Menuju konten utama

Akar Krisis di Dunia Islam: Kemerosotan Intelektual Berkepanjangan

Ketika para ulama menjaga jarak dengan kekuasaan, dunia Islam mencapai zaman keemasannya. Pudar kala ambisi militer dan relasi ulama-penguasa menguat. 

Akar Krisis di Dunia Islam: Kemerosotan Intelektual Berkepanjangan
Jemaah Forum Silaturahmi Majlis Ta'lim Banjarmasin melaksanakan salat Idul Fitri di kawasan kayu tangi, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Selasa (4/6/2019). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/ama.

tirto.id - Dunia muslim kontemporer mengidap penyakit kekerasan dan otoritarianisme. Sejak 1994 hingga 2008, seturut catatan BBC dan King's College London, kelompok Islamis melakukan tiga per lima dari 204 kasus pengeboman teroris di seluruh dunia. Bahkan hanya dalam satu bulan, pada November 2014, tercatat lebih dari 5 ribu orang tewas akibat serangan 16 kelompok jihadis muslim.

Fenomena kekerasan itu terjadi di tengah indeks demokrasi dunia muslim, yang menurut Freedom House, rendah. Hanya kurang dari satu per lima negara muslim yang menganut demokrasi elektoral. Fenomena itu juga terjadi di tengah negara-negara mayoritas muslim yang memiliki pendapatan nasional bruto (PNB), tingkat melek huruf, literasi, akses ke air bersih dan harapan hidup di bawah rata-rata dunia.

Kalangan esensialis, seperti Bernard Lewis dan Samuel Huntington, berpendapat bahwa ajaran Islam sendiri-lah yang menjadi penyebab kemunduran itu. Mereka menganggap Islam pada dasarnya "memiliki perbatasan berdarah" yang menyebabkan stagnansi kemajuan.

Lewis dan Huntington juga menganggap Islam adalah penyebab maraknya otoritarianisme di negara-negara Muslim. "Tidak seperti Kristen, Islam menolak konstitusi sekular. Penolakan itu membawa negara-negara muslim pada otoritarianisme," ungkap Lewis dalam The Political Language of Islam (1988).

Charles Rowley dan Nathanael Smith juga berpendapat, defisit demokrasi di negara-negara muslim berasal dari jantung ajaran Islam itu sendiri. Karena itu, bagi kalangan esensialis, kemajuan dunia muslim baru bisa dicapai dengan memisahkan agama dan negara.

Sementara itu, para pemikir muslim seperti Mohammed Ayoob dalam The Many Faces of Political Islam (2008) menyalahkan intervensi Barat sebagai penyebab munculnya budaya kekerasan dan stagnansi dunia muslim. Ayoob berpendapat, "Intervensi Barat di Timur Tengah tidak terbatas pada penjajahan, tapi lebih jauh bertranformasi ke dalam berbagai bentuk pada masa kontemporer."

Mencari Sumber Krisis

Guru Besar Ilmu Politik San Diego State University, Amerika Serikat, Ahmet Kuru dalam karya terbarunya Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan Ekonomi (2019) berpendapat, tesis-tesis kalangan esensialis itu mengandung kelemahan. Kelemahan para esensialis itu, menurut Kuru, adalah tidak melihat sejarah Islam secara komprehensif.

Para esensialis mengabaikan fakta bahwa pada periode abad ke-8 hingga ke-11, dunia muslim melahirkan ilmuwan-ilmuwan polimatik dan menguasai perdagangan lintas benua. Karena itu, Kuru menolak tesis yang menganggap Islam sebagai alasan dasar ideologi kekerasan dan stagnansi kemajuan.

Intelektual asal Turki juga menyanggah generalisasi negara-negara muslim pasti sepenuhnya berideologi Islam. Kuru menemukan, di antara 49 negara mayoritas penduduk muslim, ada 22 negara yang justru merupakan negara sekular. Hanya 8 negara muslim yang mengakui Islam sebagai agama resmi negara dan 19 lainnya menjadikan "syariah" sebagai sumber hukum negara.

Kuru sekaligus menunjukkan, banyak negara sekular yang menerapkan otoritarianisme, seperti di China, Brazil, dan Turki. Sebab itu, stagnansi negara-negara muslim tidak sesederhana karena tidak menerapkan konstitusi sekular.

Kuru dalam karyanya menjelaskan, kolonialisme juga bukanlah akar masalah karena dunia muslim sudah mengalami kemunduran ketika intervensi Barat datang bersamaan dengan kolonialisme.

Kekuatan terbesar Islam, Kesultanan Utsmani, baru memproduksi mesin cetak secara massal pada abad ke-18. Kala itu, kedai-kedai kopi dilarang. Observatorium dan planetarium untuk penelitian ilmu astronomi bahkan sudah ditutup sejak abad ke-16. Kesultanan menganggap semua itu adalah instrumen berbahaya yang mengundang setan serta malapetaka.

Musabab inti kemunduran Islam, menurut Kuru, adalah kemerosotan berkepanjangan intelektual muslim akibat menguatnya relasi kekuasaan-ulama-militer. Relasi ini setidaknya dimulai sejak abad ke-13 dan mapan pada abad ke-15.

Saat itu, sistem militer mulai dilembagakan secara resmi oleh para penguasa muslim. Faktor eksternal, seperti invasi Mongol dan Perang Salib, yang merusak infrastruktur kota dan ekonomi dunia muslim menguatkan fenomena itu.

Di saat relasi negara-ulama-militer menguat di dunia muslim, Eropa justru mengalami fenomena sebaliknya. Relasi negara dan pendeta yang sebelumnya kuat di Benua Biru mulai mengendur. Hingga abad ke-16, fenomena itu menciptakan sistem merkantilisme yang kemudian diikuti kapitalisme.

Dengan pendekatan sejarah pada karyanya, Kuru ingin menekankan bahwa krisis dunia muslim berakar pada paradigma tentang relasi kuasa dan turunannya. Kuru juga ingin mendekatkan masyarakat pada sejarah Islam yang tidak hitam-putih. Sejarah adalah basis material untuk mereformasi struktur dunia muslim dengan konteks kekinian.

Kuru mengakui, tidak sedikit yang mengkritik karyanya sangat pesimistis dan mempromosikan kapitalisme muslim. Namun, dalam forum Urban Sufism Cak Nurian, Kuru membantah pesimisme itu.

"Beberapa pihak menganggap karya saya pesimistis terhadap dunia muslim dan cenderung mempromosikan kapitalisme. Saya justru ingin menekankan bahwa untuk mencapai kemajuan, dunia muslim tidak perlu secara total meniru Barat. Mereka memiliki inspirasi dari sejarah mereka sendiri," kata Kuru.

Relasi Ulama-Penguasa

Pada abad keemasan Islam, para intelektual muslim mengambil jarak dari kekuasaan. Menurut Guru Besar Hukum Islam Columbia University Wael Hallaq, mereka mengambil sikap itu karena pemahaman hukum Islam kerap kali justru diperuntukkan bagi kepentingan kekuasaan yang sangat individualistis. Para ulama yang mengambil sikap berbeda sering kali menemui nasib buruk.

Para Imam mazhab, misalnya, wafat di tangan kekuasaan. Abu Hanifa dipenjara, Imam Malik dicambuk, Imam Syafi'i ditahan dan dirantai, Ibn Hanbal dipukuli di penjara, dan Jafar al-Sadiq diracun hingga tewas.

Ada pula Imam Bukhari yang pernah diminta untuk mengajar anak-anak penguasa Khurasan di istananya. Bukhari menolak permintaan itu dan menyerukan agar raja menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah ilmu hadits milik Bukhari. Tanggapan Bukhari itu membuatnya diasingkan ke sebuah desa—tempat dia meninggal kemudian.

Independensi itu masih kuat hingga abad ke-11, tapi mulai mengendur pada abad ke-12 dan ke-13. Kuru menjelaskan, abad ke-12 dan 13 adalah masa transisi penting relasi antara penguasa dan ulama. Penguasa dan ulama yang sebelumnya memiliki garis independensi tegas, pada abad-abad selanjutnya semakin erat berintegrasi.

Kuru menggambarkan transisi itu melalui sikap ambivalen Imam Ghazali pada akhir abad ke-11 hingga awal abad ke-12. Semula, sang Imam adalah seorang penasehat kerajaan, kemudian merasa resah dan lalu keluar mengasingkan diri. Tapi, pada akhirnya, dia pun kembali lagi menjadi seorang guru di lingkaran kekuasaan.

Pada abad ke-12 dan ke-13, gagasan tentang penaklukan menguat. Hingga abad-abad seterusnya, panglima perang menjadi lebih populer di dunia muslim daripada saintis. Gagasan penaklukan semakin menjadi karakter penguasa dunia muslim. Di masa itu, para penguasa muslim menjadi bergantung pada tentara bayaran.

Perubahan itu membawa dampak pada karakteristik ekonomi militer yang berfokus pada pencarian keuntungan melalui penaklukan. Pada abad-abad itu, para penguasa menerapkan sistem iqta—memberikan tanah-tanah yang dikuasai kepada panglima militer.

Invansi Mongol dan Perang Salib yang berkepanjangan merusak struktur kota dan memunculkan budaya nomaden di dunia muslim. Fenomena itu membuat penguasa mengalihkan fokusnya, dari pengembangan sains menjadi pertahanan kekuasaan. Madrasah-madrasah yang berdiri pada masa itu juga ditujukan untuk melegitimasi kekuasaan. Pada tahap inilah, ortodoksi muslim tercipta.

Menguatnya ambisi militeristik para penguasa sejak abad ke-12 pada akhirnya juga merusak perekonomian dunia muslim. Hal itu secara tak langsung juga ikut memengaruhi independensi para ulama terhadap penguasa. Pasalnya, sebagian besar keluarga ulama pada abad ke-8 hingga ke-11 adalah pedagang. Jadi, ketika perekonomian terguncang, independensi finansial para ulama pun ikut goyah.

Sejarawan Eliyahu Ashtor mengungkapkan, pada masa Abbasiyah, setiap pedagang tertarik pada persoalan sains. Dalam beberapa kasus, anak-anak para pedagang itu mengabdikan diri sepenuhnya pada kehidupan ilmiah.

Infografik Kemunduran dunia Islam

Infografik Kemunduran dunia Islam. tirto.id/Quita

Perlindungan Intelektual

Meski begitu, ulama juga tetap berelasi dengan penguasa pada aspek tertentu. Bagaimana pun, dukungan dan perlindungan politik sangat penting bagi kerja-kerja ilmiah mereka. Beberapa khalifah Ummayah, misalnya, mendukung terjemahan teks-teks kuno berbahasa Latin, Yunani, dan Ibrani di berbagai bidang ke bahasa Arab.

Contoh utama dari perlindungan intelektual yang dilembagakan adalah Khizanat al-Hikmah (House of Wisdom) yang didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid (Abbasiyah) di Baghdad. Khizanat al-Hikmah menjadi simpul kunci gerakan penerjemahan di dunia muslim. Di lembaga itu juga berkembang karya-karya orisinal, seperti pembuatan bola dunia, peta, hingga observatorium.

Perlindungan politik khalifah menjadikan setiap wilayah muslim memiliki kota-kota yang menjadi pusat pengetahuan. Selain Baghdad, ada pula Damaskus dan Aleppo di Syria, Basra di Iraq, Nushapur, Rayy, dan Tus di Iran, Kairo di Mesir, Balkh, Bukhara, Gurganj, dan Merv di Asia Tengah, hingga Kordoba di Andalusia Spanyol.

Dimensi lain pada abad keemasan muslim adalah keberagaman dan koeksistensi muslim dengan kelompok agama lain. Pada era Dinasti Abbasiyah, tidak sedikit birokrat yang berasal dari komunitas Kristen dan Yahudi. Adam Mez dalam The Renaissance of Islam menjelaskan, di Baghdad, warga muslim lazim turut dalam perayaan-perayaan umat Kristiani.

Meski saat itu khalifah menerapkan kebijakan politik yang agak diskriminatif terhadap nonmuslim—mereka diharuskan mengenakan pakaian dan kendaraan hewan yang berbeda, penerapan perintah dalam kehidupan sehari-hari nyatanya lebih longgar.

Perkembangan pengetahuan di dunia muslim juga didorong oleh disiplin etik. Sensitivitas terhadap waktu menghasilkan prototipe manajemen waktu modern. Demikian pula aturan Islam tentang mencuci tangan, menyikat gigi, membersihkan toilet, hingga mandi setelah hubungan seksual menjadi topik-topik penting dunia muslim saat itu.

Ahli orientalisme Paulina Lewicka menemukan, buku-buku etiket tentang makan pada abad ke-10 hingga ke-15 pada umumnya ditulis di dunia muslim. Namun, pada periode berikutnya, topik-topik itu justru ditulis di Eropa.

Pada abad ke-11, Ghazali menulis buku tentang tata krama yang berpengaruh. Topik-topiknya mencakup tentang adab menjaga makanan, cuci tangan, meletakkan penutup di atas makanan, posisi duduk saat makan, menghindari makan sendiri, menjaga suapan dengan kunyahan yang baik, cara memilih makanan dari yang paling dekat secara jarak, hingga larangan untuk meniup makanan panas.

Laporan "Cleanliness is Next to Growth" yang terbit di The Economist pada Agustus 2020 lalu menjelaskan bagaimana etika kebersihan—seperti yang ditulis orang Islam di masa silam—turut mendorong pula ekspansi ekonomi.

==========

Savran Billahi adalah mahasiswa magister Departemen Sejarah Hacettepe University Ankara, Turki. Setelah lulus S1 dari Departemen Sejarah Universitas Indonesia, ia menulis Bangkitnya Kelas Menengah Santri, Modernisasi Pesantren di Indonesia (2018).

Baca juga artikel terkait PERADABAN ISLAM atau tulisan lainnya dari Savran Billahi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Savran Billahi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi