tirto.id - Proses persidangan terhadap pelaku perusakan Masjid Miftahul Huda di Sintang, Kalimantan Barat, yang dibangun komunitas muslim Ahmadiyah diduga terjadi penyimpangan. Hal itu disampaikan Tim Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.
Persidangan atas perusakan masjid yang terjadi pada 3 September lalu sudah berjalan sebanyak empat kali. Juru Bicara Tim Advokasi Kebebasan Beragama, Fitria Sumarni menilai majelis hakim Pengadilan Negeri Pontianak yang memeriksa kasus ini tidak mendalami tindak pidana perusakan dan penghasutan kekerasan seperti yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
“Majelis Hakim malah menyudutkan saksi dari Ahmadiyah dengan mempertanyakan keyakinan keagamaannya,” kata Fitria lewat keterangan tertulis, Kamis (16/12/2021).
Fitria menilai proses persidangan justru bergeser dari mengadili peristiwa kekerasan dan perusakan menjadi mengadili keyakinan korban. Ia mengatakan majelis hakim malah menghadirkan saksi fakta dari MUI yang tidak ada dalam peritiwa kekerasan pada 3 September 2021.
Dia menduga proses persidangan malah mengarah kepada Fatwa MUI No. 11 tahun 2005 tentang Ahmadiyah yang menganggap Ahmadiyah keluar dari Islam dan ajarannya sesat menyesatkan. Padahal, seharusnya majelis hakim bisa meminta keterangan saksi korban dari jemaat Ahmadiyah, Nasir Ahmad, yang juga sudah hadir secara virtual di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Majelis Hakim dan jaksa juga banyak menanyakan soal keyakinan saksi korban dari pihak muslim Ahmadiyah, bukan pada peristiwa kekerasan dan perusakan itu sendiri,” katanya.
Oleh karena itu, tim advokasi melaporan dugaan pelanggaran kode etik proses pengadilan tersebut dan permohonan pemantauan oleh Komisi Yudisial (KY) kemarin. Kata Fitria, KY perlu melakukan pemantauan dengan Nomor Perkara: 819/Pid.B/2021/PN Ptk, 820/Pid.B/2021/PN Ptk, 821/Pid.B/2021/PN Ptk, 822/Pid.B/2021/PN Ptk, 823/Pid.B/2021/PN Ptk, 824/Pid.B/2021/PN Ptk, 825/Pid.B/2021/PN Ptk, 826/Pid.B/2021/PN Ptk. Pasalnya, perkara-perkara tersebut terindikasi persidangan tentang akidah jemaah Ahmadiyah, bukan terkait pidana yang disidangkan yakni pengerusakan sesuai pasal yang didakwakan oleh JPU.
“Bahwa dalam hal ini Pengadilan Negeri Pontianak sebagai pengadilan yang memeriksa perkara a quo diindikasi tidak memberikan informasi tersebut di atas kepada publik dengan tidak memberikan atau menyajikan informasi yang terbaru (update) dan lengkap pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara situs www.sipp.pn-pontianak.go.id,” kata dia.
Menanggapi itu, Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Miko Ginting mengatakan lembaganya segera melakukan pemantaua terhadap perilaku hakim dalam persidangan tersebut.
“Kedua, terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik dalam perilaku hakim, KY sudah mendengar beberapa keterangan beberapa saksi. Tentu informasi ini dan keterangan ini akan ditindaklanjuti lebih lanjut, untuk melihat apakah laporan ini layak ditindak lanjuti atau tidak. Ketika layak ditindaklanjuti, maka akan diadakan pemeriksaan. Selanjutnya, KY akan mengundang pelapor, terlapor dan saksi-saksi,” kata dia.
“Kemudian apabila ada dugaan pelanggaran kode etik pada perilaku hakim yang terbukti, maka KY dapat memberikan rekomendasi atau usulan sanksi,” tambahnya.
Tim Advokasi untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan sendiri terdiri dari YLBHI, Komite Hukum PB JAI, KontraS, Setara Institute, Imparsial, AMAN Indonesia, HRWG, Yayasan Satu Keadilan, Yayasan Inklusif, Paritas Institute, HRW, dan SEJUK.
Kasus perusakan Masjid Miftahul Huda di Sintang, Kalimantan Barat, bermula dari penyerangan ratusan orang atas nama Aliansi Umat Islam (AUI) Kabupaten Sintang pada 3 September lalu. Dalam liputan mendalam kolaborasi antara Tirto.id dan Jaring.id, kami menemukan ada indikasi praktik diskriminasi dan kekerasan atas nama agama yang difasilitasi oleh pemerintah daerah setempat.
Kelompok intoleran tersebut sudah mempersiapkan penyerangan sejak Agustus dan Pemerintah Kabupaten terlihat tak memiliki mitigasi apapun. Plt. Bupati Sudiyanto justru meminta jemaat untuk hentikan aktivitas dan operasional pembangunan masjid yang sedang berjalan sementara, bukan malah melindungi jemaat.
Berikutnya, Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji pun membekukan aktivitas dan operasional pembangunan masjid secara permanen. Bahkan, ada dugaan Sutarmidji sempat bertemu dengan kelompok yang protes dan ingin menyerang masjid satu hari sebelum penyerangan, 2 September 2021.
Belakangan, pihak kepolisian menetapkan puluhan orang sebagai tersangka dan Pemerintah Daerah justru memutuskan untuk membongkar paksa masjid tersebut.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Gilang Ramadhan