Menuju konten utama
Periksa Data

Benarkah Mobil Listrik Bebas Emisi?

Pemerintah terus mengucurkan insentif untuk mendongkrak penggunaan mobil listrik di Indonesia. Apakah mobil listrik benar-benar bebas emisi?

Benarkah Mobil Listrik Bebas Emisi?
Ilustrasi mobil listrik. FOTO/iStock

tirto.id - Akhir-akhir ini, sangat kentara dukungan pemerintah untuk penggunaan kendaraan listrik di Indonesia, termasuk dalam bentuk insentif-insentif.

Pada akhir Desember lalu, pemerintah menyatakan sedang menyiapkan insentif sebesar Rp5 triliun untuk pembelian kendaraan listrik. Insentif bakal diberikan untuk motor listrik, mobil listrik, dan bus listrik produksi dalam negeri.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, pemberian insentif kendaraan listrik telah dilakukan oleh semua negara sebagai upaya melakukan transisi ke energi bersih, termasuk negara tetangga Thailand.

Selain itu, urgensi pemberian insentif kendaraan listrik disebabkan oleh harga kendaraan listrik yang 30 persen lebih mahal dari harga kendaraan konvensional. Lewat pemberian insentif, diharapkan harganya bisa lebih terjangkau oleh masyarakat.

Antara Target Emisi Nol Karbon dan Pengembangan Industri

Ada beberapa alasan dibalik gencarnya pengembangan industri kendaraan listrik oleh pemerintah.

Di antaranya, dari sisi ketahanan energi, pengembangan industri ini bisa mengurangi konsumsi dan impor bahan bakar minyak (BBM), sementara dari sisi lingkungan, bisa membantu pemerintah mewujudkan energi bersih, seperti dinukil dari Kebijakan dan Strategi Pasokan Energi Untuk Kendaraan Bermotor Listrik dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Perlu diingat bahwa Indonesia punya target mencapai emisi nol karbon pada tahun 2060, seperti dinyatakan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (25/10/2022). Untuk mendukung komitmen tersebut, Indonesia baru-baru ini mendeklarasikan target penurunan emisi. Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) terbaru, Indonesia menaikkan target pengurangan emisi menjadi 31,89 persen di tahun 2030 mendatang dengan target dukungan internasional sebesar 43,20%.

Kembali ke soal penghematan BBM. Menurut perhitungan dari Kementerian ESDM sendiri, penghematan BBM lewat kenaikan penggunaan mobil dan motor listrik diprediksi cukup signifikan. Hingga 2040, Indonesia bisa menghemat sebesar 8,6 ribu kilo liter bahan bakar.

Pasalnya, konsumsi energi mobil listrik dinilai lebih efisien dibanding mobil konvensional yang menggunakan bahan bakar minyak.

Misalnya, dalam menempuh jarak sejauh 100km, mobil listrik membutuhkan daya 20 kWh atau setara Rp32 ribu. Sementara mobil konvensional membutuhkan 10 liter bahan bakar atau setara Rp85 ribu.

Lalu, terkait pengadaan kendaraan listrik, pemerintah sendiri menetapkan target yang ambisius, yakni per tahun 2025 nanti, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan setidaknya ada 2,5 juta pengguna kendaraan listrik, di mana Republik ini memproduksi 400 ribu mobil listrik dan 1,76 juta unit motor listrik.

Untuk memenuhi ambisi itu, Peraturan Presiden (Perpres) nomor 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan dirilis. Di dalamnya, ada lima arahan strategis untuk pengembangan industri kendaraan listrik.

Kemudian, tidak hanya insentif tadi, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 73 tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Sementara di Indonesia, penjualan mobil listrik juga mengalami pertumbuhan. Melalui laporan GAIKINDO diketahui bahwa dari Januari hingga November 2022 penjualan kendaraan listrik berbasis baterai hibrida (plug-in hybrid electric vehicle/PHEV), kendaraan listrik hibrida (hybrid electric vehicle/HEV), dan BEV terjual sebanyak 10.741 unit.

Penjualan mobil listrik juga mengalami kenaikan yang signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jika dibandingkan dengan tahun 2021 misalnya, penjualan mobil listrik meningkat sebanyak tiga kali lipat.

Namun, dengan semua target, insentif, dan perkembangan industri kendaraan listrik ini, ada satu pertanyaan besar: benarkah penggunaan kendaraan listrik benar-benar bebas emisi?

Emisi Mobil Listrik

Pertama, perlu diingat bahwa menurut banyak penelitian, kebanyakan mobil listrik yang dijual saat ini menghasilkan emisi jauh lebih rendah dari mobil yang memakai bahan bakar minyak, seperti dinukil dari laporan New York Times yang salah satunya didukung oleh penelitian Layanan Riset Kongres Amerika Serikat tahun 2020.

Namun, yang menentukan jumlah emisi yang dihasilkan oleh kendaraan listrik, menurut laporan New York Times, adalah berapa banyak batu bara yang dibakar untuk mengisi ulang daya dari kendaraan listrik.

Penelitian dari Knobloch et al., (2020) menemukan bahwa di beberapa tempat yang dimana pembangkit listrik masih bergantung pada batu bara, seperti Polandia, mobil listrik tak memberi manfaat apa pun.

Perlu diingat bahwa lebih dari 60 persen pembangkit listrik di Indonesia masih bergantung pada batu bara dengan faktor emisi yang cukup tinggi, yakni mencapai 780 gram CO2eq/kWh pada 2017, seperti yang dipaparkan oleh Nugroho Adi Sasongko, Perekayasa Madya di Pusat Pengkajian Industri Proses dan Energi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Hal ini juga terlihat dalam data bauran energi yang dihimpun Kementerian ESDM.

Penggunaan pembangkit listrik batu bara menambah emisi yang dihasilkan untuk menopang operasi kendaraan listrik. Sementara itu, penggunaan kendaraan listrik tentunya akan mendongkrak konsumsi listrik.

Menurut Nugroho pula, tanpa adanya intervensi yang tegas dari pemerintah, batubara di tahun 2021 mendominasi bauran sumber energi primer listrik, termasuk 30 tahun mendatang di tahun 2050.

“Tentunya hal ini bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah melalui Target Netralitas Karbon atau Net Zero Emission Target (NZE) di tahun 2050,” paparnya.

Hal serupa juga dipaparkan Kepala Pusat Kebijakan Keenergian ITB, Retno Gumilang Dewi, seperti dilaporkan Sonora.id.

Menurutnya, penurunan emisi gas rumah kaca perlu dilakukan disemua sektor, di sektor transportasi misalnya, penggantian kendaraan dari bahan bakar fosil menjadi kendaraan listrik tidak berpengaruh besar terhadap pengurangan emisi jika sektor pembangkit listrik masih menggunakan batu bara.

Retno menjelaskan kasus di Jakarta. Menurutnya, sektor transportasi berkontribusi sebesar 46 persen pada emisi gas rumah kaca di Jakarta, kemudian sektor pembangkit listrik sebesar 31 persen, industri manufaktur sebesar 8 persen, dan limbah rumah tangga sebesar 6 persen.

Kemudian, emisi karbon dioksida dari proses pembakaran di dalam Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara dapat melepaskan asap berbahaya seperti sulfur, NOx, serta partikel, dan debu, menurut paparan Nugroho.

Material-material ini dapat menyebabkan dampak turunan seperti hujan asam, penyakit pernapasan, bahkan perubahan genetik makhluk hidup jika melampaui ambang batas tertentu.

Dengan kata lain, penggunaan mobil listrik hanya sebatas mengurangi tingkat polusi udara di jalanan ketika mobil listrik itu dikendarai, namun bisa saja tetap menyebabkan polusi udara dari sumber lain di tempat lain, menukil Mongabay.

Oleh karenanya, dibutuhkan sumber listrik yang ramah lingkungan. Misal yang berasal dari sumber energi ramah lingkungan seperti dari panel surya, turbin bayu maupun nuklir. Artinya, pengembangan dan penggunaan mobil listrik harus pula dibarengi dengan penggunaan sumber-sumber energi bersih yang terbarukan.

Selanjutnya adalah masalah baterai. Mobil listrik mengandalkan energi dari baterai ukuran besar, yang membutuhkan ongkos lingkungan cukup tinggi dalam proses pembuatannya. Baterai yang digunakan mobil listrik terbuat dari elemen logam tanah jarang (rare earth elements), seperti antara lain litium, nikel, kobalt atau grafit. Tentu, proses penambangan dari bahan-bahan ini juga mesti diperhatikan dampak terhadap lingkungannya.

Nugroho juga menjelaskan, kendaraan listrik sebagaimana produk manufaktur lainnya, memerlukan berbagai bahan baku di sepanjang rantai pasoknya, dimana jika tidak dikelola dengan baik, proses pengolahan material-material ini menghadirkan potensinya dalam merusak lingkungan dan kesehatan manusia.

Konsekuensi eksploitasi masif lithium dan nikel dapat meningkatkan rasio paparan material B3 baik itu terhadap vegetasi, hewan, maupun manusia. Material B3 tersebut dapat terakumulasi dan mengendap pada perairan (freshwater, marine), tanah (soil atau terrestrial), udara dan manusia.

Selain itu, baterai juga memiliki batas usia pemakaian. Mobil listrik kebanyakan menggunakan baterai lithium-ion yang memiliki masa pakai 5 hingga 7 tahun. Usia pakai terlama baterai mobil listrik mencapai 10 hingga 15 tahun.

Jika melewati batas usia penggunaan, baterai mobil listrik mesti diganti baru. Sementara pembuangan baterai dari mobil listrik juga bisa jadi masalah baru, sebab baterai kendaraan listrik merupakan baterai lithium yang tergolong ke dalam limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Maka, pemerintah mesti merancang dengan matang program daur ulang serta pengelolaan limbah baterai dari mobil listrik.

Namun, perlu diingat, tetap saja, emisi yang dihasilkan oleh rantai penggunaan bahan baku mineral untuk pembuatan dan pengisian ulang daya kendaraan listrik tak menegasi kelebihan kendaraan listrik dari sisi lingkungan. Salah satunya ditunjukkan oleh laporan Mei 2021 oleh Agensi Energi Internasional (IEA).

Data organisasi tersebut menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh kendaraan listrik dalam satu siklus hidup (lifecycle) adalah setengah dari rata-rata emisi kendaraan berbahan bakar minyak atau disebut juga internal combustion engine car. Dengan produksi listrik yang jauh lebih rendah karbon, penurunan emisinya bisa lebih rendah lagi, yakni tambahan sebesar 25 persen.

Data yang dikumpulkan oleh Massachussets Institute of Technology, yang menghitung karbon yang dihasilkan oleh berbagai jenis kendaraan per milnya dalam satu siklus hidup kendaraan, baik kendaraan listrik maupun kendaraan berbahan bakar minyak, juga kendaraan hibrid, juga menunjukkan tren serupa.

Emisi per mil dari kendaraan listrik baterai (BEV) seperti Tesla Model S misalnya, hanya 1/3 dari kendaraan berbahan bakar minyak seperti Nissan Armada, menurut data tersebut.

Namun, pertanyaan utama akhirnya, sudah siapkah pemerintah mengantisipasi dampak-dampak yang dapat timbul di balik produksi masal mobil listrik?

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Farida Susanty