tirto.id - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menilai mata uang rupiah yang terdepresiasi masih relatif terkendali.
Secara year-to-date, depresiasi rupiah berada di kisaran 7 persen. Adapun persentase tersebut masih lebih rendah ketimbang yang dialami mata uang negara lain seperti di India yang mencapai 9 persen dan di Afrika Selatan yang hampir 13,7 persen.
“Kalau melihat stabilitas nilai tukar rupiah, jangan dilihat hanya dari rupiahnya. Ini kan gonjang-ganjingnya di seluruh dunia,” kata Perry saat jumpa pers di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta pada Jumat (24/8/2018).
Mata uang rupiah bergerak melemah sebesar lima poin menjadi Rp14.650 pagi ini. Pada penutupan perdagangan Kamis (23/8/2018) kemarin, rupiah ditutup pada level Rp14.655. Pergerakan yang cenderung melemah itu diprediksi bakal terus terjadi sampai di kisaran Rp14.690.
Menanggapi hal tersebut, Perry membantah apabila BI diam saja. Perry mengklaim BI terus melakukan stabilisasi mata uang rupiah melalui sejumlah cara. Di antaranya dengan menaikkan suku bunga acuan (7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR). Kenaikan suku bunga itu diharapkan mampu mendorong aliran modal asing agar memenuhi pasar keuangan di Indonesia.
“Aliran modal asing yang masuk melalui SBN (Surat Berharga Negara) untuk investor jangka panjang sudah mulai masuk. Intervensi semacam itu akan terus dilakukan untuk menjaga stabilitas,” ungkap Perry.
Tak hanya dengan menaikkan suku bunga acuan, Perry juga menyebutkan bahwa BI melakukan intervensi ganda di pasar valuta asing, sembari membeli SBN dari pasar sekunder.
Adapun Perry turut mengklaim BI juga telah mempermudah, mempercepat, serta membuat murah tarif swap (swap rate). Perry sendiri mengatakan penerbitan swap rate itu dilakukan secara rutin setiap pagi, serta berjanji bahwa swap rate akan terus tersedia setiap harinya.
"Kami terus memastikan bahwa ketersediaan valas di pasar terjaga. Dalam rangka operasi moneter, siapapun yang punya valas dan butuh rupiah, bisa masuk dalam swap hedging,” kata Perry.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Yantina Debora