tirto.id - Di Batalion Depot KNIL Bandung yang sudah berubah jadi tawanan perang, pada 22 April 1942, ada rencana dari militer fasis Jepang untuk menggunduli tawanan perang mereka. “Kami akan diberi tanda khusus yang bakal menyulitkan,” tutur Alex Kawilarang dalam memoarnya yang disusun Ramadhan K.H., AE Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih (1988: 5).
Waktu itu Alex adalah salah satu tawanan mereka. Di antara mereka yang pernah dididik di Akademi Militer Kerajaan Belanda di Bandung, Alex paling senior. Jadilah dia orang yang paling didengar oleh jebolan akademi militer yang pribumi. Menghindari penggundulan, Alex dan junior-juniornya memilih kabur pada malam sebelum 22 April.
Sekitar jam 10 malam mereka bergerak. Alex membagi mereka dalam tiga kelompok. Ada Suprio bersama Mokoginta, Kadir bersama Suprapto, dan Alex bersama Rachmat Suryo dan Tjhwa Siong Pik. Per lima menit mereka bergerak ke luar. Di bawah hujan mereka menembus pagar kawat berduri. Setelah lewat tengah malam mereka sudah di luar kamp dan dengan hati-hati merayap di selokan menghindari serdadu Jepang yang belum tahu mereka kabur. Seragam serdadu mereka buang dan segera mencari tempat sembunyi.
“Rencana kami adalah: saya akan ke rumah dulu (di Bandung) dan sesudah dua jam saya akan bertemu lagi dengan Suryo dan Tjhwa di rumah bibi Suryo. Esok hari saya dan Tjhwa akan ke Batavia (Jakarta),” kenang Alex.
Rachmat Suryo enggan ke Jakarta karena banyak yang kenal dirinya. Paginya, Alex bersama Tjhwa ke Jakarta. Tjhwa harus kecewa karena tak ada kereta ke Jakarta lewat Karawang, tapi harus lewat Sukabumi. Alex akhirnya berpisah dengan Tjhwa.
“Tjhwa Siong Pik akan pergi ke Malang, ke kota asalnya,” ingat Alex.
Mereka pun mencari hidup sendiri-sendiri dulu di zaman Jepang yang susah itu. “Kabar yang saya dapatkan kelak menyedihkan. Tjhwa tertangkap di kota itu pada tahun 1945 dan ditembak mati oleh Kenpeitai (Polisi Militer Jepang),” catat Alex.
Di zaman Jepang, orang Tionghoa termasuk golongan yang hidup sulit. Mereka rentan dipersekusi atau dibunuh Jepang.
Para Taruna
Tjhwa Siong Pik adalah contoh unik di KNIL karena tidak banyak orang Tionghoa yang bergabung di kemiliteran Hindia Belanda itu. Akademi militer menerima pemuda yang punya ijazah AMS atau HBS. Tjhwa punya ijazah tersebut. De Indische Courant (12/6/1939) memberitakan Tjhwa dinyatakan lulus HBS pada 1939. Dari 11 peserta, dia termasuk 5 orang yang lulus.
Tjhwa bukan pula satu-satunya taruna akademi militer yang beretnis Tionghoa. Menurut Alex Kawilarang, masih ada Liem King Ien, Lim Kay Hoen, dan W. Tan. Dua nama pertama waktu di akademi disiapkan sebagai calon perwira infanteri, sementara W. Tan adalah calon perwira administrasi.
Seperti diingat Alex dan diberitakan De Indische Courant (16/7/1941), Tjhwa disiapkan sebagai calon perwira artileri. Di tahun 1947, koran Het Dagblad (26/4/1947) memberitakan bahwa Kwee Swan Nio atau Hoo Nga Tjoe yang mencari Tjhwa.
Di luar nama-nama yang disebut Alex Kawilarang, ada beberapa orang Tionghoa di atas generasinya yang jadi perwira KNIL. Ada yang masuk bagian kesehatan, ada pula yang ditolak masuk akademi militer.
