Menuju konten utama
Periksa Fakta

Hoaks/Fakta Vaksin Nusantara Dapat Pengakuan WHO

WHO tidak pernah mengeluarkan pernyataan resmi terkait Vaksin Nusantara.

Hoaks/Fakta Vaksin Nusantara Dapat Pengakuan WHO
Header Periksa Fakta IFCN. tirto.id/Quita

tirto.id - Pada 22 Agustus 2021 lalu, akun Twitter @RodriChen (arsip) mengunggah tangkapan layar dari situs berita Jaktim News. Berdasarkan tangkapan layar tersebut, Jaktim News menulis berita berjudul “Masih Digantung Pemerintah, WHO Justru Telah Akui Vaksin Nusantara Aman Digunakan, Tinggal Tunggu Ijin BPOM”.

Akun yang sama juga mengunggah tangkapan layar isi berita. Menurut media daring tersebut, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengakui keamanan Vaksin Nusantara yang digagas oleh mantan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, dr. Terawan Agus Putranto. Sementara itu, Vaksin Nusantara sendiri masih menunggu izin resmi Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM).

Menurut tangkapan layar dari berita Jaktim News tersebut, klaim pengakuan WHO ini berdasarkan jurnal di situs Clinicaltrials.gov berjudul “Preventive Dendritic Cell Vaccine, AV-COVID-19, in Subjects Not Actively Infected With COVID-19” yang artinya “Vaksin Sel Dendritik, AV-COVID-19, pada Subjek yang Tidak Terinfeksi COVID-19."

Lantas, bagaimana fakta dari unggahan dari berita Jaktim News? Benarkah vaksin Nusantara telah diakui WHO?

Penelusuran Fakta

Tim Tirto mengecek situs berita Jaktim News pada 24 Agustus 2021 dan menemukan bahwa berita yang diunggah dua hari sebelumnya itu telah mengalami perubahan judul. Judul baru tersebut adalah “Vaksin Nusantara Masih Digantung Pemerintah, Tinggal Tunggu Izin BPOM”, namun media yang bersangkutan tidak memberi penjelasan bahwa mereka telah mengubah judul berita. Tim Tirto juga telah mengarsipkan berita dari Jaktim News pada 24 Agustus 2021 dengan judul baru ini (arsip).

Pembaruan berita dari Jaktim News tidak lagi memasukkan pengakuan dari WHO. Namun, situs berita ini masih melansir Clinicaltrials.gov sebagai jurnal milik US National Library of Medicine atau Perpustakaan Kesehatan Nasional Amerika Serikat.

Selain Jaktim News, media yang mengunggah berita terkait pengakuan Vaksin Nusantara oleh WHO adalah Galamedia. Media online ini menulis berita dengan judul “WHO Terima Uji Klinis Tahap 2, Vaksin Nusantara Masuk Fase 3! Siti Fadilah: Ribuan Orang Antre”. Kami mengarsipkan laman tersebut di sini.

Senada dengan Jaktim News, Galamedia mengutip situs Clinicaltrials.gov dengan judul “Preventive Dendritic Cell Vaccine, AV-COVID-19, in Subjects Not Actively Infected With COVID-19”. Situs berita ini juga mengutip dr. Terawan sendiri yang menyatakan bahwa vaksin buatannya siap masuk uji klinis fase 3.

Perlu diketahui bahwa Clinicaltrials.gov merupakan situs pendaftaran uji klinis sebuah studi medis dengan manusia sebagai objek uji. Uji klinis merupakan penelitian dimana manusia sebagai sukarelawan ditugaskan sebagai objek uji, misal pada produk medis, perilaku, atau prosedur medis tertentu berdasarkan protokol dan kemudian dievaluasi untuk diketahui hasilnya. Situs Clinical Trials sendiri dikelola oleh NLM pada Institut Kesehatan Nasional AS (NIH).

Clinical Trials dibuat berdasarkan aturan Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan AS (FDA), yakni Modernization Act of 1997 (FDAMA). FDAMA mengharuskan Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS (HHS), melalui NIH, untuk membuat daftar informasi uji klinis bagi studi yang didanai pemerintah maupun swasta.

Menurut situs Clinical Trials, Vaksin Nusantara yang merupakan hasil kerjasama antara PT AIVITA Biomedika Indonesia, RS Kariadi, dan RSPAD Gatot Soebroto berada di uji klinis fase 2. Adapun tahap ini disebut telah selesai dilaksanakan per tanggal 31 Mei 2021.

Pada uji klinis fase 2 ini, efikasi dari vaksin diukur melalui respon sel T yang spesifik pada protein S, yang diukur sebelum dan setelah vaksinasi. Protein S (spike) sendiri adalah protein utama yang digunakan sebagai target pada berbagai vaksin COVID-19, menukil dari artikel yang dimuat di jurnal Nature Reviews Immunology.

Tahap uji klinis kedua ini, menurut glosarium dari FDA, adalah tahap riset ketika peneliti mengumpulkan data mengenai apakah sebuah obat bekerja pada orang dengan kondisi/penyakit tertentu, atau mengukur keefektifan obat. Misalnya, peserta yang menerima obat dapat dibandingkan dengan peserta lain yang menerima pengobatan berbeda/plasebo.

Setelah uji klinis fase 2, ada fase 3 dimana penelitian mengumpulkan informasi tentang keamanan obat dengan menelitinya pada populasi yang berbeda, penggunaan dosis yang berbeda, dan juga kombinasi dengan obat lain. Studi fase ini biasanya melibatkan lebih banyak peserta.

Tirto juga menelusuri apabila WHO sempat berkomentar terkait vaksin ini, namun kami tidak menemukan informasi resmi dari WHO.

Kami juga menemukan pembahasan terkait Vaksin Nusantara yang ditulis oleh Lily Hikam, peraih gelar Ph.D di bidang Biomedical Science, University of California Irvine. Tulisan Lily di laman Infid, organisasi nonpemerintah yang fokus pada isu pembangunan dan demokratisasi, dipublikasikan pada 17 April 2021. Tulisan ini dipublikasikan beberapa hari sebelum BPOM memutuskan untuk tidak melanjutkan uji klinis fase 2 vaksin Nusantara karena sponsor-sponsor vaksin tersebut tidak dapat memenuhi persyaratan uji klinis fase I. Namun penelitian swasta dari vaksin ini telah dilanjutkan.

Menurut paparan Lily, teknologi di balik Vaksin Nusantara merupakan teknologi yang mendasari imunoterapi kanker. Saat ini, penelitian kanker difokuskan untuk melatih kekebalan tubuh pasien dalam mengenali sel-sel kanker dalam tubuh, hingga kemudian menyerang dan menghancurkannya. Sehingga, pengobatan kanker dapat menghindari efek samping dari penggunaan obat-obatan dan kemoterapi.

Terapi Sel Dendritik (DCs-based therapy) Vaksin Nusantara dilakukan degan mengeluarkan sel dendritik (sel DC) dari tubuh, lalu memaparkan sel DC ke protein spike virus SARS-CoV-2, dan kemudian disuntikkan lagi ke pasien, sehingga DC yang direkayasa ini akan mengaktifkan antibodi ketika tubuh terpapar oleh virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.

Lantas, mengapa terapi ini bermasalah?

Pertama, menurut Lily, terapi ini akan jadi sangat mahal. Proses mengeluarkan sel DC dari tubuh, mengisolasi sel DC dan juga melakukan kultur sel, merupakan proses yang mahal dengan laboratorium yang mesti mematuhi prasyarat tertentu, yang sebetulnya belum tersedia di Indonesia. Selain itu, terapi ini jadi sangat personal bagi satu pasien, berkebalikan dengan pendekatan vaksinasi masal yang seharusnya dapat diakses banyak orang.

Menurut Lily, yang masyarakat butuhkan saat ini adalah vaksin yang tersedia secara luas untuk seluruh masyarakat. Mengembangkan terapi yang mahal dan eksklusif bukanlah solusi untuk mencapai herd immunity, melainkan hanya memperjelas kesenjangan antara si kaya dan si miskin.

Selain itu, masih dari penjelasan Lily, penelitian terkait vaksin ini masih sangat terbatas. Belum ada studi peer-reviewed yang membahas keamanan, efikasi, dan kecocokan vaksin ini pada berbagai kelompok tertentu.

Kesimpulan

Berdasarkan penelusuran fakta yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa uji klinis fase 2 masih dilakukan terhadap Vaksin Nusantara. Sementara itu, WHO tidak pernah mengeluarkan pernyataan resmi terkait vaksin ini. Situs ClinicalTrials.gov sendiri merupakan milik Perpustakaan Kesehatan Nasional Amerika Serikat (NLM), bukan WHO. Informasi yang menyebutkan sebaliknya dianggap salah dan menyesatkan (false & misleading).

==============

Tirto mengundang pembaca untuk mengirimkan informasi-informasi yang berpotensi hoaks ke alamat email factcheck@tirto.id atau nomor aduan WhatsApp +6288223870202. Apabila terdapat sanggahan ataupun masukan terhadap artikel-artikel periksa fakta maupun periksa data, pembaca dapat mengirimkannya ke alamat email tersebut.

Baca juga artikel terkait PERIKSA FAKTA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Farida Susanty