tirto.id -
"Kalau DPR itu Rp3 triliun cukup untuk kerja dalam satu tahun," kata Apung saat dihubungi Tirto, Selasa (15/8/2017).
Pasalnya, menurut Apung, DPR tidak bekerja untuk menjalankan program seperti halnya kementerian, melainkan hanya menjalankan fungsi legislasi.
Selanjutnya, Apung juga menyatakan rancangan anggaran yang diajukan oleh DPR terkesan gelondongan dan tidak detil. Seperti halnya yang tertuang dalam laporan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR dalam Rapat Paripurna 6 April lalu, yakni kenaikan anggaran diperuntukkan untuk pelaksanaan fungsi DPR sebesar Rp1,1 triliun, program penguatan kelembagaan Rp3,7 triliun, dan untuk satuan kerja Setjen sebesar Rp2,3 triliun.
"Itu kan enggak jelas untuk apa. Dulu seminar anti korupsi bisa sampai Rp10 miliar, seminar apa itu? Lalu, peningkatan TV parlemen Rp70 miliar. Itu akibat dari tidak detailnya peruntukan anggaran. Akhirnya banyak pembengkakan yang tidak perlu," jelas Apung.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, sebelumnya menyatakan kenaikan anggaran DPR merupakan sebuah hal yang wajar. Karena, menurutnya, dana yang diminta DPR jauh lebih sedikit ketimbang yang diperuntukkan dalam pembangunan infrastruktur.
"Kami ini kan membangun infrastruktur demokrasi. Lagian itu juga bukan untuk pribadi kok," kata Fahri di komplek DPR, Senayan, Kamis (10/8/2017).
Lalu, Ketua BURT DPR Anton Sihombing, saat dihubungi Tirto menganggap dana yang diusulkan oleh DPR merupakan kebutuhan riil.
"Itu sudah disetujui di Rapat Paripurna sesuai dengan kewenangan DPR untuk menentukan anggaran sendiri. Kebutuhannya memang segitu. Besok akan dibacakan detailnya," kata Anton melalui telepon, Selasa (15/8/2017).
Menanggapi hal itu, Sekretaris Jenderal FITRA Yenny Sucipto menganggapnya sebagai alasan klasik yang selalu digunakan oleh DPR untuk meminta kenaikan anggaran.
"Yang perlu dipahami oleh teman-teman DPR salah satunya bicara keadilan itu bukan face to face antara eksekutif dan legislatif," kata Yenny saat dihubungi Tirto, Selasa (15/8/2017).
Melainkan, menurut Yenny, DPR mempunyai fungsi budgetting yang bisa dimaksimalkan bila mereka merasa dana untuk infrastruktur terlalu besar.
"Di UU No 17 tahun 2003 soal keuangan negara kan sudah dikatakan bahwa keputusan tertinggi anggaran itu ada di DPR," kata Yenny.
Harusnya, menurut Yenny, DPR bisa menolak kalau dirasa ada anggaran ke pemerintah yang terlalu besar dan tidak logis. Kalau sekarang dipermasalahkan, menurutnya, itu salah mereka sendiri.
"DPR itu wakil rakyat. Harusnya mempertimbangkan APBN yang berkaitan dengan kepentingan rakyat," kata Yenny.
Bicara soal anggaran DPR, dikatakan Yenny, terdapat tiga prinsip yang dilanggar oleh DPR. Pertama, prinsip ekonomis, kedua efektivitas, dan ketiga keadilan.
Dalam prinsip ekonomis, lanjut Yenny, anggaran DPR yang 0,34 persen dari APBN 2017 itu tidak memberikan keuntungan ekonomis bagi pendapatan negara. Sedangkan, dalam pasal 12 ayat 2 UU Keuangan Negara disebutkan bahwa APBN harus mempertimbangkan nilai ekonomis pendapatan negara.
"Defisit negara sekarang sudah hampir 3 persen. DPR malah mengajukan dana yang besar. Ini berbanding terbalik dengan usaha negara yang ingin melaksanakan efisiensi," tutur Yenny.
Untuk prinsip efektivitas, menurutnya, itu merujuk pada pengajuan dana pembangunan apartemen DPR. "Itu pembangunan kan 2-3 tahun. Selama itu anggota DPR tentu akan tetap tinggal di rumah dinas di Kalibata. Itu pemborosan. Harus dicek apakah double budget atau tidak," jelasnya.
Lalu, soal keadilan, menurut Yenny, DPR harusnya memperhatikan kebutuhan rakyat dalam penyusunan APBN besok, Rabu (16/8/2017), bukan malah mementingkan pihaknya sendiri.
"Kebutuhan infrastruktur sudah mencapai Rp400 triliun. Harusnya itu menjadi pertimbangan DPR. Kami tidak ingin seperti 2017 yang infrastruktur dan pendidikan terpangkas," kata Yenny.
Baca juga: Wakil Ketua DPR Klarifikasi Soal Kenaikan Anggaran Rp5,7 Triliun
Sementara itu, peneliti Formappi Lucius Karus menyatakan penambahan anggaran yang besar tidak sesuai dengan kinerja DPR yang menurutnya buruk.
"Yang paling mudah dari proses legislasi yang targetnya mereka tentukan sendiri. Hasilnya DPR 2014-2019 ini selalu di bawah 10 UU yang disahkan dari targetnya 50 RUU setiap tahun. Selama agustus ini saja baru 4 yang bisa diselesaikan," kata Lucius.
Hal itulah yang menurutnya membuat masyarakat menjadi tidak percaya bila DPR merupakan wakil mereka. "Benahi saja kerjanya dulu. Maksimalkan fungsi-fungsi kerja yang mereka (DPR) punya yang pro rakyat," kata Lucius.
Baca juga: DPR Diminta Pastikan Anggaran Rp5,7 Triliun Bukan Kehendak Pribadi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Maya Saputri