tirto.id - Helenio Herrera selalu menekankan dua hal kepada para pemainnya: bertarunglah secara kolektif dan jangan pernah takut untuk mencoba sesuatu━sekalipun hasilnya gagal dan membuatmu seperti pecundang.
Di Inter Milan, pada dekade 1960-an, mantra ini terbukti mujarab. Inter, yang semula medioker, berubah jadi klub ganas di bawah komando Herrera. Trofi demi trofi, yang sebelumnya cuma sekadar dibayangkan, perlahan mampir ke rak koleksi.
Herrera lahir di Argentina pada 1916. Orang tuanya merupakan imigran dari Spanyol yang tinggal dalam pengasingan. Pada awal 1920-an, ia dan keluarganya pindah ke Casablanca, yang waktu itu berada di bawah koloni Perancis. Di kota inilah Herrera mulai kenal dengan sepakbola.
Satu dekade kemudian, Herrera merintis kariernya sebagai pemain sepakbola profesional. Ia pergi ke Paris untuk bergabung ke sejumlah klub seperti Club Athlétique des Sports Généraux, Stade Français, Charleville, Excelsior Roubaix, Red Star Olympique, hingga CSM Puteaux. Tapi, sayang, cedera lutut mengakhiri sepak terjang Herrera yang, menurut pengakuannya sendiri, “tak terlalu istimewa,” di usia 20-an.
Mimpinya menjadi pesepakbola handal boleh kandas, namun tidak dengan gairahnya. Ia lalu berfokus mengembangkan kemampuannya di balik layar sebagai juru taktik. Klub pertama yang ia tangani yaitu Stade Français. Dari Perancis, Herrera lalu menyeberang sampai Spanyol untuk menandatangani kontrak bersama beberapa klub seperti Real Valladolid, Atlético Madrid, Málaga, Deportivo de La Coruña, dan Sevilla.
Titik tolak karier kepelatihan Herrera terjadi pada 1958 saat ia diminta untuk memimpin Barcelona. Ia dibebani target untuk memutus hegemoni Real Madrid. Sesaat setelah ditunjuk, Herrera segera merombak sistem kepelatihan. Ia menambah durasi berlatih dan menggenjot mental para pemain. Metode Herrera mampu menghasilkan dampak positif. Barca memulai misinya begitu baik. Bahkan, mereka dapat mengalahkan Madrid empat gol tanpa balas.
Namun, upaya Herrera runtuh akibat konfliknya dengan László Kubala, bintang Barca asal Hungaria. Jonathan Wilson dalam Inverting the Pyramid: The History of Football Tactics (2008) menulis bahwa konflik keduanya berpusat pada citra juga taktik. Herrera dianggap tidak nyaman dengan status dan kelakuan Kubala di Barca. Di luar lapangan, Kubala punya gaya hidup yang amburadul. Ia peminum berat, suka pesta, dan sering kali absen latihan.
Keadaan ini mendorong Herrera untuk mengambil langkah apa pun agar Kubala dipecat. Bagi Herrera, Kubala hanya benalu yang menggerogoti keharmonisan tim dengan sikap indisipliner. Herrera kemudian datang ke jajaran direksi untuk menyampaikan aspirasinya. Alih-alih mendukung, para bos justru memutuskan untuk berhenti dari jabatannya sebagai bentuk simpati kepada Kubala. Saat itu juga, Herrera paham bahwa kariernya di Barca sudah berakhir.
Penjaga Tahta
Usai dua tahun di Barca, Herrera menuju Italia untuk melatih Inter Milan. Saat Herrera datang, prestasi Inter amatlah biasa. Di bawah Angelo Moratti, presiden klub cum taipan minyak, Inter nirgelar sejak terakhir kali berhasil menjuarai Serie A secara back-to-back pada 1953 dan 1954.
“Ketika aku datang ke Inter, suasananya begitu mengerikan,” kata Herrera seperti ditulis Simon Kuper dalam buku Football Against the Enemy (1994). “Ada papan berisikan kabar soal kejayaan di masa lalu, tapi itu terasa sudah lama sekali.”
Datang dengan ekspektasi yang mirip ketika ia melatih Barca, Herrera segera tancap gas. Ia sangat mengutamakan kedisiplinan, sesuatu yang telah jadi signature-nya sejak lama. Di kepala Herrera, tak ada kualitas individu yang melampaui nilai-nilai kepatuhan. Baginya, kolektivitas adalah hal yang utama dan tak ada ruang untuk mereka yang menganggap dirinya superstar.
Antonio Angelillo, penyerang yang pada musim 1958-1959 mencetak 33 gol, diusir dari tim karena kehidupan sosialnya yang sulit dikendalikan. Armando Picchi, komandan klub, pernah dibuang ke AS Varese karena kedapatan menentang otoritas Herrera.
Kepentingan tim, menurut Herrera, adalah hal yang absolut. Maka dari itu, ia tak ragu untuk melatih dengan tangan besi. Menyingkirkan pemain yang ngeyel dan tak mau patuh hanya sebagian kecil contoh dari wujud kekuasaannya. Di lain kesempatan, Herrera meminta pemainnya diet ketat hingga menerapkan pelatihan khusus bernama ritiro yang situasinya lebih mirip dengan kamp militer.
“Aku telah dituduh sebagai seorang tiran yang benar-benar kejam kepada pemain sendiri,” ucapnya, seperti dikutip di Inverting the Pyramid: The History of Football Tactics. “Tapi, aku hanya menerapkan hal-hal yang kemudian dipakai banyak klub: kerja keras, perfeksionisme, pelatihan fisik, diet, dan tiga hari mengasingkan diri sebelum pertandingan.”
Dalam dua musim pertamanya, metode Herrera membawa Inter duduk di peringkat tiga dan dua. Keadaan tersebut, seperti ditulis Thore Haugstad dalam “The Incomparable Legacy of Helenio Herrera” (2015) yang diterbitkan These Football Times, tak memuaskan Angelo. Herrera pun masuk radar pemecatan.
Agar nasib buruk itu tak datang, ia, di musim ketiga, mengubah pendekatan taktiknya. Bila dua musim sebelumnya Herrera masih mengandalkan gaya bermain yang ofensif, sebagaimana yang ia pakai di Barca, sekarang, ia menerapkan formasi yang cenderung bertahan━atau populer dengan sebutan catenaccio.
“[...] Ia mulai bermain dengan libero, menyuruh [Luis] Suarez untuk lebih ke dalam dan melempar bola-bola panjang, serta mengandalkan serangan balik,” ujar Arrigho Sacchi, mantan pelatih AC Milan. “Mereka [Inter] hanya punya satu tujuan: menang.”
Konsep catenaccio━yang dalam bahasa Italia berarti kunci grendel━sendiri bukan murni ide Herrera. Pendekatan taktik ini digagas dan diterapkan pertama kali oleh Karl Rappan, pelatih tim nasional Swiss asal Austria, pada era 1930-an.
Pemikiran Rappan segera menyebar hingga daerah selatan Eropa. Di Italia, taktik catenaccio menarik minat klub-klub kecil. Pada 1947, taktik ini berhasil membawa klub kompetisi level dua bernama Salernitana, yang dikomandoi Giuseppe Viani, naik tingkat ke Serie A━sebelum akhirnya terdegradasi pada musim berikutnya. Tak sekadar klub gurem, catenaccio juga dipakai klub elite. Sebelum diterapkan Herrera, catenaccio lebih dulu digunakan Noreo Rocco saat ia melatih AC Milan.
Rocco dan Milan berkontribusi besar terhadap mitos catenaccio:sistem ultra-defensif di mana lima orang pemain ditempatkan di garis pertahanan, dilindungi gelandang dengan naluri merebut bola yang begitu beringas, serta rancang permainan yang sengaja dibikin untuk merusak “keindahan sepakbola” demi memperoleh kemenangan. Meskipun dipandang negatif, toh, taktik ini berhasil membawa Milan meraih scudetto pada 1962 dan menjuarai Piala Eropa setahun setelahnya.
Ketika dipakai Herrera, catenaccio tak sebatas berbicara mengenai lini pertahanan yang solid. Herrera menjadikan catenaccio sebagai ruang untuk membangun serangan balik mematikan maupun memupuk kreativitas barisan gelandang tengah. Herrera ingin menegaskan bahwa sistem yang ia gunakan tidak seperti catenaccio pada umumnya━bertahan total.
Dengan pendekatan taktik catenaccio, Herrera membantu Inter meraih kejayaan. Mereka berhasil meraih tiga gelar scudetto (1962, 1964, 1965) dan dua kali beruntun juara Piala Eropa (1964 & 1965). Gelar Eropa pertama bahkan dicapai secara istimewa: mengalahkan Real Madrid, yang saat itu diperkuat Alfredo Di Stefano dan Ferenc Puskas, dengan skor 3-1.
Taktik Herrera tak akan berjalan dengan baik jika ia tak punya amunisi yang cukup berkualitas. Inter punya Giacinto Facchetti, bek kiri yang begitu agresif dan berhasil mencetak 75 gol selama bermain. Kemudian ada nama Armando Picchi, kapten karismatik sekaligus libero yang dahsyat.
Sementara duet Aristide Guarneri-Tarcisio Burgnich di lini belakang memberi jaminan pertahanan yang kokoh. Di barisan tengah, Luis Suarez berperan sebagai pengatur ritme: kemampuan olah bola dan visi bermainnya sangat mumpuni. Untuk urusan menjebol gawang lawan, Inter punya Sandro Mazzola yang penuh determinasi.
Namun, masa jaya Inter tak berlangsung lama. Kehancuran mereka dimulai saat dikalahkan oleh Glasgow Celtic di final Piala Eropa 1967 dengan skor 2-1. Setelah itu, Inter kian tertatih: gagal merebut scudetto dan merosot ke papan tengah. Situasi ini membikin Herrera cabut pada 1967.
Sejak kejayaan 1960-an, Inter seperti kesulitan untuk mengulang pencapaian yang sama sekalipun sempat mendominasi Serie A dalam beberapa tahun sebelum digeser oleh kekuatan Juventus.
Banyak yang bilang kegagalan tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan pelatih-pelatih Inter setelahnya dalam menafsirkan taktik catenaccio yang dibangun Herrera. Sampai akhirnya, pada 2010, Jose Mourinho mampu meruntuhkan asumsi itu dengan membawa Inter berjaya di tiga kompetisi besar dengan menggunakan pendekatan taktik mirip Herrera.
Editor: Nuran Wibisono