tirto.id - Hari Kartini diperingati setiap tanggal 21 April, termasuk tahun 2022 ini. Kronologi sejarah kehidupan dan perjuangan Raden Ajeng Kartini yang kemudian dikenal sebagai salah satu pelopor emansipasi wanita di Indonesia ini amat menarik. Oleh pemerintah RI, R.A. Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Dikutip dari Pendidikan Feminis R.A. Kartini (2017) karya Irma Nailul Muna, untuk membangun bangsa yang beradab dan maju, menurut Kartini, harus dimulai dari pendidikan kaum perempuan. Itulah yang kemudian terus diperjuangkan oleh Kartini hingga akhir hayatnya.
Kartini menginginkan kemajuan rakyat yang saat itu masih di bawah penjajahan Belanda dengan beberapa pemikiran. Pertama, mengembalikan peran kaum perempuan sebagai sumber peradaban dan pendidik pertama manusia.
Kedua, memunculkan emansipasi kultural bagi wanita, emansipasi intelektual bagi bangsanya, dan emansipasi politis bagi rakyat agar lebih menyadari bahwa mereka adalah satu bangsa. Ketiga emansipasi ini hanya dapat dicapai melalui pendidikan praktis yang berorientasi kepada nalar dan akhlak.
Dengan kata lain, simpul Dri Arbaningsih dalam Kartini dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini tentang Bangsa (2005), pendidikan merupakan senjata andalan Kartini untuk membangkitkan rakyat Jawa (atau Indonesia pada umumnya) yang sedang tertidur lelap.
Sejarah Hidup Biografi Singkat Perjuangan R.A. Kartini
1879
Dilahirkan di Rembang, kini termasuk wilayah Jawa Tengah, pada 21 April 1879 dari keluarga bangsawan Jawa. Tanggal lahir Kartini inilah, yakni 21 April, yang kemudian rutin diperingati sebagai Hari Kartini setiap tahunnya.
Kartini merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat yang nantinya diangkat sebagai Bupati Jepara tidak lama setelah Kartini dilahirkan. Sang ibunda bernama M.A. Ngasirah yang merupakan putri dari seorang tokoh agama yakni K.H. Madirono dan istrinya, Nyai Haji Siti Aminah.
1903
Tanggal 12 November 1903, Kartini menikah dengan Bupati Rembang yakni K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang pernah memiliki 3 istri. Demi menghormati kedua orang tuanya, Kartini akhirnya menerima perjodohan tersebut.
Ternyata, suami Kartini adalah orang baik. Sang bupati mendukung penuh perjuangan Kartini yang ingin mengangkat derajat kaum perempuan pribumi. Kartini diberi kebebasan untuk melakukan niatnya itu, termasuk dengan mendirikan sekolah wanita di kompleks kantor bupati.
Kartini sebenarnya sudah berencana melanjutkan pendidikan untuk menjadi guru di Betawi atau Batavia (Jakarta), terlebih ia sudah mendapatkan beasiswa. Namun, keinginan tersebut pupus karena Kartini pada akhirnya harus menikah.
1904
Kartini melahirkan putra pertama sekaligus anak satu-satunya yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat pada 13 September 1904.
Nantinya, Soesalit mengabdikan hidupnya sebagai prajurit angkatan perang RI dan turut berjuang dalam perang mempertahankan kemerdekaan pada 1945 hingga 1949, serta menjadi staf TNI Angkatan Darat/Kementerian Pertahanan.
Empat hari usai melahirkan Soesalit Djojoadhiningrat, tepatnya pada 17 September 1904, Kartini meninggal dunia dalam usia 25 tahun dan dimakamkan di Rembang.
Penyebab kematian Kartini masih belum diketahui. Kartini terkesan meninggal mendadak karena selama masa kehamilan hingga melahirkan kondisi kesehatannya baik-baik saja.
1911
Beberapa tahun setelah wafatnya Kartini, surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di Eropa dikumpulkan. Kemudian, kumpulan surat Kartini tersebut dibukukan dengan judul Door Duisternis tot Licht atau Dari Kegelapan Menuju Cahaya.
1912
Didirikan Sekolah Kartini khusus untuk kaum perempuan di Semarang, kemudian menyusul pula di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah-daerah lainnya. Sekolah Kartini berada di bawah naungan Yayasan Kartini yang didirikan oleh Conrad Theodore van Deventer, seorang tokoh Politik Etis, dan keluarganya.
1922
Penerbit Balai Pustaka menerbitkan terjemahan Door Duisternis tot Licht dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran. Penerjemah kumpulan surat Kartini ini hanya disebutkan sebagai Empat Saudara. Sastrawan Armijn Pane disebut-sebut salah satunya.
1938
Armijn Pane menerbitkan kembali Habis Gelap Terbitlah Terang menurut versinya. Salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru ini membagi buku tersebut menjadi 5 bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane dicetak sebanyak 11 kali.
1964
Presiden RI pertama, Ir. Sukarno, mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional atau Pahlawan Nasional.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Sukarno juga memberikan keputusan bahwa hari lahir Kartini, tanggal 21 April, diperingati setiap tahunnya sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Editor: Yantina Debora