tirto.id - Saham-saham perbankan, terutama bank-bank kecil sedang bergerak liar di bursa saham. Setelah Bank Jago (ARTO) yang melonjak tajam usai dibeli oleh Gojek, kini menyusul bank-bank kecil lainnya mengalami cerita yang sama.
Otoritas bursa bahkan harus menghentikan sementara perdagangan saham bank-bank tersebut karena pergerakan sahamnya yang di luar kewajaran atau mengalami unusual market activity (UMA).
Pada Kamis (4/3/21), Bursa Efek Indonesia (BEI) memasukkan dua saham bank yang mengalami UMA yakni PT Bank Amar Indonesia Tbk (AMAR) dan PT Bank Bisnis Internasional Tbk (BBSI). Sehari sebelumnya, BEI mendeteksi UMA pada saham PT Bank Oke Indonesia Tbk (DNAR), PT Bank MNC Internasional Tbk (BABP).
BEI juga menghentikan sementara perdagangan saham sejumlah bank karena peningkatan harga kumulatif yang signifikan. Rombongan saham bank yang di-suspend berjamaah pada Kamis (4/3) adalah PT Bank Capital Indonesia Tbk (BACA), PT Bank Artha Graha Internasional Tbk (INPC), PT Bank Bumi Arta Tbk (BNBA), PT Bank Maspion Tbk (BMAS), PT Bank IBK Indonesia Tbk (AGRS), PT Bank QNB Indonesia Tbk (BKSW), PT Bank Harda Internasional Tbk (BBHI).
Dalam penjelasannya kepada bursa, emiten-emiten perbankan yang mengalami UMA tersebut kompak menyatakan tidak memiliki informasi atau fakta material yang bisa memengaruhi pergerakan harga sahamnya.
Melonjak Setelah Akuisisi
Gerak liar emiten bank-bank kecil tersebut salah satunya dipicu oleh kabar rencana transformasi menjadi bank digital. Hal itu terjadi terutama pada bank-bank yang diakuisisi oleh perusahaan teknologi.
Pada sisi lain, bank-bank kecil memang berupaya untuk menambah modalnya dalam rangka memenuhi ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang modal minimum perbankan yang dituangkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum. Ketentuan modal minimum tersebut ditujukan untuk penguatan struktur, ketahanan, dan daya saing industri perbankan nasional, guna mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Fenomena ini juga mendorong peningkatan harga dari bank-bank tersebut di pasar karena sebagian mulai menghitung valuasinya berdasarkan potensi bisnis dari jumlah pemakai fintech tersebut,” papar Suria Dharma, Head of Equity Research, Strategy, Banking, Consumer Staples dari Samuel Sekuritas Indonesia dalam “Banking Sector Update” yang dikutip Tirto.
Ketentuan baru OJK soal modal minimum mendorong bank-bank kecil terutama BUKU 1 yang kesulitan meningkatkan modal untuk mencari investor baru. Ada yang sudah mendapatkan investor besar dan mengalami perubahan menjadi bank digital seperti Bank Jago. Ada pula yang berusaha menambah modalnya dengan menerbitkan saham baru seperti Bank Maspion, atau mendapatkan suntikan dari investor utama seperti Bank QNB. Namun, sebagian lagi masih dalam proses mencari opsi-opsi agar bisa memenuhi ketentuan OJK.
Bank-bank yang sudah mendapatkan kepastian masa depan terus meroket harga sahamnya, misalnya Bank Jago yang 22,2% sahamnya telah dibeli oleh PT Dompet Karya Anak Bangsa (Gojek). Harga saham Bank Jago melonjak dari semula hanya di kisaran Rp800 pada 2019, per 22 Februari sudah menembus Rp10.900. Ini artinya, harga saham Bank Jago sudah melampaui harga saham Bank-bank BUMN seperti Bank Mandiri, BRI, BNI, ataupun BTN.
Padahal, kinerja Bank Jago belum mengkilap layaknya Bank Mandiri. Per 30 September, Bank Jago masih rugi Rp106 miliar. Bandingkan dengan Bank Mandiri yang sudah mampu mencetak untung hingga Rp14 triliun per kuartal III-2020.
Bank Jago memang dijagokan karena dengan masuk ke dalam komunitas Gojek, akan mendapatkan banyak keuntungan. Bank Jago akan terhubung dengan komunitas Gojek yang kini menghubungkan lebih dari 20 juta konsumen.
Co-CEO Gojek Andre Soelistyo sebelumnya menyatakan bahwa investasi di Bank Jago merupakan bagian dari strategi bisnis jangka panjang yang akan memperkuat pertumbuhan dan keberlanjutan bisnis Gojek ke depan. Akuisisi itu diharapkan memperkuat ekosistem Gojek sekaligus membuka akses yang lebih luas pada layanan perbankan digital di Indonesia.
Gojek akan menyediakan layanan perbankan digital melalui platform Gojek, sehingga jutaan pelanggan Gojek dapat membuka rekening Bank Jago dan mengelola keuangan lebih mudah lewat aplikasi Gojek.
Bank Jago memiliki prospek yang cerah setelah diakuisisi sebagian sahamnya oleh Gojek. Harga sahamnya yang melonjak menandakan optimisme investor terhadap masa depan Bank Jago, meski kini masih mencetak rugi.
Hal serupa dialami oleh Bank Harda yang diakuisisi oleh Mega Corpora milik Chairul Tanjung. Pada 16 Oktober 2020, Mega Corpora membeli 3.084.461.000 atau setara 73,71% saham Bank Harda.
Usai diakuisisi oleh Mega Corpora, Bank Harda akan dijadikan bank digital. Ia juga mendapatkan keuntungan karena akan menggarap potensi dari ekosistem grup Mega Corpora.
“Kami akan menggarap potensi yang ada dalam ekosistem group Mega Corpora, di mana banyak sekali peluang/potensi yang bisa kami manfaatkan dan hal ini tentunya menjadi awal yang bagus untuk perkembangan selanjutnya di masa mendatang,” jelas manajemen Bank Harda dalam paparan publik yang dilaksanakan pada 4 Maret 2021.
Saham Bank Harda juga bergerak liar setelah akuisisi tersebut. Jika sebelumnya hanya di kisaran Rp130, setelah pengumuman akuisisi oleh Mega Corpora, melonjak tajam. Pada 2 November, harganya mencapai Rp298, dan menembus Rp955 pada 18 Januari. Pada 3 Maret, harga saham Bank Harda sudah melesat ke Rp2.410.
Akuisisi oleh investor kakap, dan rencana perubahan ke bank digital mengubah nasib Bank Harda dan Bank Jago. Sayangnya, tidak semua emiten bank yang melonjak harganya benar-benar karena memiliki nasib baik diakuisisi oleh investor dengan komunitas besar seperti Gojek atau Mega Corpora. Sebagian melonjak harga sahamnya karena rumor-rumor yang belum terkonfirmasi sehingga berpotensi terus bergerak liar atau kembali turun tajam.
Yang Melonjak Karena Rumor Akuisisi
Sejumlah emiten bank juga mengalami kenaikan harga signifikan, meski baru sebatas dikabarkan akan diakuisisi. Seperti dialami oleh PT Bank Capital Indonesia tbk (BACA). Saham BACA sudah beberapa waktu tidur di kisaran Rp400. Pada 8 Februari harga sahamnya tiba-tiba melonjak jadi Rp525, dan pada 3 Maret sudah menembus Rp835.
Bank Capital dikabarkan akan dibeli oleh sejumlah investor asing. Kabar yang sempat mencuat adalah Grab dan Sea Limited. Atas rumor tersebut, manajemen Bank Capital dalam penjelasannya kepada otoritas bursa hanya menyatakan: “Perseroan pada saat ini memang sedang mengembangkan layanan digital. Sebagai perusahaan publik, maka ketertarikan investor sangat terbuka untuk semua perusahaan.”
Bank Capital saat ini telah memiliki layanan digital bernama Capital Net. Sea Limited sendiri sudah masuk ke pasar Indonesia, dengan membeli Bank BKE. Sea Limited selanjutnya menjadikan Bank BKE sebagai bank digital, untuk mendukung bisnis e-commerce di Indonesia melalui Shopee. Di Indonesia, Shopee tercatat sebagai marketplace dengan jumlah pengunjung terbesar.
Sea Limited juga sempat dikabarkan akan membeli Bank Bumi Artha. Mencuatnya kabar tersebut membuat saham berkode BNBA ini melonjak tajam. Sebelum 12 Januari 2021, harga sahamnya hanya ada di kisaran Rp400. Pada 19 Februari, saham melonjak jadi Rp1.370 dan melonjak lagi jadi Rp3.320 pada 4 Maret.
Dalam penjelasannya kepada BEI, manajemen BNBA mengaku tidak tahu menahu soal kabar diakuisisi Sea Limited. Yang pasti, BNBA membuka semua opsi untuk memenuhi ketentuan permodalan yang ditetapkan OJK.
“Kami mempertimbangkan semua opsi untuk dapat meningkatkan kinerja bank dan agar bisa memenuhi ketentuan permodalan yang ada. Dan kami merasa yakin hal tersebut akan dapat dipenuhi pada waktunya.”
“Dalam waktu dekat Bank Bumi Arta belum ada rencana melakukan corporate action yang dapat berakibat pada pencatatan saham perseroan di bursa, karena kami masih mempertimbangkan opsi-opsi yang tersedia,” jelas BNBA dalam penjelasannya. BNBA kini tercatat memiliki modal Rp1,49 triliun.
Bank-bank kecil banyak yang berencana untuk bertransformasi menjadi bank digital. Hal itu didorong oleh beberapa perusahaan teknologi yang mulai memiliki bank dan mengubahnya menjadi bank digital.
Yang Berusaha Menambah Modal
Ada yang sudah dibeli ada yang baru sebatas rumor. Sebagian lagi berupaya memperkuat modalnya dengan penerbitan saham baru ataupun injeksi langsung dari pemilik lama. Misalnya Bank Maspion.
Pada 2 Maret, Bank Maspion mengumumkan rencananya menggelar Penambahan Modal dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu II atau rights issue. Jumlah saham baru yang akan diterbitkan mencapai 2.285.792.296 atau sebanyak-banyaknya 33,97 persen dari modal disetor perseroan. Dana yang diperoleh rencananya akan digunakan untuk memperkuat struktur permodalan perseroan.
Pada medio Desember 2020, harga saham BMAS masih anteng-anteng di kisaran Rp300. Memasuki 13 Januari, harga naik menjadi Rp490, kemudian melonjak tajam mulai Februari dan mencapai titik tertinggi pada 3 Maret di harga Rp980.
Tambahan modal melalui rights issue juga dilakukan oleh PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB). Bank yang dulu bernama Bank Yudha Bhakti ini berencana melakukan Penawaran Umum Terbatas (IV) sebanyak 832.724.404 lembar saham pada harga Rp300. Total dana yang akan dihimpun diharapkan mencapai sekitar Rp250 miliar.
Pemegang saham BBYB, PT Akulaku Silvrr Indonesia akan menambah kepemilikannya melalui rights issue tersebut. Akulaku merupakan anak usaha dari Ant Financial (Alibaba Group). Tahun 2019, Akulaku masuk ke Bank Yudha Bhakti dengan membeli 24,98 persen saham. Setelah masuknya Akulaku, pada September 2020, Bank Yudha Bhakti bertransformasi menjadi bank digital dan berganti nama menjadi Bank Neo Commerce. BBYB selanjutnya juga naik tingkat menjadi bank BUKU 2
Setelah rights issue, kepemilikan Akulaku di BUBB akan meningkat menjadi 26,60%.
Harga saham BBYB sendiri terus meningkat setelah masuknya Akulaku. Pada 12 Oktober 2020, harganya sudah bertengger di Rp400. Setelah itu cenderung terus naik dan mencapai harga tertingginya di Rp835 pada 22 Februari.
Manajemen BYBB dalam paparan publik insidentil yang dilaksanakan pada 8 Maret menyatakan, kenaikan harga saham terjadi karena antusiasme dan kepercayaan masyarakat terhadap bank digital yang semakin tinggi.
Secara khusus, manajemen Bank Neo Commerce menyebut faktor utama yang menyebabkan kenaikan harga sahamnya adalah inovasi guna meyakinkan masyarakat agar menggunakan bank digital dalam pengelolaan keuangan. Tak hanya itu, kenaikan harga saham juga didorong oleh serangkaian kerjasama yang dilakukan BBYB dengan berbagai perusahaan digital multinasional, di antaranya Huawei, Sunline, dan Tencent Cloud.
Sementara Bank QNB Indonesia (BKSW) yang dulu bernama Bank Kesawan juga sudah memastikan tambahan modal dari pemiliknya.
Qatar National Bank (Q.P.S.C) sebagai pemegang saham pengendali perseroan yang menguasai 92,48% saham per 30 September, menempatkan dana hingga 30 juta dolar AS. Per Juni 2020, modal inti perusahaan Rp2,71 triliun. Dengan tambahan itu, berarti sudah mencapai syarat modal inti minium Rp3 triliun pada 2022.
Suntikan modal itu menambah keyakinan terhadap BKSW. Harga saham BKSW sejak 2018 cenderung terus turun, hingga titik terendahnya pada 1 April 2020 pada Rp64. Setelah pengumuman suntikan modal dari QNB pada 16 Oktober, harga sahamnya melonjak jadi Rp133. Setelah itu tenang, hingga akhirnya melonjak lagi menjadi Rp262 pada 2 Maret.
Editor: Windu Jusuf