tirto.id - Pada 25 Agustus 2021, sebuah akun Facebook bernama Anwar Budiman mengunggah tangkapan layar dari situs Infoindonesia.id. Tangkapan layar dari artikel tersebut berjudul “Turki Mau Pesan 5,2 Juta Dosis Vaksin Nusantara”.
Sebenarnya, informasi terkait vaksin Nusantara dipesan Turki bukan sekali saja beredar. Unggahan lainnya dapat ditemukan di sini, sini, dan sini.
Isi dari unggahan-unggahan ini umumnya mengutip berita-berita mengenai vaksin Nusantara yang dikabarkan dipesan sebanyak 5,2 juta dosis oleh Turki. Salah satu unggahan disertai narasi bahwa vaksin Nusantara yang dibuat di dalam negeri diakui oleh dunia tapi disepeleken dan dimusuhi di negeri sendiri.
Pada 20 April 2021 lalu, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memutuskan untuk tidak memberikan izin untuk uji klinis fase 2 vaksin Nusantara karena sponsor-sponsor vaksin tersebut tidak dapat memenuhi persyaratan uji klinis fase 1, seperti dilansir dari Reuters. Namun penelitian privat dari vaksin ini tetap dilanjutkan.
Lantas, bagaimanakah informasi yang tersebar di media sosial Facebook tersebut? Benarkah Turki memesan sebanyak 5,2 juta dosis vaksin Nusantara?
Penelusuran Fakta
Belum lama ini, tersebar informasi bahwa vaksin Nusantara telah diakui WHO. Namun informasi tersebut tidak tepat, sebab lembaga yang dimaksud berafiliasi dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah situs Clinicaltrials.gov dimana vaksin Nusantara sedang melalui tahap uji klinis studi.
Situs Clinical Trials memuat informasi mengenai uji klinis vaksin Nusantara di laman berjudul “Preventive Dendritic Cell Vaccine, AV-COVID-19, in Subjects Not Actively Infected With COVID-19”. Situs Clinical Trials sendiri merupakan situs pendaftaran uji klinis sebuah studi medis dengan manusia sebagai objek uji. Uji klinis merupakan penelitian dimana manusia sebagai sukarelawan ditugaskan sebagai objek uji, misal pada produk medis, perilaku, atau prosedur medis tertentu berdasarkan protokol dan kemudian dievaluasi untuk diketahui hasilnya. Situs Clinical Trials sendiri dikelola oleh Perpustakaan Kesehatan Nasional Amerika Serikat (NLM) pada Institut Kesehatan Nasional AS (NIH).
Clinical Trials dibuat berdasarkan aturan Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan AS (FDA), yakni Modernization Act of 1997 (FDAMA). FDAMA mengharuskan Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS (HHS), melalui NIH, untuk membuat daftar informasi uji klinis bagi studi yang didanai pemerintah maupun swasta. Dengan demikian, disimpulkan bahwa situs Clinicaltrials.gov tidak berafiliasi dengan lembaga kesehatan WHO.
Sementara itu, situs Infoindonesia.idsendiri mengutip pernyataan Guru Besar Ilmu Biokimia dan Biologi Molekular Universitas Airlangga, Chairul Anwar Nidom terkait pemesanan 5,2 juta dosis vaksin Nusantara oleh Turki.
Menukil dari laman situs tersebut, menurut Nidom, ia mendapat informasi tersebut dari dr. Terawan Agus Putranto, penggagas vaksin Nusantara sekaligus mantan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Nidom disebut menyampaikan hal tersebut lewat diskusi di kanal YouTube mantan Menteri Kesehatan lain, Siti Fadilah Supari, yang dipublikasikan pada Kamis (19/8/2021). Saat ini, meskipun kanal YouTube Siti Fadilah masih ada, video yang disebut tidak dapat ditemukan.
Menurut informasi di laman tersebut juga, Nidom mengklaim bahwa pemerintah Turki bahkan menawarkan uji klinis fase tiga vaksin Nusantara untuk dilakukan di negara mereka.
"Untuk Turki, vaksin Nusantara ini justru menguntungkan karena terus terang bahwa vaksin Nusantara ini dari aspek risiko toksisitas (keracunan), faktor sosial agama itu kan nggak ada masalah. Jadi kalau dia bisa menangkap itu, paling tidak negara Islam akan di-cover sama Turki," tambahnya.
Sebagai tambahan, informasi yang disampaikan situs Infoindonesia.id juga dimuat oleh Antaranews.com. Namun, pada 31 Agustus 2021, atau 5 hari kemudian, situs Infoindonesia.id mengunggah artikel berjudul “Turki Bantah Pesan 5,2 Juta Dosis Vaksin Nusantara”. Pada artikel ini, situs tersebut menyebut pemerintah Turki memesan 5,2 juta dosis vaksin Nusantara dipastikan tidak benar. Hanya saja, Infoindonesia.id tidak mengklarifikasi artikel sebelumnya terkait isu ini.
Sehari sebelumnya pada 30 Agustus, Tirto juga mempublikasikan konfirmasi dari Duta Besar Republik Indonesia di Ankara, Turki, Lalu Muhammad Iqbal, yang membantah kabar Turki membeli 5 juta dosis vaksin Nusantara.
"Hasil klarifikasi saya kepada otoritas berwenang di Turki dapat dipastikan tidak pernah ada pemikiran, rencana maupun pembicaraan pemerintah Turki untuk membeli vaksin nusantara di Indonesia," kata Lalu dalam keterangannya, Senin (30/8/2021).
Lalu pun memastikan tidak ada rencana uji klinis vaksin Nusantara di Turki. Ia menuturkan kasus COVID-19 di Turki sudah di bawah 17 ribu kasus per hari. Selain itu, vaksinasi lengkap di Turki sudah mencapai 45 persen penduduk (93 juta dosis) dan ditargetkan mencapai 70 persen dalam sebulan ke depan.
"Turki sendiri sudah kembangkan 3 jenis vaksin buatan sendiri dan 2 diantaranya sudah memasuki uji klinis tahap 3," imbuhnya.
Tim Tirto juga mengecek vaksin yang sudah digunakan di Turki melalui situs Vaccine Tracker. Beberapa vaksin yang disetujui penggunaannya di Turki adalah Pfizer-BioNTech, Sputnik V, dan Coronavac buatan Sinovac. Kemudian, beberapa jenis vaksin yang berada dalam tahap uji klinis, dan dikembangkan sendiri oleh Turki adalah Erucov-Vac oleh Institut Kesehatan Turki, SARS-CoV-2 VLP Vaccine, SARS-CoV-2 VLP Vaccine Alpha Variant, dan Adjuvanted Inactivated Vaccine oleh Dewan Riset Ilmiah dan Teknologi Turki, dan Koçak-19 Inaktif Adjuvanlı COVID-19 Vaccine oleh Koçak Farma Pharmaceuticals and Chemical Industry Inc.
Kemudian, klaim bahwa vaksin Nusantara tidak memiliki efek samping juga bermasalah. Sebab, dari hasil uji klinis vaksin Nusantara pada 23 Desember sampai 6 Januari 2021 di RSUD Kariadi Semarang terhadap 28 subjek, ditemukan bahwa sebanyak 20 subjek (71,4 persen) mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan, dalam grade 1 dan 2. Efek samping yang dirasakan antara lain, nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal. Bandingkan dengan efek samping pada vaksin Sinovac yang hanya dilaporkan sekitar 0,1-1 persen pada uji klinis fase 3.
Sementara itu, secara terpisah dari Kemenkes, dr. Siti Nadia Tarmizi M.Epid menyampaikan pada Tirto (7/9/2021) bahwa vaksin Nusantara tidak dapat dikomersialkan lantaran vaksinnya autologus atau bersifat individual. Vaksin Nusantara sendiri ia sebut dapat diakses oleh masyarakat dalam bentuk pelayanan berbasis penelitian secara terbatas.
Penelitian tersebut berdasarkan nota kesepahaman antara Kementerian Kesehatan bersama dengan BPOM dan TNI Angkatan Darat pada April 2021 lalu berjudul "Penelitian Berbasis Pelayanan Menggunakan Sel Dendritik untuk Meningkatkan Imunitas Terhadap Virus SARS-CoV-2".
“Masyarakat yang menginginkan vaksin Nusantara atas keinginan pribadi nantinya akan diberikan penjelasan terkait manfaat hingga efek sampingnya oleh pihak peneliti. Kemudian, jika pasien tersebut setuju, maka vaksin Nusantara baru dapat diberikan atas persetujuan pasien tersebut,” ujar dr. Nadia melalui pesan singkat.
Sebelumnya, Tirto juga mengutip tulisan Lily Hikam, peraih gelar PhD di bidang Biomedical Science, University of California Irvine, yang menyampaikan alasan-alasan vaksin Nusantara dianggap bermasalah.
Menurut Lily, teknologi di balik vaksin Nusantara merupakan teknologi yang mendasari imunoterapi kanker. Terapi ini akan jadi sangat mahal karena prosesnya bersifat sangat personal kepada tiap pasien, berkebalikan dengan pendekatan vaksinasi masal yang seharusnya dapat diakses banyak orang. Kemudian, proses yang dilakukan membutuhkan laboratorium yang mahal dan mesti mematuhi prasyarat tertentu, yang juga belum tersedia di Indonesia.
Masih dari pembahasan Lily, yang masyarakat butuhkan saat ini adalah vaksin yang tersedia secara luas untuk seluruh masyarakat. Menurutnya, mengembangkan terapi yang mahal dan eksklusif bukanlah solusi untuk mencapai herd immunity, melainkan hanya memperjelas kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran fakta yang telah dilakukan, belum ada bukti atau konfirmasi resmi bahwa Turki memesan vaksin Nusantara sebanyak 5,2 juta dosis. Klaim tersebut juga telah dipatahkan oleh pernyataan Duta Besar RI di Ankara, Lalu Muhammad Iqbal. Dengan demikian, informasi yang tersebar di media sosial Facebook bersifat salah dan menyesatkan (false & misleading).
==============
Tirto mengundang pembaca untuk mengirimkan informasi-informasi yang berpotensi hoaks ke alamat email factcheck@tirto.id atau nomor aduan WhatsApp +6288223870202. Apabila terdapat sanggahan ataupun masukan terhadap artikel-artikel periksa fakta maupun periksa data, pembaca dapat mengirimkannya ke alamat email tersebut.
Editor: Farida Susanty