tirto.id - “Tidak ada hujan” kata Rani, perempuan berusia 44 tahun dari Tamil Nadu yang tengah berdemonstrasi bersama ratusan petani lainnya di ibu kota New Delhi. “Bahkan untuk minum, kita mendapatkan air hanya sekali dalam 10 hari.”
Suami Rani memilih mengakhiri hidup dengan minum pestisida. Ia meninggalkan keluarganya dalam belitan utang. Menurut Rani, seandainya pun utang lunas terbayar, sudah saatnya mereka sekeluarga gantung cangkul.
Fenomena bunuh diri petani India bukan hal baru. Dilansir dari Associated Press, dalam 30 tahun terakhir, ada sekitar 59.000 petani yang bunuh diri. Cara yang paling umum adalah minum cairan pestisida yang sedianya digunakan untuk pembasmi hama di sawah.
- Baca juga: Mengakhiri Hidup Akibat Persoalan Jam Kerja
Hasil panen yang buruk, lilitan utang, akses terhadap metode bunuh diri yang mudah, hingga kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar ditengarai sebagai faktor-faktor penyebab bunuh diri petani India.
Menurut Vikram Patel, psikiater dan ahli kesehatan jiwa dari Harvard Medical School, Boston, kondisi ini makin memburuk dengan niat baik pemerintah India untuk memberi santunan berupa dana kepada anggota keluarga yang ditinggalkan. Artinya, orang sengaja bunuh diri agar keluarganya bisa makan.
Sektor pertanian menopang kehidupan lebih dari separuh penduduk India yang jumlahnya menembus 1,3 miliar. Namun, menjadi petani di India adalah profesi berisiko tinggi. Jika hasil panen rusak atau tidak sesuai sasaran, hidup mereka sengsara berkepanjangan.
Meski dipandang sebagai pilar ekonomi negeri, para petani mesti menghadapi kenyataan pahit. Ekonomi tidak berpihak kepada mereka selama tiga dekade terakhir. Sektor yang pernah mengisi sepertiga dari Produk Domestik Bruto (PDB) India, kini hanya menyumbang 15 persen dari total ekonomi India yang mencapai $2,26 miliar.
Protes sering digalang demi menuntut harga hasil panen yang lebih baik, keringanan pinjaman dan pasokan air agar irigasi tetap mengalir selama musim kering. Terkadang mereka melakukan aksi pendudukan atau membuang muatan truk ke jalan raya untuk mengganggu lalu lintas.
- Baca juga: Indonesia Krisis Regenerasi Petani Muda
Selama sebulan terakhir, beberapa petani membawa tengkorak manusia dalam aksi protes. Mereka mengklaim, tengkorak-tengkorak ini adalah para petani yang bunuh diri dari Tamil Naidu, negara bagian di selatan itu yang memang tengah dilanda kekeringan. Mereka menyerukan protes 100 hari dengan slogan “mencegah bunuh diri petani yang telah memberi makan bangsa”.
Juli lalu, Menteri Pertanian India, Radha Mohan Singh melaporkan 11.458 kasus bunuh diri petani pada tahun 2016 ke parlemen. Angka ini masih tergolong rendah dalam dua dekade terakhir lantaran suhu yang relatif turun dan datangnya musim hujan yang normal.
- Baca juga: Pertanian Ramah Lingkungan
Bunuh Diri Karena Perubahan Iklim
Sebuah laporan yang dirilis pada 31 Juli lalu oleh Proceedings National Academy of Science (PNAS) menunjukkan perubahan iklim berada di balik gagal panen yang mendorong petani ke jurang kemiskinan dan depresi, hingga menyumbang tingkat bunuh diri.
Perubahan iklim juga membuat petani mendiversifikasikan tanaman. Selama berabad-abad, petani Tamil Nadu menanam tiga jenis tanaman setiap tahunnya. Mereka menanam padi, milet, lalu kembali menanam padi lagi. Selama beberapa tahun terakhir, beberapa petani beralih menanam tebu untuk memasok pabrik gula tak jauh dari sawah. Beberapa lainnya menanam pisang.
Perubahan iklim memengaruhi sirkulasi air—dan hujan tak mengubah kondisi jadi lebih baik. Seperti dikutip The Wire, “air menjadi barang mewah,” ujar Karti Selravaju, yang ayahnya mati gantung diri di sebuah pohon.
Tamma Carleton, seorang peneliti yang mengumpulkan data bunuh diri selama 47 tahun terakhir, menunjukkan bahwa kenaikan suhu turut meningkatkan angka bunuh diri. Carleton memperkirakan, selama 30 tahun terakhir 59.300 kasus petani bunuh diri akibat pemanasan global.
Pemanasan satu derajat celcius per hari dengan kondisi awal cuaca di atas 20 derajat celcius selama musim tanam menyebabkan kurang lebih 67 kasus bunuh diri di India.Sebaliknya, suhu di luar musim tanam tidak memiliki dampak yang dapat dikenali dalam kaitannya dengan tingkat bunuh diri. Curah hujan yang meningkat sedikitnya 1 cm per tahunnya, dikaitkan dengan penurunan angka bunuh diri hingga rata-rata 7%. Curah hujan menjadi faktor kuat menekan tingginya angka bunuh diri petani.
Temuan ini berkorelasi dengan temuan M.S. Swaminathan, seorang ahli genetika yang turut mencetuskan Revolusi Hijau di India pada 1960.
Akhir dekade 1980an, Swaminathan menemukan bahwa kenaikan suhu 1 derajat celcius mengurangi durasi panen sekitar satu minggu dan menyebabkan kerugian besar.
“Asuransi untuk tanaman yang sesuai, serta kompensasi kerugian akibat karena faktor iklim akan membantu mengurangi rasa tidak berdaya petani yang rentan memicu bunuh diri,” ucap Swaminathan.Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf