambil data penggunanya.
Di laman tentang Transparency, TikTok juga menyebut “…akan transparan kepada komunitas kami untuk membangun dan menjaga kepercayaan.” Di laman ini juga disebutkan bahwa TikTok sudah punya kantor di 125 kota di seluruh dunia, termasuk di New York, London, Singapura, Tokyo, dan tentu saja: Jakarta.
“Bisnis TikTok adalah anak perusahaan dari ByteDance Ltd., yang didukung oleh investor global termasuk Coatue, General Atlantic, KKR, Sequoia Capital, Susquehanna International, dan Softbank,” tulis TikTok.
Sebagai bentuk transparansinya, setiap enam bulan sekali, TikTok merilis laporan bertajuk TikTok Transparency Reports. Ini juga menjawab tudingan soal TikTok yang sengaja menghapus beberapa video yang dianggap bermuatan politik kontra terhadap pemerintah Cina.
Di laporan paruh kedua tahun lalu (1 Juli - 31 Desember), TikTok dengan jujur menyebut mereka memang menghapus total 42,2 juta video dari seluruh dunia, hanya kurang dari 1 persen dari total video di TikTok. Total penghapusan paling banyak terjadi di India, yakni 16,4 juta video, diikuti Amerika Serikat (4,5 juta), Pakistan (3,7 juta), Inggris (2 juta), dan Rusia (1,2 juta).
“Video itu dihapus karena melanggar Pedoman Komunitas dan Ketentuan Layanan,” tulis laporan TikTok.
Sebanyak 25,5 persen video yang dihapus memuat ketelanjangan dewasa dan aktivitas seksual. Kemudian, berdasar pedoman kehati-hatian terhadap keselamatan anak, 24,8 persen video dihapus karena dianggap melanggar kebijakan keselamatan anak. Ini termasuk menghapus konten-konten ilegal dan berbahaya untuk anak di bawah umur, seperti penggunaan alkohol dan narkoba. Konten lain yang dihapus juga memuat konten bunuh diri dan membahayakan diri sendiri, kekerasan, juga ujaran kebencian.
Perkara keamanan data dan tudingan TikTok digunakan sebagai alat pemerintah Cina untuk mengumpulkan data, juga dibantah oleh James Andrew Lewis, Direktur dan Wakil Presiden bidang Program Kebijakan Teknologi di Center for Strategic & International Studies, lembaga think tank nomor 1 di Amerika Serikat.
Menurut James dalam artikel berjudul “How Scary Is TikTok?”, pada awalnya wajar banyak orang merasa was-was terhadap bagaimana TikTok memperlakukan data penggunanya. Apalagi sejak awal sudah ada sentimen yang lahir karena persaingan dua negara adidaya, Amerika Serikat dan Cina.
“Tentu saja bagus kalau warga merasa khawatir terhadap spionase Cina, juga soal keamanan digital. Namun sering kali kekhawatiran ini terasa seperti pengulangan robotik yang berdasarkan prasangka tidak bertanggung jawab ketimbang penilaian yang ajeg dan berhati-hati,” tutur James.
“Kalau kamu pernah menyaksikan konten TikTok, kamu mungkin merasa aplikasi ini bikin kecanduan, tapi ia sama sekali tidak mengandung unsur intelijen,” tambahnya.
James juga menambahkan bahwa data personal yang diminta oleh TikTok adalah jenis data yang diminta oleh sebagian besar aplikasi zaman sekarang. Meski begitu, James juga menyarankan agar TikTok menjunjung kebijakan lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Misalkan, di Cina TikTok boleh saja memberikan sensor terhadap konten sensitif yang bermuatan politik karena itu kebijakan pemerintah Cina. Namun di Amerika Serikat, kebijakan itu tak boleh dilakukan.
“Jadi pada dasarnya, Amerika Serikat dan Cina sedang bersaing, dan TikTok terperangkap di tengah-tengah. Ada banyak alasan untuk khawatir terhadap Cina dan upaya spionase, tapi TikTok kemungkinan bukan salah satunya. Jadi seiring perusahaan aplikasi ini terus memperbaiki beberapa penyesuaian, biarkan anak remaja kalian menggunakan aplikasi favoritnya ini.”
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis