tirto.id - Di bawah gegap gempita industri hiburan, penyelenggaraan konser musik menawarkan untung berlipat. Sebab tak jarang penggemar berat rela merogoh saku dalam-dalam demi menyaksikan idolanya beraksi di atas panggung. Tapi di balik itu semua, ia meninggalkan masalah tersendiri karena turut menambah tekanan inflasi.
Konon, harga tiket konser musisi dunia masuk daftar barang yang tak kenal kata turun, terutama pascapandemi Coronavirus Disease 19 (Covid-19). Nilainya bahkan telah melonjak ke titik tertinggi. Karena kontribusi mereka terhadap inflasi, muncul istilah Beyflation atau Swiftflation, merujuk pada penyanyi Beyoncé dan Taylor Swift.
Melansir Reuters, fans berat Beyoncé mau bersusah payah hanya demi mendapatkan tiket konser Queen Bey. Mereka rela menggelontorkan USD7.000 atau lebih dari Rp105 juta (kurs Rp15.100 per USD) hanya untuk tiga konsernya di Amerika Serikat (AS) serta USD6.650 atau Rp100 juta untuk beberapa penampilan di Eropa.
Sementara fans Taylor Swift harus menyediakan budget paling tidak USD1.200 atau setara Rp18 juta agar bisa menonton pertunjukan idolanya tersebut di Seattle pada Juli 2023. Sedangkan untuk melihat penampilan di Mexico City pada Agustus 2023, mereka wajib mengeluarkan dana senilai USD500 atau sebanding dengan Rp7,5 juta.
Ada kalangan yang meragukan kaitan antara kenaikan tiket konser dengan tekanan inflasi. Sebagian dari mereka bahkan menganggap pendapat itu sama seperti pernyataan konyol. Alasannya, harga tiket konser Beyoncé yang telah meningkat belum menunjukkan pengaruh signifikan sejak Mei 2022, ketika inflasi AS mencapai 8,6%.
Terlepas dari keraguan di atas, CNBC melaporkan bahwa konser Beyoncé pada Mei 2023 telah menghambat upaya penurunan inflasi di Swedia. Kepala Ekonom Danske Bank Denmark Michael Grahn menuding istri Jay-Z tersebut “tersangka utama” yang menyebabkan angka inflasi tak mencapai perkiraan pengamat.
Tingkat inflasi tahunan Swedia cuma turun 0,2% secara month to month pada Mei 2023, yakni dari 8,4% menjadi 8,2% dan belum termasuk biaya energi. Hal ini diakibatkan pengeluaran yang lebih tinggi untuk hotel dan restoran selama konser Beyoncé berlangsung. Padahal, ekonom memproyeksikan tekanan inflasi melandai 7,8%.
Penyebab kegagalan target penurunan inflasi Swedia tak lepas dari kedatangan 10,4 juta penggemar Beyoncé asal luar negeri. Jumlah itu nyaris setara total populasi North Carolina. Fans memilih berbondong-bondong masuk ke Eropa sebab harga tiket konser Beyoncé di AS lebih mahal, yakni USD900 atau setara Rp13,6 juta.
Selain Swedia, merujuk penelusuran Reuters, Inggris juga mencatatkan kenaikan harga hingga 6,8% selama periode Januari-Mei 2023 pada sektor rekreasi dan budaya. Ini merupakan kenaikan harga tercepat dalam 30 tahun, dimana efek terbesar berasal dari biaya masuk ke acara music live.
Biaya Konser Naik
Biaya operasional termasuk bahan bakar, hotel dan transportasi menjadi faktor di balik meroketnya harga tiket konser musik dunia.
Dalam reportase The Sun Diego Union Tribune, sejumlah penyelenggara dan musisi mengungkapkan betapa mahal harga-harga yang wajib dibayar demi menggelar konser musik saat ini. Bahkan ada yang mengklaim bahwa kenaikkan tidak sekedar 30% tapi hingga 300% atau tiga kali lipat.
Selain masalah kesehatan, biaya perjalanan dan produksi yang berat melatarbelakangi penyanyi sekaligus pencipta lagu asal AS Santigold membatalkan seluruh tur konsernya pada 2022 lalu. Faktor serupa juga melandasi keputusan Animal Collective, grup band psychedelic-rock eksperimental yang dibentuk di Baltimore pada 1999.
