tirto.id - Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial menolak gugatan 13 pegawai korban PHK Transjakarta.
"Dalam pokok perkara dinyatakan bahwa permohonan para penggugat tidak dapat diterima," ujar Ketua Majelis Hakim Taryan Setiawan di Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (8/1/2018).
Dasar pertimbangan hakim, gugatan itu cacat formil karena masih belum jelas proses serah terima sumber daya manusia dari UP Transjakarta Busway kepada PT Transjakarta.
PT Transjakarta merupakan nama baru dari UP Transjakarta ketika operator busway ini berubah dari status BUMD menjadi perusahaan pada 1 Januari 2015. UP Transjakarta sendiri sebelumnya bernama Badan Layanan Umum (BLU) TransJakarta di bawah naungan Dinas Perhubungan DKI Jakarta ketika didirikan pada 2004 silam.
Oleh sebab itu, hakim berpandangan, perlu ada kejelasan lebih lanjut untuk memeriksa pokok perkara dengan memerlukan keterangan UP Transjakarta Busway dan/atau Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
"Karenanya, majelis hakim berpendapat gugatan para penggugat tersebut kurang pihak," jelas hakim.
Gugatan kurang pihak merupakan salah satu klasifikasi gugatan error in persona atau cacat formil yang ditimbulkan atas kekeliruan atau kesalahan bertindak sebagai penggugat maupun yang ditarik sebagai tergugat.
Menimbang hal itu, hakim memutuskan untuk tidak perlu memeriksa dan mempertimbangkan pokok perkara. Hakim pun memutuskan gugatan dari 13 korban PHK itu tidak dapat diterima.
13 korban PHK PT Transjakarta menanti putusan majelis hakim, Senin (8/1/2018). Ketiga belas dari 105 pegawai Transjakarta diberhentikan tanpa alasan pada tahun 2016. Mereka menuntut bisa untuk dapat kembali bekerja atau setidaknya uang pesangon setelah dirumahkan.
Oky Wiratama selaku penasihat hukum dari ke-13 korban PHK mengatakan, perkara berawal saat PT Transjakarta memberhentikan secara sepihak sekitar 150 orang pegawai pada 2016. PHK tersebut dinilai janggal karena para pegawai sudah bekerja sejak tahun 2005 saat masih badan layanan umum. Usai di-PHK, para pegawai ini tidak mendapatkan pesangon dari PT Tansjakarta dan melanggar pasal 156 UU Ketenagakerjaan.
"Seharusnya ketika dia di-PHK harus mendapat pesangon sesuai dengan undang-undang 13 (Undang-undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) kan? tapi yang terjadi kawan-kawan ini tidak mendapatkan hak-haknya seperti itu," kata Oky di Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (8/1/2018).
Selain itu, pihak Transjakarta pun dinilai melanggar hukum tenaga kerja lantaran memperpanjang kontrak tanpa jeda jika mengacu kepada pasal 59 ayat 7 UU Ketenagakerjaan. Di situ diatur bahwa, apabila seseorang sudah dikontrak terus-menerus, pekerja seharusnya berubah status menjadi pegawai tetap.
Salah satu korban PHK, Contessa, membenarkan dirinya diberhentikan tanpa alasan jelas oleh PT Transjakarta. Perempuan yang bekerja sejak 2004 itu menerima surat pemberitahuan pemberhentian kerja pada akhir Juni 2016.
Mantan onboard (kernet) transjakarta itu bercerita, surat pemberhentian dikeluarkan tanpa pemberitahuan, tiga hari setelah dirinya diminta perusahaan untuk memperpanjang status kerja.
"Itu sebelumnya tidak ada pemberitahuan dulu, jadi tidak ada SP (surat peringatan), tidak ada segala macam, tiba-tiba langsung dapat surat itu aja tanpa dipanggil ke kantor. Jadi langsung di kantor," kata Contessa.
Contessa mengaku, dirinya dikontrak PT Transjakarta pada Juni 2004 selama setahun. Saat kontrak habis, pihak Transjakarta memperpanjang kontrak mereka untuk periode satu tahun kemudian. Namun usai kontrak habis, dirinya tidak diangkat sebagai pegawai tetap meskipun sudah bekerja sejak tahun 2004.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Agung DH