tirto.id - “Wah, akun keduanya (Finstagram) juga harus dikasih tahu nih, Kak?” tanya Alyani Nurul Iffah (18), siswa ke kelas 12 SMAN 71 Jakarta, saat ditanya tentang nama akun Finstagram yang dia punya. Sekalipun akunnya digembok, dia tetap berusaha menjaganya sebagai rahasia.
Berbeda responsnya kalau bicara akun asli miliknya, @alyanialyaa yang punya 969 pengikut. Sebanyak 54 foto dan video yang dia unggah terkonsep dengan sedemikian rupa dalam feed akunnya. Setiap tiga kiriman foto/video dalam satu baris feed Instagram coba dia susun dengan tema tertentu.
Foto hitam putih yang dia kirim mesti diikuti dengan dua foto hitam putih selanjutnya. Kalau sudah mengirim foto dengan bingkai warna-warni, dua foto berikutnya juga mesti begitu. Tiga kiriman foto terbarunya bertema seperti ini: Berpose dengan seragam batik bersama teman-teman di lapangan sekolah sebelum menghadapi Ujian Nasional beberapa hari kemudian. Konsep yang tersengaja guna menghadirkan feed enak dipandang dan pastinya tidak berantakan, sehingga memunculkan citra diri yang diharapkan.
Untuk urusan foto/video asal yang tidak terlalu dia pikirkan masak-masak, Alya punya tempatnya tersendiri, yaitu di akun Finstagram. Finstagram bukan media sosial terkini nan hype yang bisa diunduh di PlayStore atau AppStore, melainkan akun Instagram kedua berisi konten yang tidak cocok dikirim ke akun asli. Biasanya berupa foto-foto kurang atraktif, cerita-cerita harian sulitnya kehidupan remaja, curahan hati asmara, swafoto dengan wajah tidak terkontrol, screen capture obrolan di grup, gosip orang lain, lelucon internal, foto aib teman, dan beragam hal konyol serupa. Makanya, akun Finstagram seseorang bersifat rahasia, digembok, dan hanya teman terdekat yang bisa mengikutinya.
Di Finstagram, mereka bebas mengekspresikan diri tanpa perlu pikir panjang apakah foto mereka akan mendapat jumlah like dan komentar pujian orang lain yang diharapkan. Mereka tidak perlu was-was apakah kiriman tersebut sudah sesuai standar yang coba mereka jangkau atau belum. Juga tidak perlu memikirkan apakah kirimannya bisa merusak feed kelipatan tiga yang mereka konsep. Untuk jumlah pengikut, mereka tidak ambil pusing karena kontennya sangat personal. Khusus teman dekat dengan kriteria tertentu saja yang boleh melihat laman Finstagram, bukan orang tua, guru, dan teman yang kurang akrab.
Alya membuat akun Finstagram sejak SMP, sebelum fenomena Finstagram ini mulai ramai dibahas sekitar akhir 2015. Kala itu pihak sekolahnya sangat protektif dengan kiriman siswanya di media sosial. Makanya, dia dan teman-temannya membuat akun kedua yang tidak diketahui pihak sekolah.
“Jadi mereka mikir, ‘Orang tua gue biasa aja, kenapa sekolah ribet banget?’ Kita melampiaskannya di situ (akun kedua). Jadi kita tetap kelihatan baik di social media karena sudah diketahui guru-guru,” tuturnya.
Ardhito Rizky (18), siswa SMAN 44 Jakarta, juga sengaja membuat Finstagram untuk mengirim konten seperti itu. Dia enggan memasukkan konten tersebut di akun utamanya @ardhito09 yang sengaja dijadikan portofolio sebagai fotografer paruh waktu. Curhat dan foto candid yang ada di Finstagram bakal mengganggu orang lain kalau ditaruh di akun pertama. Sedangkan bagi Indyani Prahita (19), mahasiswa Universitas Nasional, Finstagram dia fungsikan untuk stalking akun orang lain setelah menghapus kiriman-kiriman yang diakuinya tidak penting.
Kelompok Kolektif Lampu-lalu-lintas (KKL), sebuah kanal YouTube yang membahas hal remaja, pernah membicarakan fenomena second account ini di videonya. Chalafabia Haris (18), salah satu personel grup tersebut mengakui membuat Finstagram karena merasa capek mengikuti standar seberapa bagus foto layak diunggah ke Instagram. Namun di sisi lain, dia merasa tetap ingin mengirim konten.
Belakangan ini dia menukar nama akun utamanya (@chalafabia) dengan nama akun Finstagramnya (@menggemaskan). Alasannya, dia justru merasa menjadi diri sendiri di akun Finstagramnya karena tidak perlu memikirkan standar tertentu yang lelah dia ikuti. Selain juga ada keengganan identitasnya mudah ditemukan di mesin pencari.
“Di sini gue ngerasa, gue yang sekarang ini @menggemaskan bukan gue yang sebenarnya. Jadi, first account ini sebenernya bukan gue. Kalau orang follow @menggemaskan, mereka tahunya @menggemaskan bukan follow @Chalafabia. First account ini ya bukan (diri) gue lah,” kata mahasiswa Universitas Le Cordon Bleu Sydney, Australia ini.
Ada rasa sesal saat dia mellihat lagi kiriman-kiriman terdahulu yang dia berupaya keras guna menghias feed akun pertama, karena malah hanya terlihat sama dengan milik orang lain dan kehilangan karakter aslinya. Baginya, usaha keras mengonsep feed lewat perjuangan mencari angle, pencahayaan, mengedit di VSCOCAM, mencari kutipan di Google, dan lainnya, tidak sebanding dengan apa yang kemudian dia dapat. Justru Finstagram memberinya kenikmatan menjadi diri sendiri. Dia bisa mengirim sampai 2.000-an konten, mulai dari foto blur wajahnya yang perlahan berubah menjadi wajah Aliando sampai perbedaan pandangan politik dengan anggota keluarganya.
Menurut pengajar Media Digital di Program Studi Manajamen Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Detta Rahmawan menjelaskan bahwa kecenderungan orang menghias feed memang sebagai wujud ekspresi dan menunjukkan citra diri yang positif. Media sosial kini tidak lagi bisa dianggap sesuatu yang tidak penting, karena itu bagian dari identitas seseorang secara online.
Adanya budaya yang mendorong seseorang untuk mengikuti standar yang orang lain tetapkan tidak sepenuhnya berdampak buruk, tergantung sosok siapa yang jadi rujukan. Orang yang mendambakan kehidupan ala keluarga Kardashian pasti akan kesulitan karena memang tingkat ekonominya tidak sama. Lain cerita bila merujuk kepada sosok yang lebih menebarkan nilai positif, seperti Malala Yousafzai, pegiat hak asasi perempuan.
Di internet, orang-orang punya kecenderungan menjadi anonim karena dengan menyembunyikan identitasnya, seseorang bisa menjadi siapa saja dan melakukan apa saja. Hanya yang harus diingat, tidak ada yang sepenuhnya bisa menjaga privasi di dunia maya. Oleh sebab itu, kiriman pada Finstagram pun harus bisa dipertanggungjawabkan.
Penulis: Rahman Fauzi
Editor: Suhendra