“Dari Inflasi hingga devaluasi mata uang, hingga biaya pengiriman dan transportasi yang membengkak, dan banyak lagi, kami tidak dapat membuat anggaran untuk tur ini yang tidak merugi bahkan jika semuanya berjalan sebaik mungkin,” ujar Aninal Collective dalam halaman resmi Instagramnya.
Di tengah lonjakan biaya operasional dan produksi, kenaikan harga tiket konser musik juga buntut dari permintaan yang tinggi. Merujuk data statista, pendapatan global dari penyelenggaraan konser musik diproyeksikan mencapai USD30,13 miliar atau lebih dari Rp454,96 triliun pada 2023.
Pendapatan tersebut diharap menunjukkan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 5,05%, menghasilkan volume pasar yang diproyeksikan sebesar USD36,71 miliar atau setara Rp554,32 triliun pada 2027 mendatang. Jumlah penontonya diperkirakan bakal tembus 330,10 juta orang. Dengan tingkat proyeksi 25,6%, Denmark memiliki penetrasi penonton terbanyak.
Euforia Dongkrak Harga
Dalam analisa yang diterbitkan Forbes, Eric Fuller membeberkan rahasia gelap tiket konser. Orang-orang akan membayar berapa saja untuk masuk ke arena pertunjukan tatkala mereka benar-benar ingin. Alasannya sederhana, kuota kursi yang tersedia selalu lebih sedikit daripada jumlah penggemar. Rumus inilah mendukung semua itu.
Eric mengungkapkan ketika jumlah kursi yang tersedia lebih banyak dari pembeli, hampir tidak ad acara untuk menjual semua tiket, dan harga akan turun. Untuk acara-acara dimana permintaan dan penawaran seimbang, maka harga tiket tetap stabil.
Sementara itu, untuk acara yang ingin dihadiri semua orang, tiketnya akan sangat mahal. Tidak ada yang berhak menonton hanya karena mereka ingin. Alhasil, cara rasional untuk mengurutkannya adalah berdasarkan harga.
Dalam sistem penentuan harga tiket, ada istilah dynamic pricing atau penetapan harga dinamis. Ini merupakan teknologi yang mengukur intensitas permintaan. Ia menyesuaikan harga untuk memenuhi keinginan orang membayar. Itulah yang digunakan maskapai penerbangan dalam menentukan harga tiket.
Caranya, mereka akan menaikan harga sampai tidak ada yang mau beli, namun setelah itu diturunkan lagi. Secara teori, penetapan harga dinamis menyeimbangkan penawaran dan permintaan. Jika tidak ada permintaan, harga akan turun. Sebaliknya, harga naik bila permintaan berlebih. Selain penerbangan, sistem ini juga berlaku dalam penjualan tiket konser.
Pada ulasannya tahun lalu, BBC menjelaskan bagaimana sistem Dynamic Pricing diterapkan untuk penentuan harga tiket konser oleh Ticketmaster – perusahaan distribusi serta penjualan tiket AS yang berbasis di Beverly Hills, California dan beroperasi di banyak negara. Mereka dikritik penggemar karena mengubah harga tiket berdasarkan permintaan.
Sistem inilah yang membuat beberapa tiket terjual hinga miliaran rupiah. Ini yang terjadi pada penjualan tiket konser “Led Zeppelin: Ahmet Artegun Tribute Concert” yang tiketnya menyentuh USD84.000 atau setara Rp1,3 miliar, dilansir dari The Richest.
Sistem dynamic pricing telah digunakan di Inggris untuk penjualan tiket konser Harry Styles, Coldplay, dan Blackpink. Sebelumnya ia biasa diterapkan di AS. Ticketmaster menerapkan sistem ini demi menghentikan praktik calo dan untuk memberikan lebih banyak uang kepada artis yang menyuguhkan penampilan.
Namun penggemar kecewa lantaran harga tiket melambung dua kali lipat. Dengan menerapkan dynamic pricing, Ticketmaster tidak mempublikasikan harga tiket semula sebab ia akan terus berubah mengikuti angka permintaan. Selain menghindari calo dan tiket palsu, Ticketmaster berharap sistem ini ampuh untuk meraup keuntungan ekstra.
Dengan kondisi seperti ini, tiket konser musisi ternama dapat dikategorikan sebagai barang mewah yang menjadi hak istimewa kaum berduit. Jadi buat para penggemar dengan anggaran terbatas, pilihannya antara menabung untuk kesempatan konser selanjutnya atau berbahagia dengan hanya mendengarkan atau menonton musisi kesayangan secara digital melalui rekaman.
Editor: Dwi Ayuningtyas