Menuju konten utama
13 Agustus 1910

Florence Nightingale: Perawat Modern yang Terjun di Perang Crimea

Perang Crimea menentukan arah perkembangan baru dalam bidang sastra, seni, dan medis.

Florence Nightingale: Perawat Modern yang Terjun di Perang Crimea
Ilustrasi Mozaik Florence Nightingale. tirto.id/Sabit

tirto.id - Perang besar meledak di semenanjung Crimea, Eropa Timur, Pada 1853 hingga 1856. Ratusan ribu prajurit Kekaisaran Ottoman bertempur melawan Sekutu yang dipimpin pasukan Prancis dan Britania Raya. Perang ini tercatat sebagai penanda dimulainya babak baru peperangan modern dalam konstelasi politik dunia. Perang Crimea menentukan arah perkembangan baru dalam bidang sastra, seni, dan medis.

Dalam bidang jurnalistik, perang ini menjadi perang pertama yang diliput dan diabadikan dalam bentuk foto secara profesional. Dalam bidang sastra, Leo Tolstoy muncul dengan karya monumental Sevastopol Sketches (1855). Dan dalam bidang medis, nama pertama yang muncul dalam Perang Crimea adalah perawat Inggris kelahiran Italia, Florence Nightingale.

Florence dikenal karena jasanya merawat para prajurit Inggris yang terluka dalam Perang Crimea. Di tengah krisis kepercayaan Pemerintah Inggris yang tidak yakin dengan kinerja para perawat, Florence muda membuktikan diri sanggup memberikan layanan medis yang terbaik. Untuk itu, ia melatih 38 orang perawat sukarela termasuk Mai Smith, bibinya. Khusus untuk di Crimea, 15 orang suster Katolik bergabung sesuai arahan dari Henry Edward Manning, petinggi gereja Katolik di Inggris.

Dengan persetujuan Sidney Herbert--pejabat Inggris yang juga kawan dekat Florence--kelompok ini berangkat ke wilayah Kekaisaran Utsmaniyah untuk merawat prajurit Britania Raya. Pekerjaan itu jelas menyita waktu mereka. Bahkan, karena kesibukannya mengurus luka-luka para prajurit yang terus berdatangan, Florence tidak sempat mengunjungi markas utama pasukan Inggris di Distrik Balaklava, di tepi Laut Hitam.

Menolak Lamaran Bangsawan

William Shore Nightingale, ayah Florence, adalah pemilik lahan yang kaya raya di Inggris. Dia memiliki dua tanah warisan besar di Hampshire dan Derbyshire. Di Lea Hurst, Derbyshire, Florence tumbuh dewasa. Kekayaan orang tuanya membuat Florence mendapatkan akses pendidikan terbaik. Sebagian besar proses pendidikan dan pengajarannya diberikan oleh ayahnya yang merupakan lulusan Trinity College, Cambridge.

Dari ayahnya, ia berkenalan dengan ilmu sejarah, sastra, matematika, dan filsafat. Selain itu, keluarganya juga menyewa guru-guru terbaik yang mengajarkan bahasa Jerman, Prancis, dan Italia. Florence dan ayahnya aktif terlibat dalam berbagai diskusi politik. Lingkaran sosial kelas atas juga memberikan Florence kesempatan untuk aktif dalam berbagai kegiatan amal.

Tumbuh di keluarga yang menganut agama Kristen dan aktif beribadah mingguan di gereja, Florence mengaku setia pada panggilan imannya untuk kegiatan amal dan pelayanan. Meski sempat berpikir untuk pindah ke agama Katolik Roma, namun hingga akhir hayatnya ia tidak pernah keluar dari aliran Church of England. Sisi keimanannya itu tampak jelas ketika ia mengaku mendapatkan ilham untuk serius menjadi perawat. Baginya, profesi itu membuatnya bisa melayani Tuhan dan sesama manusia secara paralel.

Pada usia 16 tahun, ia mantap mendalami ilmu keperawatan. Mula-mula, kedua orang tua Florence menolak keinginannya itu. Seperti perempuan lain seusianya yang berasal dari keluarga berstatus sosial terhormat, ayahnya mengharapkan Florence segera menikah dengan pejabat atau bangsawan. Maklum, di era itu pekerjaan perawat dianggap sebagai pekerjaan kasar dan bukan untuk perempuan kelas atas.

