tirto.id - Biro Investigasi Federasi Amerika Serikat (FBI/Federal Bureau of Investigation) menyelidiki motif penembakan massal yang dilakukan Connor Betts pada Minggu (4/8/2019). Dilansir AP News, Betts tampaknya berkeinginan untuk melakukan penembakan massal dan menunjukkan minat pada ideologi kekerasan.
"[Betts memiliki] ide kekerasan yang mencakup penembakan massal dan telah menyatakan keinginan untuk melakukan penembakan massal," Ujar Kepala Kepolisian Dayton Richard Biehl terkait motif penembakan yang dilakukan Betts.
Selain itu, kepala kantor lapangan FBI Todd Wickerham mengatakan penyelidik federal akan mencari tahu adakah orang yang mungkin telah membantu atau mengetahui rencananya, dan mengapa ia memilih target spesifik di distrik hiburan Oregon di Dayton, Ohio.
Dalam penjelasannya, Wickerham tidak mengatakan apakah FBI melihat kasus itu dapat diperlakukan sebagai terorisme domestik, seperti yang dilakukan oleh agen di El Paso, Texas, penembakan massal awal pekan ini.
Betts tidak berada di radar FBI. Wickerham menolak untuk membahas ideologi spesifik apa yang mungkin terkait dengan tindakan Betts. Ia mengatakan sejauh ini tidak ada bukti mereka termotivasi oleh ras.
Para penyelidik belum secara terbuka memaparkan mengapa Betts mengenakan topeng dan pelindung tubuh, melepaskan tembakan dengan senjata gaya AR-15 di luar strip klub malam di Dayton yang menewaskan saudara perempuannya dan 8 orang lain sebelum petugas dengan fatal menembak Betts.
Sementara itu, percakapan publik seputar penembakan itu bergeser ke arah bagaimana menangani orang-orang dengan masalah kesehatan mental yang mungkin menimbulkan ancaman kekerasan.
Adelia Johnson (24) menceritakan kencan singkatnya dengan Betts pada awal tahun ini. Menurutnya, Betts memiliki "pikiran gelap" termasuk tentang keinginan untuk menyakiti orang. Mereka bertemu di kelas psikologi perguruan tinggi, yang memungkinkan Betts untuk terbuka padanya.
Johnson mengatakan Betts dalam perawatan tetapi dia "tidak ingin mencari bantuan karena stigma". Betts mengatakan kepadanya, ia memiliki penyakit mental termasuk gangguan bipolar.
"Ketika dia mulai bercanda tentang pikirannya yang kelam, aku mengerti. Pikiran-pikiran gelap untuk seseorang dengan penyakit mental hanyalah gejala yang harus kita pelajari cara mengelolanya," tulisnya.
Pada kencan pertama mereka, Betts menunjukkan kepada Johnson sebuah video tentang penembakan di Pittsburgh. Johnson mengatakan Betts memiliki "dorongan tak terkendali" yang dia sebut "bendera merah," yang akhirnya membuatnya membatalkan beberapa hal bersama Betts pada Mei.
Ketika Johnson putus dengan Betts, Johnson menemui ibu Betts untuk mengungkapkan kekhawatirannya, tetapi Johnson tidak menguraikan apa yang mereka diskusikan.
Keluarga Betts merilis pernyataan melalui polisi pada Selasa malam (6/07/2019), mengatakan mereka hancur dan bersedia untuk bekerja sama dengan penyelidikan penegakan hukum.
“Keluarga Betts ingin menyampaikan rasa terima kasih dan cinta yang sangat besar kepada semua orang yang telah menjangkau dan memberikan dukungan mereka selama masa yang mengerikan ini,” bunyi pernyataan itu.
"Mereka meminta semua orang menghormati privasi keluarga untuk berduka atas kehilangan putra dan putri mereka dan untuk memproses kengerian pada Minggu (4/07/2019) hari itu."
Tidak diketahui apakah ada korban Dayton yang menjadi sasaran Betts. Selain Megan Betts (22), korban meninggal lainnya adalah Monica Brickhouse (39), Nicholas Cumer (25), Derrick Fudge (57), Thomas McNichols (25), Lois Oglesby (27), Saeed Saleh (38), Logan Turner (30), dan Beatrice N. Warren-Curtis (36).
Betts berkulit putih dan enam dari sembilan yang tewas berkulit hitam, tetapi polisi mengatakan diskriminasi ras dalam penembakan tampaknya tidak mungkin menjadi motif.
Penulis: Sarah Rahma Agustin
Editor: Dipna Videlia Putsanra