tirto.id - Lebih dari satu dekade lalu, ketika Instagram pertama kali dirilis bagi pengguna iPhone, aplikasi ini hanya digunakan untuk memperbaiki foto.
Tapi hari ini, seseorang yang Anda jumpai di ujung jalan barangkali tengah berpikir untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai karyawan demi bisa menggapai mimpi menjadi seorang influencer dan menggantungkan hidup sepenuhnya dari Instagram.
Tak pelak lagi, kemunculan Instagram dan modifikasinya dari tahun ke tahun menandai babak baru dalam perkembangan media sosial. Namun, sejatinya bukan hanya Instagram, keberadaan Facebook, YouTube, Twitter, hingga TikTok dan perkembangannya yang sangat pesat telah melahirkan sebuah industri baru.
Harapan baru yang kini sedang mekar-mekarnya, sebuah industri bernama industri influencer marketing.
Dalam laporan bertajuk The Influencer Marketing Benchmark Report 2023 yang dikeluarkan oleh The Influencer Marketing Hub, industri influencer marketing disebut-sebut tengah menapaki puncak kegemilangan dengan pertumbuhan yang signifikan sejak 2016 hingga saat ini.
Survei tahunan mereka juga menyebut, dari total 3.500 responden yang terdiri dari agensi pemasaran, brand, dan tenaga profesional terkait lainnya, sebanyak 63% responden mengaku punya anggaran khusus untuk pemasaran.
Sementara dari anggaran khusus ini, sebesar 82% responden telah mendedikasikan anggaran pemasaran mereka untuk bekerja sama dengan influencer.
Tentu keputusan untuk menggandeng influencer tidak serta merta keluar dari ruang hampa. Apa lagi alasannya kalau bukan karena ceruk pasar yang menjanjikan. Saat ini, nyaris semua orang menggunakan media sosial.
Negara kita bahkan menduduki lima peringkat terbesar pengguna Instagram dan TikTok dalam skala global.
Laporan terbaru dari Statista mengungkapkan, per Januari 2023 Indonesia berada di peringkat keempat sebagai pengguna Instagram terbanyak di dunia. Negara kita juga tercatat sebagai pengguna TikTok terbesar nomor dua di dunia, salip menyalip dengan Amerika Serikat (AS).
The Global Statistics juga mengungkapkan bahwa kedua media social tersebut berada di urutan 3 teratas aplikasi dengan jumlah pengguna aktif terbanyak di Indonesia.
Nano Influencer
Dalam industri influencer marketing terdapat beberapa kategori atau pengelompokkan pemengaruh tergantung dari jumlah followers atau pengikut. Status inilah juga yang akan memengaruhi rate card atau bayaran per unggahan di media sosial.
Setidaknya terdapat 4 kategori umum, yakni nano, micro, macro hingga mega influencer. Andai hanya memiliki jumlah pengikut antara 1.000-10.000 akun maka tergolong nano influencer. Lalu micro dan macro influencer memiliki jumlah followers masing-masing 10.000-100.000 dan 100.000 hingga 1 juta akun. Jika jumlah pengikut sudah di atas 1 juta, masuk dalam kategori mega influencer.
Pemengaruh yang masuk dalam kategori nano diketahui lebih populer untuk diajak kerjasama oleh para pelaku bisnis. Analisa oleh INSG, menyebutkan bahwa 81,4% merek di Indonesia menggunakan jasa nano influencer di tahun 2021. Bahkan 78% brand di Tanah Air berencana untuk berkolaborasi setidaknya sebulan sekali.
Nano influencer di Tanah Air yang membuat konten hiburan memiliki median engagement rate yang tinggi di Instagram, mencapai 6,6%. Kelompok ini juga mencatatkan pertumbuhan yang lebih tinggi.
Lebih lanjut, terdapat perbedaan bayaran yang cukup signifikan untuk setiap unggahan yang di-posting oleh para influencer. Perbedaan tersebut tidak hanya bergantung dari jumlah pengikut, namun juga tipe media sosial yang digunakan.
Ambil contohnya, unggahan di Instagram oleh mega influencer dapat dihargai hingga Rp12.000.000. Sedangkan jasa yang sama hanya dihargai sekitar Rp5.000.000 di TikTok.
Negara Ikut Memakai Jasa Influencer
Dengan pasar sebesar itu, jelas kalau merek lokal maupun internasional tak lagi berpikir dua kali untuk melakukan penetrasi lewat kanal media sosial. Siapa lagi yang bakal kebanjiran rezeki kalau bukan influencer?
Terlebih saat berbicara dalam konteks pasar Indonesia, faktanya bukan hanya brand yang berlomba-lomba memakai jasa influencer tetapi juga negara.
Masih ingat saat menghadapi tahun pertama pandemi COVID-19, publik sempat geger dengan tersebarnya informasi mengenai anggaran dana yang digelontorkan oleh pemerintah untuk membayar jasa influencer.
Anggaran sebesar Rp72 miliar ini digunakan untuk menggenjot pariwisata Indonesia yang saat itu lesu akibat terdampak pandemi COVID-19, dilansir dari Antara.
Selain promosi wisata, tahun 2021 ketika vaksin COVID-19 sudah mulai masuk ke Indonesia, pemerintah juga kembali mengajak sederet nama besar influencer tanah air untuk mengkampanyekan pentingnya vaksinasi COVID-19, salah satunya dengan menggandeng Raffi Ahmad.
Keputusan ini kenyataannya tidak selalu mendapat dukungan dari masyarakat. Inisiatif pemerintah dalam menggandeng Raffi Ahmad sebagai duta vaksin COVID-19 justru menjadi bumerang lantaran pendiri RANS Entertainment itu kedapatan melanggar protokol kesehatan usai memperoleh vaksinasi.
Selain Indonesia, Arab Saudi juga tercatat pernah menggunakan jasa influencer untuk membantu mengkampanyekan agenda negara. Tahun 2019, negara penghasil minyak bumi terbesar di dunia ini menyewa sejumlah influencer asing untuk mempromosikan pariwisata mereka.
Meski tak disebutkan berapa angka yang mereka gelontorkan untuk mendatangkan para influencer itu, namun laporan dari Gulf News menyebutkan influencer domestik di tahun itu dibayar sebesar USD1.000-5.000 dollar atau sekitar Rp14-71 juta per unggahan di Instagram.
Cara Influencer Memengaruhi Keputusan
Media sosial turut membentuk ilusi bahwa para penggunanya saling terhubung secara emosional. Seakan tak ada jarak, seakan semua dekat. Maka tak heran jika di mata konsumen, influencer adalah sosok yang dapat mereka percaya.
Hari ini, apa yang kita beli, apa yang kita konsumsi, bisa jadi terpengaruh oleh preferensi para influencer yang kita ikuti di media sosial.
Survei McKinsey tahun 2014 membuka argumen dasar, bagaimana media sosial bekerja mempengaruhi keputusan kita. Survei ini berhasil membuktikan bahwa media sosial mempengaruhi keputusan pembelian seseorang.
Delapan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2022 McKinsey kembali melakukan survei lanjutan untuk menguji seberapa ampuh strategi pemasaran dengan menggandeng influencer. Ternyata strategi tersebut menghasilkan Return of Investment (ROI) bagi perusahaan. Apakah balik modal? Jawaban pendeknya: ya, dan trennya sangat positif.
Ketepatannya bahkan bisa diuji lewat variabel-variabel yang jelas. Di antaranya dengan memperhatikan jumlah pengikut, aktivitas di media sosial, kesesuaian antara citra brand dengan mayoritas pengikut influencer, orisinalitas, hingga tone positif unggahan.
Philip Kotler dan Kevin Lane Keller, profesor pemasaran dari AS dalam buku mereka Manajemen Pemasaran (2016) telah lebih dulu menjelaskan bagaimana proses pengambilan keputusan pembelian.
Ada lima tahapan dalam proses ini, mulai dari tahap pengenalan kebutuhan, tahap pencarian informasi, tahap evaluasi alternatif, keputusan pembelian, hingga berakhir pada perilaku setelah pembelian. Suara influencer bisa mempengaruhi salah satu di antara kelimanya atau bahkan di seluruh tahapan.
Brand Ambassador Tergeser
Jauh sebelum kanal pemasaran hari ini terkonsentrasi pada media sosial, brand dan agen pemasaran mengandalkan Brand Ambassador (BA) untuk membentuk citra dan mempengaruhi konsumen.
Kotler dan Keller punya beberapa indikator tentang siapa yang mereka sebut sebagai BA. Mereka haruslah orang terkenal, menarik perhatian, dan mampu mempengaruhi ingatan konsumen.
Jadi wajar saja kalau selebriti sering kedapatan tugas untuk jadi BA. Masalahnya, sekarang ini selebriti juga banyak yang merangkap sebagai influencer. Lantas apa yang membedakan selebriti-influencer dengan selebriti yang jadi duta jenama?
Influencer biasanya hanya dikontrak per unggahan. Sedangkan, BA terikat kontrak secara eksklusif dengan brand. Ini yang membuat cara kerja mereka berbeda satu sama lain. Seorang selebriti yang terikat kontrak sebagai BA punya kewajiban untuk menjadi wajah perwakilan sebuah brand. Mereka punya pengetahuan mumpuni soal brand.
Itu kenapa mereka biasanya juga punya keahlian khusus yang sejalan dengan apa yang dijual oleh brand. Kerjasama influencer dengan brand selesai setelah mereka mengunggah foto atau video sesuai kesepakatan. Tapi, seorang BA terikat perjanjian yang biasanya memakan waktu hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Lantas, di tengah gelombang pemanfaatan influencer marketing yang sangat masif, masihkah relevan posisi BA hari ini? Apakah influencer telah sepenuhnya menggeser posisi mereka?
Media sosial memang menawarkan peluang baru, tapi begitu juga dengan risiko baru. Negara kita telah membuktikannya ketika mereka mengajak Raffi Ahmad bekerjasama dalam program vaksinasi COVID-19.
Tugasnya barangkali telah selesai begitu dia menerima vaksin dan mempromosikannya kepada jutaan pengikutnya di media sosial. Tapi negara tidak memperhitungkan bagaimana jika Raffi gagal menjadi wajah perwakilan Indonesia dalam menyikapi pandemi COVID-19.
Menggandeng influencer bukan berarti tanpa risiko. Justru, jika variabel penilaiannya adalah risiko, maka brand ambassador jauh lebih bisa dipertimbangkan.
Seorang nama besar sekalipun bisa kepleset setelah dia selesai mengunggah konten pesanan. Brand ambassador juga. Tapi, setidaknya dia dikontrak secara eksklusif dan salah satu klausul di dalam kontraknya adalah berperilaku baik.
Penulis: Ruhaeni Intan
Editor: Dwi Ayuningtyas