Menuju konten utama

Gaya Baru Wajah Lama Menyisir Pajak Kelas Menengah

Pemerintah terus menyisir wajib pajak baru untuk mengejar target pajak Rp1.360 triliun. Cara yang sama pernah diterapkan di 2007. Sayangnya, cara itu hanya semangat diterapkan selama beberapa tahun saja.
Dengan target yang tinggi tersebut, pemerintah harus bekerja keras mencapainya. Sedangkan di Indonesia masih minim penerimaan setoran Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (WPOP), seperti negara maju.

Gaya Baru Wajah Lama Menyisir Pajak Kelas Menengah
Sejumlah warga melaporkan SPT Tahunan Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Duren Sawit, Jakarta. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Target penerimaan pajak pada APBN-P 2015 hanya tercapai 81 persen, merupakan terendah dalam 10 tahun terakhir. Pemerintah kembali menetapkan target pajak yang cukup tinggi dalam APBN 2016 hingga Rp1.360,1 triliun atau 25 persen di atas realisasi penerimaan pajak 2015.

Dengan target yang tinggi tersebut, pemerintah harus bekerja keras mencapainya. Apalagi, pajak merupakan tulang punggung perekonomian dengan kontribusi hingga 74,6 persen dari total penerimaan negara. Segala macam cara diupayakan oleh Direktorat Jenderal Pajak agar target pajak 2016 bisa dicapai.

Salah satu upaya mengejar target pajak adalah dengan sistem pengumpulan data calon dan wajib pajak melalui pemanfataan teknologi informasi (TI) berbasis website bernama “Geo Tagging”. Penyisiran wajib pajak dengan TI ini tentu saja mendapatkan respons negatif, terutama dari pengusaha kecil.

Setoran Rendah, Wajib Pajak Ditambah

Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang P.S Brodjonegoro sudah memerintahkan aparat pajak untuk menggecarkan ekstensifikasi guna mencapai target 2016. Ekstensifikasi bukan sekadar menambah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), melainkan kepatuhannya.

"Kalau kita sudah punya sejumlah warga negara kita yang punya NPWP, maka yang perlu kita perbaiki adalah kepatuhannya dalam memasukkan SPT maupun untuk membayarnya dengan benar," tegas Menkeu Bambang.

Ekstensifikasi pajak memang bukan barang baru. Darmin Nasution ketika awal memimpin Ditjen Pajak pernah melakukan ekstensifikasi pajak besar-besaran pada 2007. Ketika itu, penyisiran wajib pajak baru untuk mengejar target pajak yang terus meleset sejak 2005.

Darmin yang kini menjabat sebagai menteri koordinator bidang perekonomian sempat menyebut upaya ekstensifikasi agar jangan seperti “berburu di kebun binatang”. Maksudnya, aparat pajak jangan hanya menggali penerimaan dari wajib pajak existing yang jumlahnya terbatas.

Dalam setahun, Darmin mampu menambah daftar hingga 2 juta NPWP dari 4,66 juta jadi 6,69 juta. Upaya Darmin cukup sukses. Penerimaan pajak 2008 melampaui target. Dari target pajak 2008 yang hanya Rp609,227 triliun, realisasinya mencapai Rp658,700 triliun atau 108,12 persen.

Sayangnya, capaian gemilang dari program ekstensifikasi pajak hanya bertahan setahun. Tahun-tahun berikutnya penerimaan pajak kembali kedodoran. Penerimaan pajak 2009 hanya tercapai 95,09 persen, dan terburuk pada 2015 ketika capaian hanya 81,5 persen.

Darmin pernah mengatakan kinerja perpajakan sangat dipengaruhi informasi, pengumpulan data, mutu SDM, kondisi ekonomi, dan budaya kerja aparat pajak. Untuk mengukur kinerja perpajakan biasanya akan terlihat dari angka rasio pajak terhadap PDB. Selama bertahun-tahun rasio pajak Indonesia berkisar di angka 10-12 persen.

Sedangkan negara-negara maju seperti Jerman sudah mencapai 36 persen, disusul Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat (AS) masing-masing 34 persen, 32 persen, dan 25 persen. Di negara-negara maju, penerimaan pajak sangat mengandalkan setoran Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (WPOP), sedangkan di Indonesia masih minim.

"Negara lain di dunia ini sangat mengandalkan PPh orang pribadi. Di kita itu tidak signifikan, nggak ada apa-apanya dibandingkan total penerimaan pajak. Padahal harusnya dominan," kata Darmin.

Genjot Pajak Kelas Menengah

Dalam strategi barunya, Ditjen Pajak akan fokus menarik pajak dari WPOP yang berprofesi wiraswasta maupun pekerja. Menkeu Bambang Brodjonegoro mengatakan, selama ini negara terlalu bergantung pada Pajak Penghasilan (PPh) badan atau perusahaan. Sumber dari pajak PPh badan rentan terkoreksi karena bergantung kondisi ekonomi. Jika keadaan ekonomi sedang jelek, pendapatan dari PPh badan bisa turun.

"Penerimaan pajak dari WPOP pada 2015 memang ada peningkatan, tapi jumlahnya masih terlalu kecil," kata Bambang Brodjonegoro dikutip dari Antara.

Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi mencatat jumlah kelas menengah di Indonesia yang berbelanja Rp100.000 - Rp200.000 per hari mencapai 129 juta orang. Kenyataannya, jumlah WPOP terdaftar di kantor pajak hanya 27,57 juta orang. Setoran pajak dari WPOP hanya menyumbang Rp9 triliun per tahun untuk PPh Pasal 25 dan 29. Jumlah WPOP 2015 meningkat dibandingkan 2014 yang sebesar 25,05 juta. Peningkatan ini belum seberapa, potensi jumlah WPOP di Indonesia lebih dari 60 juta orang

"Kelas menengah ke atas kita jumlahnya 129 juta jiwa, tapi yang terdaftar memiliki NPWP baru 27 juta orang. Kami akan mempermudah orang untuk memiliki NPWP, dan mempermudah pembayaran pajak," kata Ken dikutip dari Antara.

Untuk menyisir calon wajib pajak atau asetnya, Ditjen Pajak akan menggunakan geo tagging. Dasar pelaksanaan geo tagging merupakan warisan peraturan yang dibuat oleh mantan Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito, melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Nomor SE-48/PJ/2015 tentang kegiatan pemetaan lokasi wajib pajak pribadi dan atau badan serta objek pajak bumi dan bangunan melalui geo tagging. Saat ini sudah ada 440.000 lokasi yang ditandai dengan geo tagging.

Melalui geo tagging, sebuah aktivitas bisnis yang potensial sebagai objek baru pajak bisa terlacak dan terdata. Sebagai contoh, sebuah toko atau restoran yang ramai pengunjungnya bisa menjadi objek geo tagging. Dengan sistem ini akan mudah terlacak apakah pemilik dari usaha tersebut sudah punya NPWP atau sebaliknya.

Setelah ditandai maka pegawai pajak akan melacak pemilik atau wajib pajak bersangkutan. Mereka akan diberi surat imbauan pembayaran pajak.

Ada sekitar 300 kantor pelayanan pajak yang ada di seluruh Indonesia sedang menyisir dan memetakan calon wajib pajak, batas waktunya hingga 30 April 2016. Lokasi yang disisir tak hanya kawasan perumahan, juga tempat-tempat usaha skala pribadi.

Penggunaan TI merupakan solusi, sebab saat ini Ditjen Pajak masih kekurangan tenaga sekitar 25.000 orang dari angka ideal 60.000 petugas pajak. Di sisi lain, target pertambahan wajib pajak di tahun ini mencapai dua juta wajib pajak. Jumlah petugas pajak hingga akhir tahun lalu hanya 37.100 orang.

Penggunaan geo tagging ini tentu saja mendapat respons negatif, terutama dari pengusaha kecil. Misalnya saja Sri Elvina, seorang pemilik klinik di Citayam, Depok, Jawa Barat. Ia menilai, pemerintah sebaiknya fokus kepada pengusaha besar, bukan pada pengusaha kecil seperti dirinya.

"Usaha-usaha besar saja masih ada yang menghindar atau tidak bayar pajak. Usaha-usaha besar saja nggak semua bayar pajak dan taat pajak. Yang kecil terus ditekan, kalau bisa semua dipajakin sama mereka. Sedangkan pengusaha besar, kalau bisa dibebasin dan diberi pengampunan pajak," ujar Sri dengan nada kesal saat ditemui di kliniknya oleh tirto.id.

Reaksi Sri mungkin bisa mewakili kebanyakan masyarakat kelas menengah yang masih tak rela dijadikan bulan-bulanan untuk memenuhi target pajak. Apalagi kasus-kasus penyelewengan pajak masih saja bermunculan. Masih ada pesimisme masyarakat terhadap pengelolaan pajak di tanah air.

Sementara pemerintah berpandangan sudah saatnya menegakkan aturan pajak secara tidak pandang bulu. Baik perusahaan besar, kecil, ataupun orang pribadi, semuanya harus berpartisipasi terhadap pembangunan melalui pajak. Tentu saja dengan catatan, pengelolaannya dilakukan secara penuh kehati-hatian dan bisa dipertanggungjawabkan.

Baca juga artikel terkait APBN atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Suhendra