Akan tetapi, di usia 17 tahun Florence justru semakin mantap dengan pilihannya untuk jadi perawat. Ia bahkan sempat menolak lamaran Richard Monckton Milnes, bangsawan yang juga politikus. Konon, Milnes yang merupakan kerabat baik keluarga Nightingale itu akhirnya menikahi Annabella Hungerford Crewe, anak perempuan bangsawan John Crewe.

Belakangan, Florence menjelaskan alasannya menolak lamaran Milnes. Menurutnya, meski ia dan Richard sangat cocok dari sisi emosional dan intelektual, namun moral kemanusiaan dalam hatinya tidak mungkin bisa dipuaskan jika ia hanya bergaul di lingkaran sosial kelas atas.

Sambil berusaha mencari cara untuk menjadi perawat, Florence melakukan perjalanan keliling Eropa dan Mesir antara tahun 1847 hingga 1850. Di akhir perjalanan, ia melihat Lutheran Deaconess Institution di Kaiserswerth, sebuah wilayah kecil dekat kota Dusseldorf, Jerman. Di institut yang dipimpin pastor Fliedner itulah ia kemudian mendaftar sebagai mahasiswa.

Setelah bernegosiasi dengan keluarganya, kedua orang tua Florence mengizinkannya untuk belajar selama tiga bulan. Pengalaman merawat orang sakit itu kemudian dilanjutkan dengan bekerja di sebuah rumah sakit di Upper Harley Street, London.

“Orang tuanya akhirnya mengizinkan dia untuk menghabiskan tiga bulan pada tahun 1851 untuk mendapatkan beberapa pengalaman praktis, dan kemudian beberapa minggu di institut medis milik Gereja Katolik Roma di Paris pada 1853,” tulis Lynn McDonald dalam Florence Nightingale at First Hand (2010:1).

Merawat Pasukan di Crimea

Hingga tahun 1854, tentara Inggris Raya yang terluka di Laut Hitam dalam Perang Crimea sudah mencapai 18 ribu orang. Mereka dirawat di rumah sakit militer milik Kerajaan Inggris. Kala itu, tidak ada perawat perempuan yang ditugaskan di rumah sakit. Buruknya reputasi para perawat dalam perang sebelumnya membuat departemen urusan perang Inggris Raya tidak lagi merekrut mereka. Namun, setelah pertempuran di Alma pada 20 September, masyarakat Inggris dikejutkan oleh laporan William Howard Russell, koresponden surat kabar London Times, yang menulis bahwa perawatan terhadap para prajurit Inggris yang terluka sangat buruk.

Artikel itu sontak membuat Sidney Herbert, sahabat Florence yang kala itu menjabat sebagai sekretaris urusan perang Inggris, memintanya mengorganisasi sekelompok perawat untuk ditugaskan di Crimea. Sepucuk surat tugas resmi dikirimkan ke rumah Florence. Ensiklopedia Britannica mencatat bahwa di waktu yang bersamaan, Florence sebenarnya telah mengirimkan surat kepada Liz Herbert, istri Sidney Herbert, yang berisi permohonan agar diizinkan memimpin ekspedisi resmi ke wilayah peperangan. Beberapa hari kemudian Florence dan sejumlah perawat lainnya langsung berangkat ke Scutari, lokasi rumah sakit militer Inggris.

Mereka dikejutkan oleh kondisi rumah sakit. Sanitasi sangat buruk dan alat-alat medis tidak higienis. Bahkan, serangga beterbangan di lorong rumah sakit yang juga dipenuhi kotoran manusia. Kondisi itu diperparah dengan terbatasnya persediaan perban karena tentara yang terluka terus berdatangan. Florence menyaksikan para prajurit itu justru lebih banyak meninggal akibat penyakit menular daripada akibat luka yang didapat di medan pertempuran.

Florence langsung membeli ratusan sikat lantai dan meminta pasien yang lukanya sudah membaik untuk membersihkan bagian dalam rumah sakit dari lantai hingga ke langit-langit. Dalam waktu singkat, bagian dalam rumah sakit berangsur steril dan sanitasi mulai membaik.

Pada malam hari, ia membawa lampu jinjing untuk berkeliling memantau keadaan prajurit satu persatu. Lampu jinjing itu kemudian menjadi ciri khas yang melekat padanya hingga para pasien memberinya julukan “the Lady with the Lamp”. Hasil kerjanya memberi dampak yang sangat positif: jumlah kematian pasien di rumah sakit berkurang hingga lebih dari 50 persen.

Infografik Mozaik Florence Nightingale

Infografik Mozaik Florence Nightingale 12 Mei 1820-13 Agustus 1910. tirto.id/Sabit

Bertemu Ratu Victoria dan Mereformasi Ilmu Keperawatan

Perang Crimea berakhir pada 30 Maret 1856 setelah pihak-pihak yang berkonflik sepakat menandatangani Perjanjian Paris. Setelah perang, Florence tidak langsung pulang. Ia memastikan semua pasien mendapatkan penanganan medis terbaik dan menutup rumah sakit militer. Baru pada awal Agustus ia kembali ke rumahnya di Derbyshire. Ia tidak pulang dalam keadaan sehat. Aktivitas yang menyita tenaga dan waktu membuatnya mengalami kelelahan akut dan terjangkit infeksi akibat bakteri. Baru di hari tuanya, ia memahami bahwa saat itu ia terjangkit brucellosis.

Setelah cukup beristirahat, pada September ia menemui Ratu Victoria dan Pangeran Albert untuk mendiskusikan segala bentuk perbaikan yang mendesak dalam satuan militer Inggris Raya. Ia diundang Ratu Inggris untuk menyampaikan temuannya selama di rumah sakit militer. Meski sibuk mengurus pasien, ia masih menyempatkan diri mencatat dengan detail segala temuan medisnya di Crimea.

Ilmu statistik yang didapat dari ayahnya ketika remaja membuatnya lancar membuat data secara komprehensif. Berdasarkan data itu, ia sanggup menyusun buku panduan yang lengkap dalam dunia keperawatan modern, termasuk bagaimana membuat desain rumah sakit yang ideal. Diagram statistiknya mengenai kondisi prajurit yang terluka dan angka kematian akibat virus membuatnya diangkat menjadi anggota perempuan pertama dalam London Statistical Society pada 1858.

Bukunya yang berjudul Notes in Nursing: What it is and What it is not terbit pertama kali pada tahun 1859 dengan ketebalan mencapai sekitar 900 halaman. Salah satu usulannya dalam buku itu adalah kewajiban mencuci tangan untuk seluruh perawat yang bertugas. Hal ini rupanya sangat penting dan berperan besar dalam mengurangi tingkat kematian pasien.

“Semua perawat benar-benar harus mencuci tangannya dahulu sebelum beraktivitas setiap hari. Jika ditambah dengan mencuci wajahnya, akan jauh lebih baik,” tulisnya.

Selain itu, analisisnya mengenai klaster penyebaran virus penyakit juga merupakan hal yang sangat futuristik di era itu. Baginya, sebagian besar penularan virus atau bakteri terjadi di klaster keluarga, yaitu di dalam rumah. Hal ini sangat mirip dengan penyebaran virus Covid-19 di Wuhan, Cina, pada 2020.

Setelah pertemuannya dengan Ratu Victoria, Nightingale Fund, konsorsium penggalangan dana untuk urusan pengembangan dunia medis, mendapat perhatian publik yang lebih luas. Pada 1859, donasi yang berhasil dikumpulkan oleh lembaga itu mencapai 45 ribu Poundsterling. Dana ini kemudian digunakan membangun Nightingale School of Nursing di St. Thomas’ Hospital, London, yang dibuka pada 1860.

Sejak saat itu, Florence menciptakan sebuah lembaga pendidikan medis sekuler yang membuat profesi keperawatan dihormati. Kaum perempuan di Inggris Raya mempunyai pilihan karier di luar urusan rumah tangga. Florence Nightingale meninggal dunia di London pada 13 Agustus 1910, tepat hari ini 111 tahun lalu pada usia 90 tahun.

Baca juga artikel terkait FLORENCE NIGHTINGALE atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Humaniora
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh