tirto.id - Nama Lucky Y Matua atau dikenal Lukius menjadi perhatian publik beberapa waktu lalu. Pria berpangkat Pratu dari satuan Yonif Raider 400/IV Diponegoro itu menjadi desersi setelah gabung Tentara Nasional Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
Nama Lukius muncul setelah media lokal Suara Papua memberitakan kabar pembelotan Lukius. Lukius disebut ikut penyerangan pos TNI di Bulapa, Intan Jaya, baru-baru ini. Pihak TPNPB pun mengkonfirmasi soal keterlibatan Lukius sebagai komandan lapangan penyerangan dan menyatakan warga kelahiran Wamena itu sudah mantan TNI.
"Februari 2021 (sudah membelot), karena dia lihat anggota TNI suka tembak masyarakat sipil, termasuk pendeta," kata Juru Bicara TPNPB Sebby Sembom pada Jumat (16/4/2021) lalu.
Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III lantas menuding penyerangan ke TNI di Bulapa itu sebagai bentuk frustasi karena TPNPB gagal merevisi UU Otsus.
Kepala Penerangan Kogabwilhan III Kol Czi IGN Suriastawa menyebut berita Lukius sebagai propaganda, dan menyebut media yang memberitakan sebagai pendukung OPM. Padahal media itu independen dan kredibel untuk isu Papua.
Lukius kabur dari pos bawa dua magasin dan 70 butir peluru kaliber 5,56 mm tanpa membawa senjata dan sampai saat ini tidak jelas keberadaannya.
"Media pendukung OPM memuat berita tentang kaburnya oknum prajurit TNI dari Yonif 410. Walaupun hal itu benar, tetapi kejadiannya tanggal 12 Februari 2021 yang lalu. Bukan kejadian baru dan sudah diberitakan di media," imbuh Suriastawa.
Pembelotan Dipicu Faktor Kedaerahan
Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa menuturkan, Lukius adalah pria berumur 24 tahun yang besar di Wamena dan bertugas di Batalyon Infanteri 410 di Jawa Tengah. Lukius terdeteksi desersi setelah kembali bertugas di Papua dan di bawah komando Mabes TNI.
"Senjatanya ditinggal, semua perlengkapan ditinggal kecuali ada yang dibawa ada dua magasin," kata Andika, Selasa (20/4/2021).
Andika memastikan Lukius dipecat setelah desersi selama 30 hari. Ia pun mengatakan, TNI AD melakukan pengejaran terhadap Lukius baik secara fisik maupun elektronik. Hasilnya, Lukius masih berada di Papua.
Pembelotan Lukius disebut Andika bukan kali pertama dalam tubuh TNI AD. Hanya saja motivasi berbeda-beda. Dalam kasus Lukius, Andika meyakini bukan berkaitan program TNI untuk memprioritaskan orang asli Papua untuk jadi tentara. Ia menyebut banyak motivasi yang melatari setiap pasukan desersi.
Berbeda dengan Andika, peneliti militer Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Haripin mengatakan faktor desersi tidak lepas dari identitas kedaerahan Lukius sebagai orang asli Papua.
"Saya melihatnya lebih ke identitas Lukius sebagai orang sana juga yang membuat dia desersi," kata Haripin kepada reporter Tirto, Rabu (21/4).
Ia menilai TNI agar tidak menarget Lukius untuk mati melainkan dibawa ke pengadilan agar diketahui apa sebenarnya motivasinya. Karena desersi Lukius juga berkaitan dengan masa depan prajurit TNI asal Papua yang direkrut besar-besaran.
Dengan begitu, kata Haripin, TNI AD agar tidak mendiskriminasi para putra-putri Papua di masa depan setelah kasus Lukius. Jangan sampai TNI memperlakuan khusus calon tentara dari Papua berupa screening berlebihan, karena akan berpotensi memicu Lukius-lukius baru.
Pembelotan TNI-Polri ke TPNPB bukan kali pertama. Juru bicara TPNPB Sebby menyebut pada 1970-1980 banyak anggota TNI gabung ke kelompoknya. Termasuk Deklarator Kemerdekaan Papua Barat pada 1 Juli 1971, antara lain Seth Jafet Rumkorem dari Kostrad, Elieser Awom dari Brimob pada 1980-an. Kemudian Surabut dari Batalyon 753 Manokwari. Lantas juga ada polisi yang menjual senjata di Yikwa merupakan bagian TPNPB.
Fokus Dialog, Bukan Pendekatan Militer
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Jafar menambahkan ada faktor konflik batin, sehingga mendorong Lukius membelot. Mungkin ia melihat situasi di sekelilingnya tidak sesuai hati nurani.
"Pilihan-pilihan untuk kemudian bertahan atau menyeberang ke kubu lain memunculkan tanda tanya bagaimana mekanisme indoktrinasi dan kemudian pendisiplinan di internal militer. Mengapa sampai kemudian muncul pembelotan," tanya Wahyudi kepada reporter Tirto, Rabu pekan lalu.
Oleh karena itu, perbincangan soal perbaikan doktrin perlu kembali menjadi perhatian, apalagi metode perang adalah pendekatan konvensional. Dalam perbaikan doktrin, perlu ditekankan bahwa penyelesaian Papua bukanlah lewat militer. Cara lainnya dengan dialog untuk penuntasan masalah HAM hingga kesejahteraan ekonomi. Singkatnya perlu kebijakan afirmasi bagi orang asli Papua.
Banyaknya anggota TNI yang desersi juga disumbang situasi Papua. Tidak ada kejelasan apakah status darurat sipil atau darurat militer. Kendati bila kedua status itu diterapkan tetap bukan solusi bagi Papua.
Peneliti LIPI Haripin menyatakan perlunya opsi dialog hingga gencatan senjata. Apalagi saat ini tengah berlangsung proses pembahasan perpanjangan Otonomi Khusus (Otsus) Papua di DPR RI.
"Beberapa kawan di LIPI usul agar ada jeda kemanusiaan. Jadi meminta pemerintah Indonesia atau TNI dan juga KKB sendiri atau OPM untuk ceasefire, gencatan senjata. Karena isu Otsus ini akan panas, jadi lebih baik dibicarakan dengan kepala dingin meski sulit," ujar Haripin.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zakki Amali