Menuju konten utama

Gejolak yang Akan Timbul Jika Novanto Jadi Ketua DPR Lagi

Partai Golkar ingin Setya Novanto dikembalikan jadi Ketua DPR. Langkah yang bisa memicu gejolak politik di Senayan maupun di tubuh Golkar

Gejolak yang Akan Timbul Jika Novanto Jadi Ketua DPR Lagi
Presiden Joko Widodo (kiri) berjabat tangan dengan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto (kanan) seusai jamuan makan di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/11). Dalam pertemuan tersebut Presiden menyambut baik dukungan Golkar dari seluruh wilayah untuk jaga stabilitas dan ketertiban sosial, keduanya juga membicarakan situasi politik terkini, penguatan ekonomi Indonesia, serta komitmen Partai Golkar sebagai partai pendukung pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/foc/16.

tirto.id - Demi mengembalikan nama baik Setya Novanto, juga nama baik Partai Golkar, partai beringin sedang menyiapkan langkah mengembalikan Novanto kembali menjadi Ketua DPR RI.

Namun banyak pihak khawatir kredibilitas DPR akan kembali menjadi kelam jika dinahkodai kembali Novanto. Sebab ketika Novanto mengundurkan diri, kegaduhan politik menghilang, kredibilitas DPR meningkat, dan produktif menghasilkan undang-undang.

Ketua DPP Partai Hanura Dadang Rusdiana menolak wacana tersebut. Menurutnya sudah lebih baik DPR RI dinahkodai oleh Ade Komarudin.

“Jadi wajah DPR bisa gak karuan nih, itu yang jadi problem, kita hawatir mundur lagi citra kita (DPR),” keluh Dadang kepada tirto.id, Selasa (22/11/2016).

Peluang untuk Novanto memang masih terbuka. Dalam kasus yang dikenal sebagai "papa minta saham" itu, Novanto sudah diperiksa oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Namun, beberapa saat menjelang vonis MKD, pada 6 Desember 2015 silam, Novanto memilih mundur dari kursi Ketua DPR. Karena itulah Novanto tak bisa divonis melakukan pelanggaran sedang sebab sudah mengundurkan diri. Padahal, jika saat itu dia tak mengundurkan diri, maka akan dikenakan sanksi pemindahan keanggotaan pada alat kelengkapan DPR atau pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan DPR.

Nasib Novanto memang tidak berakhir, bahkan kembali melejit. Ia berhasil memenangkan pertarungan memperebutkan jabatan Ketua Umum Golkar. Jabatan sangat strategis itulah yang membuat kiprah Novanto masih panjang, bahkan semakin signifikan.

Babak baru kemudian bergulir. Pada 7 September yang lalu, Novanto dimenangkan Mahkamah Konsitusi (MK) terkait uji materi alat bukti elektronik yang dipakai untuk mengadilinya di MKD. Maka dari itu dia tak bisa diadili MKD DPR dan Kejaksaan Agung dengan mengandalkan alat bukti berupa rekaman dugaan pemufakatan jahat.

Selain itu, 12 hari kemudian, masih di bulan yang sama, Novanto meminta MKD DPR melakukan peninjauan kembali atas kasusnya. Bahkan dia mendesak agar MKD DPR bertanggung jawab untuk memulihkan kembali harkat, martabat, serta nama baiknya.

Yorrys Raweyai, Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan DPP Partai Golkar mengakui bahwa partainya tengah mempertimbangkan agar Novanto kembali menjadi ketua DPR. Wacana tersebut menurutnya mulai dibahas dengan serius di internal partai pada Selasa (8/11/2016) yang lalu. Dan rapat menghasilkan keputusan bahwa Golkar akan mengajukan lagi Novanto untuk menduduki kursi tertinggi di Senayan.

Memang berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 atau UU MD3, pada Pasal 87, Novanto dianggap berhenti sebagai pimpinan DPR karena mengundurkan diri. Namun dalam UU MD3, pergantian atau pencopotan jabatan anggota dewan diserahkan sepenuhnya pada partai politk yang bersangkutan.

Bahkan dalam ketentuan pasal pasal 92, Badan Musyawarah yang terdiri dari perwakilan dari 10 partai politik di DPR, tak memiliki kewenangan terkait pencopotan atau pergantian anggota dewan. Bamus hanya bisa memberikan pendapat kepada pimpinan DPR, baik didengar, dilaksanakan, atau tidak.

Novanto juga memenuhi pasal 87 butir 6, yaitu, jika pimpinan DPR dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pimpinan DPR yang bersangkutan melaksanakan kembali tugasnya sebagai pimpinan DPR.

DPR Kembali ke Masa Kelam

Mundurnya Novanto dari jabatan sebagai pimpinan DPR berimbas semakin baiknya citra lembaga legislatif tersebut. Kegaduhan yang dimunculkan dari kasus "papa minta saham" pun mereda. Dadang menilai, jika dipaksakan ada pergantian Ketua DPR dari Ade Komarudin kepada Novanto malah akan memunculkan polemik baru. Hal tersebut akan mengguncang kondisi kondusif lembaga tersebut.

“Rakyat akan sinis kalau kita terus menerus disibukkan oleh perebutan kekuasaan,” tuturnya.

Menurut anggota komisi X DPR tersebut, Ade tak layak diganti sebab dia tak melakukan kesalahan baik secara etik maupun hukum. Dadang berharap agar DPR tak kembali terjerumus para perdebatan pergantian ketua. Sebab ada berabgai program pengawasan dan perumusan undang-undang yang harus segera diselesaikan.

Di era kepemimpinan Novanto, DPR hanya mengesahkan 2 undang-undang prioritas dan 10 RUU kumulatif terbuka. Dua RUU yang disahkan tersebut ialah RUU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan RUU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 2 tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.

Sedangkan di era kepemimpinan Ade, DPR berhasil mengesahkan 8 undang-undang prioritas dan 2 RUU kumulatif terbuka. Delapan RUU tersebut ialah RUU Pengampunan Pajak (tax amnesty), RUU Tabungan Perumahan Rakyat, RUU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, RUU tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), RUU tentang Penyandang Disabilitas yang berparadigma memenuhi hak penyandang disabilitas, baik hak ekonomi, politik, sosial maupun budaya, RUU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada), RUU Perlindungan Anak (Perppu Kebiri), dan RUU Merek dan Indikasi Geografis.

Oleh karena itu, Supratman Andi Agtas, Ketua Badan Legislasi DPR berharap pergantian ketua DPR tak membuat DPR kembali kendor dalam mengurusi undang-undang. Dia memang menganggap pergantian ketua DPR diserahkan kepada partai yang bersangkutan, namun dia berharap pergantian tersebut tak memunculkan gejolak politik yang baru. Sebab dia menilai saat ini konstelasi politik di DPR adem pasca ditinggalkan Novanto.

“Kalapun ada pergantian kalau bisa secara smooth dan tidak menimbulkan dinamika baru di Parlemen,” ucapnya ketika ditemui di Komples Parlemen DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (22/11/2016).

Sedangkan Junimart Girsang, Anggota Komisi III DPR Fraksi PDIP mengaku secara etika tidak punya hak untuk memberi komentar terkait wacana Novanto akan menjadi ketua DPR kembali. Dia menyerahkan sepenuhnya hal tersebut ke Partai Golkar.

“Dulu itu yang pasti dia (Novanto) mengundurkan diri, bukan berhenti atas keputusan dari MKD. Kalau beliau sudah mengundurkan diri, tentu tidak ada dampak hukumnya dengan MKD. Oleh karena itu semua terserah bagaimana internal partai dari Pak Setya Novanto menyikapi pengunduran diri tersebut, dan menyikapi hasil keputusan MK, dan penyelidikan di Kejaksaan Agung,” ujarnya kepada tirto.id, Selasa (22/11/2016).

Lucius Karus, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menganggap bahwa Novanto memaksimalkan kekuasaannya di Partai Golkar untuk menyingkirkan Ade sebagai ketua DPR. Dia berujar bahwa, Partai Golkar akan kembali berhadapan dengan sengketa internal jika Ade tak terima. Sebab untuk mengeksekusi proses pergantia ketua DPR, harus berdasarkan persetuan dari Ade.

“Saya kira akan sulit bagi Golkar untuk mengeksekusi penggantian jika Ade melakukan perlawanan,” kata Lucius kepada Tirto, Selasa (22/11/2016).

Terlebih, tak etis jika Novanto merebut kembali jabatannya. Sebab sebelumnya dia sendiri yang memutuskan untuk mengundurkan diri. Selain itu, pergantian pimpinan DPR yang tergolong momen sensitif akan dilakukan meski Ade tak melakukan kesalahan apapun. Harusnya ada proses yang dilalui yang menjadi alasan bagi lahirnya keputusan pemberhentian Ade.

“Jika sekarang dia ingin mengambilnya kembali, alasan etis apa yang bisa mendukungnya? Bagaimana bisa melakukan penggantian tanpa ada pelanggaran atau hal-hal yang menjadi syarat seseorang bisa diberhentikan dari jabatannya sebagai pemimpin DPR."

Di sisi lain, gejolak di internal Partai Golkar pun mulai bermunculan. Ahmad Doli Kurnia, politkus muda Partai Golkar menganggap kembalinya Novanto menjadi ketua DPR dapat‎ menimbulkan kegaduhan baru, baik di internal Golkar maupun di DPR. Selain itu akan mengganggu kinerja DPR dan bisa menghambat kerja pembangunan.

Infografik Langkah maju-mundur setya novanto

Padahal dalam mekanisme internal Partai Golkar terkait pergantian, penempatan, dan penetapan kader pada posisi lembaga tinggi negara harus dikonsultasikan ke Dewan Pembina yang diketuai Aburizal Bakrie. Selain itu, meski Ade tak bertentangan dengan sikap politik pemerintah, namun Doli menduga dia diganti atas pertimbangan dari Presiden Jokowi.

“Kepemimpinan Golkar saat ini sangat picik. Langkah-langkah politik yang diambil lebih pada berorientasi pribadi, kelompok, dan konspiratif. Keputusan-keputusannya dan cara pengambilan keputusannya selalu kontroversial, mengedepankan kepentingan jangka pendek, serta menimbulkan spekulasi adanya pengaruh kekuatan dan kepentingan di luar partai bahkan di luar kepentingan negara,” jelas Doli melalui keterangan tertulisnya.

Lantas apakah demi memperbaiki citra Novanto, lembaga legislatif Republik Indonesia harus dikorbankan. Padahal di tangan Ade, DPR bisa diukur dengan rasional memiliki kinerja yang lebih baik.

Baca juga artikel terkait KETUA DPR RI atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Politik
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Zen RS