tirto.id - Sejak terdepak dari kursi manajer Manchester United Desember 2018 lalu, José Mourinho akhirnya bersedia melakoni wawancara eksklusif perdana di surat kabar. Adalah media Inggris, The Daily Telegraph, yang mendapat kesempatan tersebut Senin (25/2/2019) lalu.
Mourinho enggan berbicara seputar MU dalam wawancara itu. Ini dia lakukan demi menghormati perjanjian untuk tidak membongkar rahasia yang terjadi di balik layar Setan Merah sampai periode yang telah disepakati.
Namun, pria asal Setúbal, Portugal itu tidak ragu menyuarakan ambisinya untuk tetap melatih di level teratas sepakbola Eropa. Ketika ditanyai kriteria klub idamannya, Mou menyebut bahwa dia tidak ingin melatih klub yang menuntut keberhasilan meraih trofi secepat mungkin.
"Sebuah klub yang belum siap untuk jadi pemburu trofi, tapi tentu saja tetap punya ambisi untuk jadi pemburu trofi. Semisal klub itu tak punya ambisi, saya tak akan bergabung. Saya akan menolaknya karena saya ingin berada di level sepakbola dan ambisi tertinggi," ungkapnya.
Bagi Mou, klub idealnya bukan serta merta yang punya dana besar. Dia mengaku tidak lagi mementingkan duit. Baginya, yang jadi prioritas adalah adanya orang-orang yang bisa membantunya bekerja dengan nyaman.
"Saya lebih suka bekerja dengan lima orang pemandu bakat yang benar-benar dekat dengan saya, ketimbang bekerja sama dengan 500 orang pemandu bakat yang belum pernah saya kenal sebelumnya," imbuh Mourinho.
Pertanyaannya, adakah klub yang bisa memenuhi kriteria itu?
Sam Wallace, wartawan yang mewawancarai Mourinho, tidak percaya bahwa ada klub yang bisa memenuhi ekspektasi tersebut. Menurutnya, pernyataan Mou soal "klub yang belum siap tapi punya ambisi" adalah kontradiktif.
Namun dengan tegas si pelatih membantah dan mencontohkan salah satu klub yang sesuai kriterianya.
"Itu yang saya dapatkan di Inter. Pasti ada klub seperti itu," jelasnya.
Peluang Pulang ke Inter
Bagi Mou, Inter memang tempat yang terasa seperti rumah. Di Giuseppe Meazza, dia pernah memenangkan segalanya. Mulai dari dua trofi Liga Italia, satu Coppa Italia, satu Supercoppa, hingga yang paling tinggi yakni gelar Liga Champions musim 2009-2010.
Akibat prestasi-prestasi gemilang itu dia bahkan dinobatkan sebagai pelatih terbaik Serie A dua musim beruntun, pelatih terbaik UEFA, sampai diganjar penghargaan FIFA Ballon d'Or Best Coach.
Di sisi lain, kans Mourinho untuk kembali ke Inter Milan sebetulnya terbuka lebar. Ini tidak lepas dari performa il Nerazzurri yang sedang angin-anginan. Di ajang Liga Champions misal, pelatih Inter sekarang, Luciano Spalletti, gagal total. Inter tergusur lantaran gagal lolos knockout, dan kini dipaksa bermain di Liga Eropa.
Sementara di Liga Italia, Spalletti juga gagal membawa Inter berjaya. Mereka masih terpaku di urutan tiga dan bahkan tertinggal 12 poin dari pemuncak klasemen, Juventus.
Usai kekalahan lawan Bologna pada awal Februari 2019, Spalletti bahkan sempat dipanggil oleh manajemen Inter. Meskipun, seperti biasa, mereka membantah rumor kalau nasib Spalletti terkatung-katung.
"Kami menyadari bahwa kami sedang dalam situasi sulit, sesuatu yang menyebabkan ketidakpuasan dan kesukaran, terutama untuk suporter. Tapi posisi Spalletti aman," kata CEO Inter, Giuseppe Marotta, seperti dilansirSkySports Italia.
Spalletti juga disebut-sebut tak berhasil menjaga keharmonisan ruang ganti Inter. Salah satunya diindikasikan lewat konflik antara Mauro Icardi dengan para pemain Inter lain yang hingga kini tak kunjung selesai.
Lagu Lama Mou
Dalam wawancara di Telegraph, Mou juga menyebut sosok klub yang diinginkannya adalah yang bisa menghadirkan kebahagiaan. Kode ini, lagi-lagi, mengarah jelas ke Inter Milan.
"Saya ingin bekerja dengan orang-orang yang saya cintai. Saya tidak ingin berada dalam kontradiksi yang permanen dengan orang-orang di klub," imbuhnya.
Inter boleh saja tersanjung membaca artikel wawancara Mourinho di Telegraph. Namun, tak ada jaminan bahwa menarik kembali pria asal Portugal itu bisa menjamin prestasi.
Apalagi, menyanjung-nyanjung klub lama sambil mengatasnamakan kebahagiaan adalah lagu lama Mourinho.
Ini pernah dia lakukan setelah menyepakati pemutusan kerja sama dengan Real Madrid pada penghujung musim 2012-2013. Saat itu dia menyinggung Chelsea dengan memuji klub asal London tersebut setinggi langit.
Mou sebelumnya memang pernah melatih Chelsea, tepatnya musim 2005-2006.
Usai misinya untuk pulang ke Chelsea berhasil, dia bahkan berani mendeklarasikan diri sebagai orang paling bahagia di dunia.
"Saya adalah orang yang bahagia. Waktu berjalan cepat. Ini seperti baru beberapa hari lalu, tapi sudah sembilan tahun sejak saya pertama melatih Chelsea. Saya adalah orang yang sama, saya punya hati yang sama dan saya masih punya emosi yang sama terhadap pekerjaan saya," ujar Mou saat itu.
Tetapi toh akhirnya Mou gagal mempersembahkan apa pun. Dua musim sejak kepulangan itu, Chelsea sampai harus memecatnya dari jabatan kepala pelatih.
"Jose dan manajemen [Chelsea] sepakat bahwa musim ini berjalan buruk, dan percaya bahwa hal terbaik untuk kedua pihak adalah berpisah."
Kalimat dalam rilis Chelsea pada 17 Desember 2015 itu jadi episode penutup kebersamaan The Blues dan Mou. Momen itu sekaligus menandai berubahnya julukan sang pelatih, dari 'The Happy One' jadi 'The Unhappy One'.
Editor: Rio Apinino