Kang Ing Gwan, misalnya. Ia dikenal sebagai pemuda Tionghoa cerdas asal Malang. Seperti dicatat koran Matahari dan Kaoem Moeda (4/10/1940), pemuda yang nilainya memenuhi syarat ini, setelah dua bulan masa percobaan, ditolak masuk akademi militer pada 27 September 1940.
Para Perwira Kesehatan
Seturut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1989: 4), terdapat Oei Tiam Goan (kelahiran 1898) yang jadi perwira kesehatan kelas dua sejak 1927 dan sejak 1935 sudah jadi perwira kesehatan kelas satu. Pada 1941 dia sudah berpangkat kapten di KNIL.
Lebih muda dari Oei ada Letnan Satu The Bing Tjiauw (kelahiran 1910) yang sejak 1934 sudah berpangkat letnan satu selaku perwira kesehatan kelas dua. Satu lagi adalah Laij Moek Fo (kelahiran 1906) yang menjadi perwira kesehatan kelas dua dengan pangkat letnan satu pada 1934.
Berita pengangkatan Laij Moek Fo sebagai perwira kesehatan kelas dua dimuat dalam Haagsche Courant (7/6/1934). Disebutkan bahwa kala itu Moek Fo tinggal di Jalan Jan van Eyk 22II, Amsterdam. Nieuwe Courant (5/2/1949) memberitakan Moek Fo mendapat brevet militer untuk kesehatan penerbangan. Acara pemberiannya dilakukan di Lapangan Udara Andir, Bandung.
Surat kabar De Preangerbode (6/12/1950) memberitakan bahwa hari Kamis jam setengah delapan dr. Laij Moek Fo memberikan ceramah soal fisiologi dalam penerbangan di depan anggota Aero Club.Ceramah itu digelar di Hotel Savoy Homann, Bandung. Selama di KNIL Moek Fo adalah dokter dalam penerbangan militer. Buku Kesehatan TNI-AU: Lintasan Sejarah (2003) menyebut dia ikut menguji dokter penerbangan AURI pada 1951. Pangkatnya dalam militer Belanda adalah mayor.
Sementara itu, mengenai The Bing Tjiauw, koran Bataviaasch Nieuwsblad (30/11/1935) menyebut, "[telah] diangkat personel bagian medis KNIL, perwira kesehatan kelas dua, The Bing Tjiauw, dokter, yang dilatih untuk pekerjaan tersebut."
Pada 1937, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (23/8/1937) melaporkan bahwa The Bing Tjiauw dimutasi dari Jakarta ke Toli-toli, Sulawesi.
Terkait Oei Tiam Goan, koran De Indische Courant (12/11/1927) memberitakan mutasinya dari Magelang ke Piru (Maluku) pada akhir 1927. Pada 1930, Oei Tiam Goan dipindah dari Piru ke Ambon.
Bataviaasch Nieuwsblad (24/1/1934) memberitakan lagi soal dirinya. Setelah dinas tujuh tahun, pada awal 1934 Oei Tiam Goan dapat cuti liburan selama 9 bulan di Eropa. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (16/3/1939) memberitakan mutasi Oei Tiam Goan, yang sudah menjadi perwira kesehatan kelas satu, dari Cimahi ke Gombong.
Soal orang-orang Tionghoa yang menjadi tentara, memang tidak banyak yang mencatat. Tidak hanya di KNIL, di TNI pun ada orang-orang Tionghoa. “Stereotip selaku golongan pengecut—yang tidak berani memegang senjata dan maju berperang—rupanya masih diabadikan hingga di abad XX melalui tradisi lisan,” tulis Didi Kwartanada dalam pengantarnya untuk buku Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara Sampai Indonesia (2013: xxv-xxvi).
Lebih lanjut, seperti dicatat Didi, sewaktu kecil Ruslan Abdulgani pernah mendengar lagu Jawa dengan lirik “es gandul ditaleni merang, Cina gundul ora wani perang.” Artinya kira-kira: es gandul diikat jerami, Cina gundul tak berani perang.”
Lagu itu tentu saja mitos. Jangan lupa, pernah ada Geger Pecinan pada 1740, di mana orang-orang Tionghoa perang besar melawan VOC.
Editor: Ivan Aulia Ahsan