tirto.id - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai kuasa pengguna anggaran yang dimiliki kepala daerah menjadi peluang calon kepala daerah (Calonkada) petahana lakukan korupsi untuk kepentingan Pilkada.
"Dengan Permendagri No 13 tahun 2006 yang memberi kuasa anggaran penuh pada kepala daerah calonkada petahana bisa memanipulasi APBD untuk pemenangan," kata Sekjen FITRA, Yenny Sucipto, dalam diskusi di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (21/2/2018).
Menurut Yenny, terdapat 4 metode yang digunakan calonkada petahana dalam melakukan manipulasi APBD. Pertama, dengan mark down Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Berdasarkan data FITRA yang disampaikan Yenny, PAD di provinsi peserta Pilkada rata-rata mengalami penurunan sebesar 7 persen dari total belanja PAD tahun 2017.
"Jabar, Jatim dan Jateng jadi provinsi yang memiliki penurunan terbesar. Rata-rata Rp7,2 miliar," kata Yenny.
FITRA juga mencatat penurunan PAD di beberapa kota penyelenggara Pilkada. Pada 2016 PAD Kota Bandung sebesar Rp2,15 triliun, tapi pada 2017 menjadi Rp978 miliar atau menurun sebesar 45 persen. Kota Bekasi mengalami penurunan sebesar 42,2 persen dari Rp1,6 triliun tahun 2016 menjadi Rp677 miliar.
"Di tingkat kabupaten, Tangerang dan Bogor menjadi yang paling tinggi mengalami penurunan PAD. Masing-masing 55 persen dan 52 persen," kata Yenny.
Metode kedua, kata Yenny, adalah melalui peningkatan belanja hibah dan Bansos. Menurutnya, terdapat sembilan daerah yang meningkatkan belanja hibah dan Bansos di tahun 2017, yakni Kabupaten Barito, Kabupaten Donggala, Kabupaten Garut, Kabupaten Parigi Montong, Kabupaten Deiyai, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Kuningan.
"Rata-rata meningkatkan belanja hibah dan bansos sebsesar 35,4 persen. Ini patut diwaspadai," kata Yenny.
Ketiga, dengan memanfaatkan Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA). Menurut Yenny, belajar dari kasus hilangnya Kas Daerah sebesar Rp43,7 miliar di Situbondo pada 2007 yang merupakan SILPA tahun 2005, maka metode ini patut diawasi.
"Pemanfaatan SILPA merupakan pelanggaran wewenang. Tapi ini terjadi. Jadi sangat mungkin calonkada memanfaatkan hal ini," kata Yenny.
Yenny menyatakan, dana SILPA provinsi terbesar pada 2017 dimiliki Jabar, yakni Rp2,2 triliun. Di urutan kedua, Riau dengan Rp2,14 triliun.
Keempat, dengan penyalahgunaan suntikan dana ke BUMD. Menurut Yenny BUMD kerap digunakan untuk bancakan dana menjelang Pilkada.
"Tidak adanya prosedur yang jelas dalam peraturan perundang-undangan mengenai dana investasi, laba, dan devidrn seringkali dimanfaatkan untuk dijadikan bancakan," kata Yenny.
Maka, dalam hal ini, Yenny mendorong kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendorong calonkada membuka dana kampanye ke publik. Baik calon petaha, maupun calon non petahana.
"Saya juga ingin BPK dan BPKP tetap netral menjelang Pilkada," kata Yenny.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Yantina Debora