Menuju konten utama

Hak Angket Hanya Dalih Melemahkan KPK

Upaya pengajuan hak angket oleh Komisi III DPR dinilai kontraproduktif terhadap upaya pengusutan kasus e-KTP.

Hak Angket Hanya Dalih Melemahkan KPK
Aktivis yang tergabung dalam Masyarakat Sipil Prihatin Mega Korupsi KTP elektronik (E-KTP) menggelar aksi di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Minggu (12/3). Mereka menuntut komitmen KPK dan pemerintah mengusut tuntas kasus korupsi proyek elektronik Kartu Tanda Penduduk atau E-KTP yang diduga melibatkan sejumlah pejabat publik. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menjadi sorotan setelah berniat mengajukan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal tersebut menyusul keberatan komisi antirasuah yang menolak permintaan Komisi III DPR untuk membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani dalam kasus korupsi e-KTP.

Seperti dikutip Antara, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang berlangsung pada Rabu (19/4/2017) dini hari itu, sejumlah fraksi di DPR, seperti PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PPP, dan Nasdem telah menyetujui penggunaan hak angket tersebut. Sementara PAN, PKS, dan Hanura menyatakan mendukung dengan catatan akan berkonsultasi dengan pimpinan fraksinya, sedangkan PKB abstain karena wakilnya tidak hadir saat rapat.

Usul tersebut akan disampaikan ke rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk dibahas di rapat paripurna DPR. Rapat paripurna akan memutuskan apakah hak angket ini dilanjutkan atau tidak.

Sikap DPR ini mendapat respons dari sejumlah aktivis antikorupsi yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Pemberantasan Korupsi. Para aktivis tersebut meminta agar DPR menahan diri dan tidak mencampuri kewenangan penegakan hukum yang dilakukan KPK.

“Kami berpendapat bahwa inisiatif hak angket yang digulirkan oleh beberapa anggota DPR dalam kaitannya dengan penyidikan terhadap Miryam S Hariani bisa mengarah pada terjadinya konflik kepentingan dan intervensi proses hukum di KPK. Karena itu kami menyerukan agar DPR bisa menahan diri untuk tidak mencampuri kewenangan penegakan hukum KPK,” kata perwakilan Masyarakat Peduli Pemberantasan Korupsi, Natalia Subagyo, di gedung KPK, seperti dikutip Antara, pada Jumat (21/4/2017).

Natalia menyampaikan pernyataan bersama tokoh antikorupsi lainnya, seperti Betti Alisjahbana, Lelyana Santosa dan Zainal Arifin Muchtar. Selain keempat orang itu, masih ada 11 orang lainnya, antara lain: Erri Ryana Hardjapamekas, Dadang Trisasongko, HS Dillon, dan Todung Mulya Lubis yang bertemu pimpinan KPK, yaitu Agus Rahardjo dan Laode M Syarif untuk menyampaikan aspirasinya.

Kritik yang sama juga disampaikan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Peneliti PSHK, Miko Ginting mengatakan upaya Komisi III DPR untuk mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam S Haryani adalah intervensi terhadap proses penegakan hukum. Upaya tersebut juga bentuk penggiringan proses penegakan hukum ke dalam proses politik.

“Upaya Komisi III mengajukan hak angket adalah bentuk intervensi penegakan hukum,” ungkapnya dalam rilis yang diterima Tirto.

Menurut Miko, Komisi III DPR seharusnya memahami bahwa pemeriksaan terhadap Miryam S Haryani berlangsung dalam rangka penegakan hukum (pro justitia). Kontrol terhadap hal itu seharusnya dilakukan oleh mekanisme hukum dalam hal ini pengadilan, bukan Komisi III DPR.

Dalam konteks ini, pengadilan telah menghadirkan penyidik KPK di persidangan. Di sisi lain, lanjut Miko, KPK juga telah menetapkan Miryam sebagai tersangka. Artinya, proses penegakan hukum dan kontrol telah berjalan sesuai mekanisme hukum. Karena itu, Komisi III DPR tidak perlu mengusik hal tersebut dengan tekanan politik melalui hak angket.

“Biarkanlah proses penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya. Apabila dirasa perlu, pengadilan yang akan bertindak secara independen dan akan mengkonfirmasi segala sesuatu yang telah dituangkan dalam BAP. Komisi III DPR tidak perlu bertindak selayaknya pengadilan,” ujarnya.

Sayangnya, tiga pimpinan DPR RI, yaitu Taufik Kurniawan, Fahri Hamzah, dan Agus Hermanto kompak menyatakan wacana pengusulan hak angket yang meminta pembukaan rekaman pemeriksaan penyidik KPK terhadap Miryam sebagai bentuk pengawasan.

“Biarkan hak itu [hak angket] menjadi otorisasi Komisi III DPR yang lebih paham sebagai mitra kerja yang membidangi hukum. Tentunya mekanisme keputusan finalnya seperti apa? Kami ikuti secara mekanisme tata tertib,” kata Taufik.

Adapun Fahri Hamzah menilai rencana Komisi III DPR menggulirkan hak angket bukan bentuk intervensi proses hukum di kasus e-KTP. Fahri menjelaskan hak angket itu bukan hanya terkait kasus Miryam, namun proses penegakkan hukum dalam dugaan korupsi e-KTP.

Sementara Agus Hermanto menyatakan hak angket itu melekat pada setiap anggota dewan. Karena itu, penggunaan hak angket adalah kewenangan DPR terkait pengawasan. [Baca artikel Tirto: Upaya Melemahkan KPK di Kasus Korupsi e-KTP].

Hak Angket Dinilai Kontraproduktif

Menanggapi usulan penggunaan hak angket oleh DPR tersebut, komisi antirasuah bersikukuh tetap tidak akan membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam. Juru Bicara KPK Febri Diansyah menegaskan pihaknya tidak akan membuka rekaman pemeriksaan saksi kecuali dalam proses persidangan.

“Telah kami sampaikan bahwa keterangan tersebut dan bukti-bukti lain adalah bagian yang saling terkait dengan kasus yang sedang kita tangani, baik penyidikan dengan tersangka MSH [Miryam S Haryani] ataupun proses persidangan kasus KTP-E yang juga sedang berjalan,” ungkap Febri.

Febri menegaskan bahwa membuka bukti di luar persidangan hanya akan mengganggu jalannya penyidikan. Kendati demikian, pihaknya menghormati kewenangan pengawasan yang dijalankan DPR.

Namun, kata Febri, jika keterangan saksi di sidang yang saat itu disampaikan penyidik KPK Novel Baswedan tentang adanya orang-orang tertentu yang menekan Miryam dipersoalkan, dan bukti-bukti yang ada dibuka di luar proses hukum tentu berisiko membuat bias, bahkan menghambat penanganan kasus e-KTP yang sedang berjalan.

Ia berharap semua pihak dapat memahami bahwa proses hukum e-KTP yang sedang ditangani KPK dibiarkan berjalan di jalur hukum agar penanganan kasus tidak terganggu.

Sementara itu, aktivis antikorupsi dari UGM, Zainal Arifin Muchtar menganggap bahwa alasan hak angket yang diajukan oleh sejumlah anggota DPR terkesan mengada-ngada. Karena itu, ia menganggap usulan hak angket yang digulirkan DPR berlebihan.

“Ada kecurigaan hak angket ini abal-abal karena tidak jelas alasan sesungguhnya hak angket ini. Beberapa orang mengatakan ini terkait dengan Miryam dan laporan keuangan KPK, tapi dua-duanya kelihatan tidak pas karena mengenai laporan keuangan KPK itu beberapa tahun lalu sudah diproses BPK dan sudah selesai,” ujarnya dikutip Antara.

Selain itu, Zainal juga menilai bahwa dokumen pemeriksaan BAP sebagai dokumen pemeriksaan pro-justicia yang hanya bisa dibuka di persidangan. “Kami tidak tahu alasan di balik DPR memaksa membuka itu. Jangan-jangan ini bukan untuk memperjelas proses penegakan hukum, tapi memperkeruh proses penegakan hukum. Jangan sampai KPK mau membuka ini. Ini akan jadi modus berulang yaitu ancaman-ancaman yang bisa dibuat-buat,” ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan Miko. Menurut dia, upaya pengajuan hak angket oleh Komisi III DPR juga merupakan langkah kontraproduktif terhadap upaya pengusutan kasus e-KTP. Menurut Miko, penyebutan nama anggota DPR dan petinggi partai dalam kasus itu seharusnya dikejar untuk ditelusuri kebenarannya melalui proses penegakan hukum. Sementara pengajuan hak angket adalah proses politik yang berpotensi mengaburkan pengusutan kasus e-KTP.

Karena itu, ia mendorong agar KPK tetap harus didukung untuk menuntaskan kasus ini secara hukum. Fokus seharusnya tetap satu dan didukung semua pihak, yaitu bagaimana cara membongkar kasus korupsi e-KTP ini secara tuntas, mulai dari aktor, modus, dan jaringan yang terlibat.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti