tirto.id - Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menyatakan 783 Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (KUPVA BB/money changer) tak berizin akan segera ditindak. Menurut dia, keberadaan 783 penyedia jasa penukaran mata uang asing ilegal itu rawan memicu maraknya beragam jenis kejahatan luar biasa.
“Di seluruh Indonesia, kurang lebih ada 783 money changer tidak berizin, dan itu sudah diingatkan. Kita mesti tangani,” ujar Agus saat menggelar Konferensi Pers di Gedung Mabes Polri Jakarta pada Senin (5/6/2017).
Agus mencatat, berdasar data Bank Indonesia pada akhir Maret lalu, dari 783 penyedia jasa money changer ilegal itu, hanya 48 persen di antaranya yang dipakai aktif untuk penukaran mata uang asing.
“Dari pendataan per 31 Maret 2017, yang betul-betul dipakai untuk money changer itu 48 persen. Lalu yang dijalankan toko emas 30 persen, dan 8 persen dijalankan tour and travel. Sisanya masuk ke yang lain-lain,” ujar Agus.
Sementara Kapolri Tito Karnavian menyatakan selama ini Polri Telah menutup aktivitas sekitar 455 penyedia jasa Money Changer.
“Money changer ilegal itu rupanya cukup banyak, setidaknya ada 455 penindakan. Mereka telah disegel. Ini bisa ditegakkan oleh hukum, karena money changer ilegal banyak digunakan untuk mendanai kegiatan kriminal, pencucian uang, narkotika, perjudian, dan lain-lain,” kata Tito.
BI Gandeng Polri Berantas Kejahatan Ekonomi
Pertemuan antara Bank Indonesia dan Mabes Polri pada Senin hari ini menyepakati kerja sama kedua lembaga itu dalam menangani kejahatan ekonomi dengan berfokus pada empat hal.
Keempatnya ialah pencegahan dan penanggulangan kasus pemalsuan uang rupiah, pemberantasan terhadap Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (KUPVA BB/money changer) tidak berizin, pengawasan pada penyelenggara jasa pengelolaan uang, serta pengendalian harga pangan dari ulah spekulan.
Gubernur BI Agus Martowardojo mencontohkan implementasi kerja sama itu ialah pihaknya dan Polri akan secara serius menindak tegas para pelaku praktik pemalsuan uang.
“Itu membuat uang rupiah tidak berdaulat. Kalau ada uang palsu, seolah kita ini tidak berdaulat. Untuk itu, perlu dijaga agar kepercayaan masyarakat tidak turun,” ujar Agus.
Agus memaparkan sebenarnya terjadi penurunan data temuan kasus pemalsuan uang yang cukup signifikan dari 2015 ke 2016. Meskipun demikian, menurut dia, kejahatan ini perlu mendapatkan perhatian serius.
“Pada 2015 itu, kasus pemalsuan uang ada 21 lembar per satu juta uang. Sementara pada 2016, turun menjadi 13 lembar per satu juta uang,” kata Agus.
Sementara Kapolri Tito mencatat kepolisian telah menangkap lebih dari 100 pelaku pemalsuan uang pada 2016.
“Sudah ada beberapa kasus diungkap, pelaku-pelakunya pun ditangkap. Ada 111 kasus di tahun 2016, dengan tersangka sebanyak 246 orang. Kita berharap dapat mengoptimalkan pengungkapan kasus-kasus ini, supaya tidak ada uang palsu lagi,” kata Tito.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Addi M Idhom