tirto.id - Angka kematian akibat COVID-19 terus meningkat, bahkan mencapai rekor tertinggi sebanyak 258 dalam sehari pada 25 Desember 2020. Namun, data yang yang dipublikasikan pemerintah lewat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)-Satgas Penanganan COVID-19 menunjukkan grafik menurun.
Dalam Dokumen Analisis Data COVID-19: Update per 20 Desember 2020, grafik yang menurun itu berdasarkan persentase seluruh kematian dengan seluruh kasus terkonfirmasi positif. Pada 20 Desember, misalnya, persentase kematian 2,99 persen karena total kematian 19.880 sementara total kasus 664.930. Tertulis persentase kematian sebesar itu “turun 0,06 persen dari pekan lalu, per 13 Desember 2020.”
Demikian pula grafik 'Persentase Kasus Aktif di Tingkat Nasional'. Total kasus aktif per 20 Desember ada 103.239, sementara total kasus 664.930. Dengan demikian tertulis persentase 15,53 persen. Meski naik 0,45 persen dibandingkan pekan sebelumnya, akan tetapi grafik cenderung melandai dibanding bulan-bulan sebelumnya.
Sementara grafik kesembuhan ditunjukkan cenderung naik, meskipun mengalami penurunan 0,39 persen dibanding pekan sebelumnya.
Analisis data per pekan ini sudah dipublikasikan secara berkala sejak 16 Agustus.
Persentase semacam ini sebenarnya hal yang wajar. Tujuannya untuk mengetahui risiko yang dibutuhkan untuk tindakan epidemiologis. Demikian penjelasan ahli biostatistik dari Universitas Airlangga Surabaya Windhu Purnomo. “Membaca data persentase itu tujuannya untuk melihat risiko. Jadi kematian di Indonesia ini pasien yang terkena COVID-19 menurun. Risikonya, bukan jumlahnya,” kata Windhu kepada reporter Tirto, Senin (28/12/2020).
Mengacu persentase kematian yang disajikan pemerintah di atas, maka menurut Windhu itu bisa dimaknai bahwa orang tidak lagi terlambat datang ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Sebab kebanyakan kasus kematian karena keterlambatan mendapatkan pertolongan medis maupun terlambat mendeteksi bahwa seseorang terinfeksi COVID-19.
Namun, patut dicatat bahwa persentase saja tidak cukup. Data absolut atau data keseluruhan juga perlu dilihat. Data absolut ini, menurut Windhu, juga sangat penting sebagai acuan untuk perencanaan dan menghitung kesiapan logistik, mulai dari kebutuhan tenaga kesehatan, ruang isolasi, hingga pemakaman.
Dua data itu sama pentingnya dan memiliki tujuan yang berbeda-beda, tergantung informasi dan penjelasan yang disampaikan bersamaan dengan data tersebut.
Lalu Windhu bertanya, “pemerintah tujuannya apa memberikan informasi mengenai persentase itu? Itu yang harus dijelaskan.” Menurutnya jika sasarannya adalah masyarakat, maka itu keliru. Dengan grafik tersebut akan rawan disimpulkan bahwa situasi pandemi membaik karena grafik kasus aktif dan kematian menurun. “Kalau kepada masyarakat yang tujuannya agar lebih sadar, maka yang ditunjukkan besaran kasus dan kematiannya berapa dari angka absolut.”
Per 28 Desember, kasus positif COVID-19 di Indonesia mencapai 719.219, bertambah 5.854 dibanding sehari sebelumnya. Rinciannya: 107.789 kasus aktif atau dalam perawatan, 589.978 pasien dinyatakan sembuh, dan 21.452 orang meninggal dunia.
Untuk kasus meninggal kembali mencatatkan tambahan di atas 200 dalam sehari. Angka ini merupakan kejadian yang kelima selama Desember ini, bahkan sejak pandemi diumumkan pada awal Maret.
Firdza Radiany, inisiator Pandemic Talks, praktisi marketing communication, dan analis data juga mengatakan “tidak tepat jika yang ditampilkan hanya persentase tingkat kematian, kasus aktif, dan kesembuhan.”
Idealnya, menurut Firdza, grafik yang disajikan kepada masyarakat adalah grafik jumlah seluruh kematian, kematian harian, dan rata-rata kematian harian yang per hari ini sudah mencapai 120, dan total kasus aktif.
Selain itu juga penting untuk menunjukkan grafik keterisian tempat tidur. Tujuannya untuk menunjukkan seberapa penuh sesungguhnya kondisi rumah sakit.
Kepada reporter Tirto, Senin, dia mengatakan tak mengherankan jika sebagian orang menyebut bahwa data yang ditampilkan oleh pemerintah tersebut sebagai suatu hal yang jahat. “Jahatnya karena grafik tidak menunjukkan empati pada tenaga kesehatan yang sedang berjuang menyembuhkan 105.000 pasien aktif. Grafik tersebut sama sekali tidak membantu nakes dan pasien yang sedang berjuang.”
Di media sosial, grafik ini memang beredar luas dan mendapat tanggapan negatif. Ada yang mengatakan bahwa ini pembodohan, memang tampak lebih baik karena disajikan lewat persentase, memberikan kenyamanan semu untuk masyarakat, dan “yang penting grafik turun” meski di lapangan rumah sakit kehabisan kamar, nakes kelebihan beban kerja, dan sebagainya.
Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adi Sasmito mengatakan data-data yang ada dipakai “sebagai dasar pengambilan upaya kesehatan yang tepat sasaran,” kepada reporter Tirto, Senin (14/12/2020) lalu.
Dia juga mengatakan angka kematian nasional mingguan per 13 Desember lalu memang meningkat 15,5 persen. Karenanya, dia bilang pemerintah akan mengevaluasi kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit rujukan serta mendorong pendeteksian penyakit sedini mungkin.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino