tirto.id - Dengan Hormat,
Saya, Muhammad Irfan Faqih, mahasiswa LIPIA Jakarta, mengajukan hak jawab sesuai dengan UU Pers No. 40/1999 dan Kode Etik Jurnalistik tahun 2006, pada laporan Tirto berjudul “LIPIA, Ajaran Wahabi di Indonesia” (6 Maret 2017). Saya sebagai salah satu sumber yang diwawancarai dan tercantum dalam pemberitaan tersebut ingin menyampaikan beberapa hal berikut:
1. Judul pemberitaan cenderung menjustifikasi dan dapat menimbulkan kesalahpahaman bagi pembaca;
2. Isi artikel yang menurut saya terlalu luas pembahasannya dan keluar dari judul pemberitaan seperti dalam paragraf:
Sebelum menempuh pendidikan di LIPIA, Yuda dan Irfan berasal dari tempat yang sama, Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat. Pondok ini didirikan oleh Sahal Suhana, politikus dari Partai Keadilan Sejahtera yang jadi anggota parlemen daerah periode 1999-2004.
PKS semula bernama Partai Keadilan, yang dideklarasikan pada 1998 tak lama setelah Soeharto mundur. Para pendirinya bisa dilacak dari gerakan dakwah kampus yang menyebar sejak 1980-an lewat peran penting Dewan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), organisasi dakwah yang didirikan oleh Mohammad Natsir dan mantan pemimpin Masyumi pada 1967. Aktivitas DDII juga disokong oleh aliran dana dari Saudi.
Gerakan Tarbiyah mencangkok atau terinspirasi dari Ikhwanul Muslimin dari Mesir yang semula bernama Harakah Tarbiyah atau “gerakan pendidikan.” Gerakan ini melahirkan Komite Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia lewat kegiatan halaqah (forum pendidikan) dan daurah (diskusi). Sejumlah penggiat utama KAMMI lantas mendirikan Partai Keadilan, sebelum kemudian berganti nama menjadi PKS pada 2003 dan meraih suara signifikan dalam Pemilu 2004. Menurut Noorhaidi Hasan dalam Laskar Jihad, jangkauan pengaruh LIPIA pada gilirannya melahirkan banyak aktivis yang terlibat dalam memperkuat PKS.
Ini bisa dilihat dari contoh kecil pada tipe mahasiswa seperti Irfan Faqih dan Yuda Prayoga. Jika Irfan lebih condong pada Tarbiyah, yang terpapar pada pengaruh Pan-Islamic Salafism, adapun Yuda lebih dekat pada Salafi.
Muslihudin, dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, menulis Husnul Khotimah merupakan model pesantren kader yang memiliki hubungan ideologis secara konsisten dengan PKS, menjadi sarana artikulasi dakwah kader PKS. Dalam tulisannya di Jurnal Holistik (Vol. 14 No. 01/2013), Muslihudin menyatakan bahwa ponpes ini mengedepankan pola Tarbiyah Islamiyah yang modern, sistematis, dan terpadu, tapi tanpa meninggalkan pola Salafiyah.
3. Pembicaraan saya dengan jurnalis Tirto hanya seputar LIPIA, tipe, dan kegiatan mahasiswanya. Tidak membahas tentang Pondok Pesantren Husnul Khotimah. Oleh karena itu saya mempertanyakan terkait pembahasan tentang Husnul Khotimah. Apa hubungannya dengan judul pemberitaan tersebut?
4. Sebelum menyiarkan pemberitaan, Tirto tidak melakukan klarifikasi terlebih dahulu kepada saya selaku yang diwawancarai mengenai hal-hal yang diberitakan dalam pemberitaan tersebut. Hal-hal yang ditulis dalam pemberitaan Tirto dapat membuat kesalahpahaman bagi pembaca sehingga dapat berakibat negatif bagi LIPIA dan Husnul Khotimah. Saya menyampaikan keberatan atas pemberitaan tersebut dan meminta Tirto untuk mengganti atau menghapus artikel tersebut.
Jakarta, 8 Maret 2017
Hormat saya,
Muhammad Irfan Faqih
============
1. Judul sudah proporsional sesuai dari wawancara dan riset pustaka yang kami kerjakan. Termasuk riset dan buku yang kami kutip dalam laporan tersebut, di antaranya buku Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru karya Noorhaidi Hasan (LP3ES, 2008) dari disertasinya. Dalam bab “Ekspansi Kaum 'Salafi'”, Noorhaidi mengulas aliran dana Saudi ke lembaga dakwah di Indonesia, termasuk mendirikan LIPIA, untuk menyebarkan pengaruh paham Wahabi, ideologi resmi negara Saudi atau disebut Noorhaidi sebagai “gerakan Salafi kontemporer”. Juga ada riset lain yang kami pelajari dari Amanda Kovach berjudul “Saudi Arabia Exporting Salafi Education and Radicalizing Indonesia’s Muslims” (German Instute of Global and Area Studies, 2014). Kami juga memakai riset Din Wahid soal keragaman paham Salafi dalam konteks Indonesia dan secara global. Bacaan lain termasuk kajian akademis dari Martin van Bruinessen serta karya Jajat Burhanudin (Ulama dan Kekuasaan, 2012) dan Hamka. Riset-riset ini direpresentasikan dalam laporan serial Tirto yang terbit pada 6 Maret 2017.
2 & 3. Menggambarkan Ponpes Husnul Khotimah, serta ditarik ke PKS dan gerakan tarbiyah di Indonesia pada 1980-an, adalah upaya jurnalisme dalam menempatkan konteks atas informasi maupun fakta sesuai relevansinya. Ini juga bagian dari prinsip jurnalisme “proporsional dan komprehensif”. Menerangkan Ponpes tersebut bagian dari upaya kami untuk menjelaskan secara menyeluruh. Dan dari sana kami juga ingin menerangkan bahwa paham Salafi tidaklah tunggal. Jadi keberatan Anda pada poin 2 dan 3 adalah upaya kami menempatkan konteks yang relevan.
4. Klarifikasi kepada sumber diperlukan, dalam jurnalisme, pada informasi yang disampaikan sumber, bukan pada pemberitaan. Ralat diperlukan terhadap informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar—sebagaimana diatur dalam UU Pers. Kami juga mengirim surat kepada pengurus LIPIA untuk dimintai komentar demi upaya verifikasi dan mendapatkan informasi menyeluruh tetapi tidak direspons, sebagaimana kami terangkan dalam laporan tersebut.
Terima kasih,
Fahri Salam
Editor
Penulis: Fahri Salam
Editor: Fahri Salam