tirto.id - Front Pembela Islam (FPI) menyebutkan, perizinan organisasinya hingga saat ini masih terhambat di Kementerian Agama (Kemenag) karena terdapat salah satu pasal di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang menyebutkan soal khilafah.
Padahal, berdasarkan pengakuan FPI, sejak habis masa berlaku Surat Keterangan Terdaftar (SKT), organisasi tersebut telah mengajukan perpanjangan masa waktu organisasinya.
Namun, hingga saat ini perizinan tersebut belum bisa keluar. Sebab, masih ada beberapa berkas yang diminta dari Kemenag.
"Biasanya Departemen Agama tidak ada masalah ya [Soal perizinan]. Sekarang yang justru lama itu di Depag [Kemenag]," kata Juru bicara FPI Slamet Ma'arif saat di Lorin Hotel Sentul, Bogor, Jawa Barat, Senin (5/8/2019).
"Kemarin sudah ada langkah Depag untuk dialog, diskusi dengan kami, pasal yang masih dipersoalkan dan masih perlu penjelasan dari kami yakni pasal 6 tentang penegakan khilafah nubuwwah," tambah Slamet
Saat ini, lanjut Slamet, FPI tinggal menunggu rekomendasi dari Departemen Agama [Kemenag], dan jika rekomendasi tersebut sudah turun, pihaknya akan mengajukan ulang SKT yang diminta.
"Tinggal tunggu saja, kalau semua berkas sudah kami penuhi, kemudian tidak keluar Surat Keterangan Terdaftar, akan ada tanda tanya besar. Ada apa? Apakah betul rezim ini menarget FPI. Kan, begitu," tuturnya.
Dirinya menduga, alasan Kemenag dan Kemendagri mempermasalahkan kata Khilafah pada AD/ART kemungkinan karena ingin meminta penjelasan lebih detail.
"Karena mungkin, kawan-kawan di Depdagri [Kementerian Dalam Negeri] belum paham betul yang dimaksud dengan Khilafah Nubuwwah yang ada di AD ART FPI itu. Makanya, perlu penjelasan dari kami. Saya yakin setelah ada penjelasan mereka akan keluarkan rekomendasi, "tuturnya.
Ketua Persaudaraan Alumni (PA) 212 itu mengaku, telah menjelaskan kepada Kemenag terkait 10 langkah yang terdapat dalam Khilafah Nubuwwah. Seperti memperkuat Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), penyatuan mata uang, dan lainnya.
"Saya pikir setelah diskusi dengan kami, Depag akan mengeluarkan rekomendasi. Kalau keluar, akan kami serahkan langsung ke Depdagri [Kementerian Dalam Negeri]," ucapnya.
Slamet pun merasa heran beberapa negara di Eropa yang diizinkan, dapat membuat mata uang euro. Sementara, negara di dunia yang mayoritas beragama Islam tidak bisa menyatukan dengan mata uang dinar untuk mata uang di negara mayoritas muslim.
" Jadi dipermasalahkan, kan, timbul pertanyaan juga, kan, begitu. Kemudian juga kami ingin memperkuat kerja sama antara negara-negara Islam, kami ingin Indonesia dengan Malaysia, kan, sama-sama, sudah lah enggak usah pake paspor dan sebagainya. Sebenarnya langkah-langkah menyatukan umat sebetulnya ada di dunia ini, "tukasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno