Menuju konten utama

Gusdurian Dukung Permendikbud PPKS dan Dorong Pengesahan RUU PKS

Gusdurian menilai banyak kasus kekerasan seksual yang tidak ditangani secara maksimal karena belum ada landasan hukum yang kuat.

Gusdurian Dukung Permendikbud PPKS dan Dorong Pengesahan RUU PKS
Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid memberikan pemaparan saat acara Dialog Kebangsaan Seri V bertajuk Mengokohkan Bangsa: "Merawat Patriotisme, Progresivitas dan Kemajuan Bangsa" di Stasiun Tugu Yogyakarta, Selasa (19/2/2019). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/wsj.

tirto.id - Jaringan Gusdurian menyoroti kekerasan seksual yang marak terjadi di kampus. Baru-baru ini muncul kasus pelecehan seksual oleh dosen terhadap mahasiswi Universitas Riau.

Gusdurian juga mempertanyakan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang didorong koalisi masyarakat sipil sejak 2016 belum disahkan oleh pemerintah dan DPR.

Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid mengatakan hal itu berimbas pada banyak kasus kekerasan seksual yang tidak bisa ditangani secara maksimal.

Alissa menyampaikan lima sikap Jaringan Gusdurian perihal masalah ini. Pertama, mengapresiasi dan mendukung langkah pemerintah dalam menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.

“Langkah tersebut merupakan wujud upaya hadirnya negara dalam menjamin keadilan bagi para korban kekerasan seksual di perguruan tinggi yang selama ini diabaikan. Asas keadilan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual merupakan perwujudan dari nilai-nilai agama, Pancasila, dan konstitusi UUD 1945,” ujar Alissa Wahid dalam keterangan tertulis, Kamis (11/11/2021).

Kedua, tetap mengawal disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang diusulkan koalisi masyarakat sipil. Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 mengatur kasus yang terjadi di lingkup perguruan tinggi. Sementara Jaringan Gusdurian mencatat bahwa kasus-kasus kekerasan seksual juga banyak terjadi di berbagai ruang lingkup kehidupan masyarakat.

Ketiga, mengajak pimpinan perguruan tinggi di Indonesia untuk menerapkan peraturan tersebut dan menjadikannya sebagai bagian dari sosialisasi pengenalan kehidupan kampus yang bebas dari kekerasan seksual. Nama baik kampus diwujudkan dengan mengusut tuntas kasus kekerasan seksual, bukan justru menutupinya sebagaimana banyak terjadi di banyak perguruan tinggi di Indonesia. Perguruan tinggi juga bisa mengusut dugaan kasus kekerasan seksual di kampusnya yang masih menggantung.

Keempat, menyerukan kepada kampus-kampus negeri untuk menjadi teladan bagi kampus-kampus lain dengan menerbitkan mekanisme pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual.

“Saat ini hanya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang sudah memiliki peraturan rektor terkait pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual,” kata Alissa.

Kelima, mengajak seluruh penggerak Jaringan Gusdurian untuk terus mendukung segala upaya menghapus kekerasan seksual. Selama ini, banyak terjadi misinformasi dan disinformasi yang mengaburkan substansi upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

Dalam laporan mendalam #NamaBaikKampus, proyek kolaborasi antara Tirto.id, The Jakarta Post, dan VICE Indonesia terkait pelbagai dugaan kekerasan dan pelecehan seksual di perguruan tinggi di Indonesia, ada 174 penyintas, 79 Kampus, 29 Kota, yang terdapat dugaan kekerasan dan pelecehan seksual di universitas. Pelecehan yang dialami para penyintas tak cuma terjadi di lingkungan kampus. Beberapa kasus seringkali terjadi di luar, seperti rumah dosen, indekos, tempat magang, klinik kampus, atau via pesan singkat.

Baca juga artikel terkait PERMENDIKBUD PPKS

tirto.id - Pendidikan
Sumber: Antara
Editor: Gilang Ramadhan