Menuju konten utama

Glock, Dianggap Cacat Desain dan Catatan Buruk yang Menyertainya

Senjata api Glock 17 kaliber sembilan milimeter jadi salah satu barang bukti kasus peluru nyasar di gedung DPR. Bagaimana kelebihan dan kelemahan senjata api ini?

Glock, Dianggap Cacat Desain dan Catatan Buruk yang Menyertainya
Pistol Glock 17 yang diproduksi di pabrik ORSIS, Rusia. FOTO/Wikicommon

tirto.id - “Ketidaktahuan saya tentang senjata, adalah keunggulan saya sebenarnya”

Ucapan merendah Gaston Glock, sang pendiri Glock Ges.m.b.H. pabrik yang memproduksi senjata api Glock 17 fenomenal di dunia. Embel-embel "17" pada Glock tercipta karena butuh 17 percobaan untuk membuat senjata yang bisa bekerja secara otomatis ini sukses tercipta.

Paul M Barrett, dalam bukunya berjudul “Glock: The Rise of America’s Gun,” adalah Google bagi senjata api sipil modern. Pionir dan merek yang mendefinisikan kategori ini. Gaston Glock merupakan teknisi dan pebisnis asal Austria yang pernah bekerja sebagai manajer di pabrik pembuatan radiator mobil di Vienna. Di rumah, Glock merintis usaha menciptakan pisau dan bayonet untuk militer Austria.

Kyle Mizokami, dalam tulisannya di Majalah National Interest, menceritakan pada 1980 Glock tak sengaja mendengar pembicaraan antara dua kolonel militer Austria yang sedang mencari pengganti senjata api Walter P-38, senjata warisan era Perang Dunia II. Militer Austria membutuhkan senjata api yang memiliki kapasitas amunisi melebihi Walter P-38, berbobot tak lebih dari 28 ons, ringan, serta mudah dikokang. Glock, yang terlalu percaya diri, lantas menawarkan diri untuk membantu kebutuhan militer itu.

“Ya, kenapa tidak” kata dua kolonel tersebut.

Glock membeli Baretta 92F, Sig Sauer P220, CZ75, dan Walter P-38 padahal ia tak tahu menahu soal senjata api. Dengan cara otodidak, ia membongkar senjata-senjata itu untuk mengetahui bagaimana cara kerjanya dan bagaimana membuat senjata yang lebih baik. Pada April 1981, Glock akhirnya sukses menciptakan senjata yang menurutnya sesuai kebutuhan militer Austria yang diberi nama Glock 17. Setahun berselang, tepatnya pada 19 Mei 1982, militer Austria melakukan uji coba senjata bikinan Glock, hasilnya pun memuaskan. Militer Australia meresmikan Glock 17 sebagai senjata api baru mereka.

Salah satu kunci sukses Glock 17 ialah penggunaan material plastik. Setengah bodi Glock 17 dibuat menggunakan plastik, sementara itu, setengah lainnya menggunakan baja. Ini membuat Glock 17 “kuat tetapi ringan,” tulis Mizokami. Glock 17 sanggup melontarkan 17 butir peluru sembilan milimeter, dua kali lipat dibandingkan P-38.

Daniel Horan, jurnalis Wall Street Journal, dalam salah satu tulisannya mengatakan kelahiran Glock 17 adalah sesuatu yang “revolusioner.” Karl Walter, ekspatriat Austria yang tinggal di Amerika Serikat, lantas membawanya ke negeri Paman Sama pada 1984.

Pada majalah Fortune edisi Oktober 1984, gambar Glock 17 terpampang di majalah itu. Perlahan, Glock berubah dari senjata buatan Austria menjadi senjata orang Amerika. Dari usaha pisau ala kadarnya menjadi usaha bernilai $100 juta tiap tahunnya.

Glock memang fenomenal. Hingga 2007 ada lebih dari 5 juta Glock jadi simpanan aparat keamanan hingga warga sipil. Michael Washburn, jurnalis The New York Times, dalam tulisannya menyebutkan Glock telah jadi merek goodwill seperti Aqua untuk air minum kemasan atau Odol untuk pasta gigi.

“Glock di mana-mana, muncul di acara TV dan film, terpatri pada lingkar pinggang para petugas, dicatut dalam lagu-lagu hip-hop, dan siluetnya terpampang pada tanda ‘dilarang membawa senjata api’ di bandara-bandara.” Glock adalah senjata yang melahirkan istilah “Glockmeisters” yang maknanya kira-kira "Anda bisa lari, tapi Anda tetap akan mati saat mencobanya."

Populernya Glock juga sampai di Indonesia. Kasus peluru nyasar yang belum lama ini terjadi diduga ditembakkan dari lapangan tembak Senayan dengan Glock 17 yang telah modifikasi. Jarak antara lapangan tembak dan gedung DPR sekitar 400 meter. Glock standar yang belum dimodifikasi memiliki jarak efektif sejauh 50 meter.

Infografik Pistol Glock

Dianggap Cacat Desain

Dilansir Popular Mechanics, senjata api yang dirilis Glock rata-rata memiliki berat pemicu (trigger) 12 pon. Bobot itu, lebih ringan 5 pon dibandingkan senjata sejenis. Efeknya bagi para penggunanya, khususnya yang tak memiliki kemampuan memadai, senjata api Glock akan menghasilkan tembakan yang jauh lebih akurat.

Sayangnya, senjata-senjata Glock tak memiliki sistem keamanan memadai. Glock hanya memiliki sistem pengamanan internal, yakni seperti firing pin dan drop safeties. Ketika pemicu disentuh, seketika itu juga peluru muntah. Popular Mechanic menulis, banyak aparat yang terluka atas ketiadaan sistem keamanan eksternal ini.

USCCA, firma penjualan senjata api di Amerika Serikat, dalam sebuah publikasinya menyebut setidaknya ada tiga masalah keamanan yang terdapat pada senjata-senjata buatan Glock. Pertama, pelatuk terlalu ringan dan terlalu pendek. Kedua, senjata Glock tak memiliki manual keamanan. Ketiga, senjata Glock tidak memiliki mekanisme pelepasan magazine. Akibatnya, Glock bisa menghasilkan tembakan-tembakan peluru yang tidak disengaja. Dari 1988 hingga 1998, di Washington Metropolitan Police Department, telah terjadi 120 insiden terpelatuknya senjata Glock secara tak sengaja.

Bob Owens, jurnalis Los Angeles Times, menulis setidaknya ada dua kematian tak disengaja yang disebabkan Glock. Pertama yakni tewasnya Timothy Stansbury pada 2004. Stansbury tewas selepas ia secara tak sengaja mengejutkan seorang polisi, yang kebetulan sedang menggenggam Glock di tangannya. Pada 2015, Akai Gurley tewas selepas seorang polisi muda pulang ke rumah namun kesulitan membuka pintu. Karena tegang, secara tak sengaja polisi itu melontarkan peluru di Glock miliknya. Peluru memantul dan menewaskan Gurley.

Ada banyaknya insiden lain akibat ketidaksengajaan dari penggunaan senjata api Glock, Owens menulis dugaan penyebabnya “soal rancang desain, Glock memiliki cacat desain.”

Baca juga artikel terkait SENJATA API atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra