tirto.id - Lenis Kogoya mengaku siapa berhadapan dengan siapa pun yang "ganggu, menjatuhkan, melecehkan" Presiden Joko Widodo hingga "titik darah penghabisan." Pernyataan tersebut dianggap fanatisme buta.
Lenis menjabat sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Papua sejak 5 Mei 2015. Saat dilantik, ia mengatakan "baru kali ini orang gunung pedalaman bisa masuk di Istana." Ia adalah penggagas dan Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA).
Dalam diskusi bertajuk Membongkar Akar-Akar Rasisme yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), Rabu (10/6/2020), Lenis mengatakan apa yang dilakukan Jokowi untuk Papua sudah sangat banyak. "Jembatan dibangun, jalan masuk, pasar dibangun, anak-anak Papua dimasukkan ke dalam kementerian," katanya.
Ia mengklaim itu semua juga hasil perjuangannya selama ia menjabat. "Saya merasa berhasil," katanya.
Karena itulah ia tidak terima jika masih ada saja pihak-pihak yang mengkritiknya. "Kami ini niat baik kasih kebebasan, tapi kenapa kami dikritik. Malah saya mau dibunuh," akunya. Ia mengatakan ancaman ini semestinya tidak perlu karena "sangat membahayakan," dan membuat "Papua tidak bisa maju."
Ia juga keberatan jika masih ada kritik yang dilayangkan ke Jokowi. Pernyataanya seperti yang dikutip di bagian awal.
Ia menegaskan, "Jokowi itu dipilih oleh rakyat, suara hati rakyat, suara keluhan orang. Berarti rakyat dari Sabang sampai Merauke kasih waktu lima tahun dia kerja. Jangan ganggu. Siapa pun yang menghancurkan berhadapan dengan kepala suku karena saya sudah janji dengan orang tua saya sebelum meninggal."
Kepala Biro Penelitian, Pemantauan dan Dokumentasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar mengatakan pernyataan Lenis itu fanatik buta karena ia tidak membedakan antara Jokowi sebagai personal dan pejabat negara. Sebagai presiden, atau dalam perspektif HAM selaku "pemangku kewajiban (duty-bearer)," tidak ada alasan tidak boleh mengkritik Jokowi.
Jika Jokowi dilihat secara personal, lanjut Rivanlee, setiap kritik kepadanya akan dianggap sebagai kebencian belaka.
"Mungkin kriminalisasi aktivis dan pembatasan kebebasan sipil yang terjadi belakangan ini adalah bentuk 'perlindungan sampai titik darah penghabisan' dalam cara lain," katanya kepada reporter Tirto, Rabu (10/6/2020).
Sementara Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Papua Emanuel Gobay mengkritik ancaman Lenis terhadap para pengkritik Jokowi, meski tidak secara spesifik menyebut apa yang akan dia lakukan. Menurutnya itu sama saja tidak mengindahkan hukum. "Bila dilakukan, itu termasuk kategori tindakan berencana," kata Emanuel kepada reporter Tirto.
Isu Papua kembali mencuat setelah seorang pria kulit hitam di Amerika mati dibunuh polisi. Aparat di Negeri Paman Sam dituding bersikap rasis. Peristiwa itu lantas memicu demonstrasi besar-besaran di seluruh dunia.
Di Indonesia, orang-orang mengaitkannya dengan rasisme yang dialami orang-orang Papua. Hukum Indonesia dianggap rasis karena di satu sisi mengancam vonis belasan tahun kelompok yang menentang rasisme tapi dianggap makar, sementara di sisi lain pelaku rasisme dihukum jauh lebih ringan.
Tidak Mewakili Orang Papua
Gobay lantas menegaskan pernyataan Lenis merupakan pendapat pribadi. "Dia tidak mewakili orang Papua karena orang Papua tidak pernah berikan dia rekomendasi untuk bicara atas nama orang Papua," kata Emanuel.
Pernyataan Lenis hanya mewakili lembaganya, yaitu LMA. Dan LMA bukan representasi Papua karena masyarakat setempat "terkelompok dalam suku, bukan lembaga; pimpinan lembaga berbeda dengan pimpinan suku."
John NR Gobai menuding organisasi ini berideologi merah putih yang "dibentuk sengaja untuk menyeimbangi aktivitas Dewan Adat Papua." Dewan Adat Papua sendiri menurutnya didirikan untuk "menyerap aspirasi tuntutan Papua merdeka."
Pastor yang telah bekerja selama 30-an tahun di Papua Yohanes Jonga mengatakan ketimbang Jokowi, yang semestinya dibela "sampai titik darah penghabisan" adalah orang-orang Papua. "Lenis harus perjuangkan bagaimana sikap pemerintah dalam kasus rasisme. Bukan membela Jokowi saja, tapi juga mewakili orang Papua secara politis," katanya kepada reporter Tirto.
Bukan kali ini saja Lenis mendapat kritik karena pernyataannya soal Papua. Gubernur Papua Lukas Enembe, misalnya, pernah mempertanyakan kapasitas Lenis saat mengomentari kerusuhan di Manokwari Agustus tahun lalu. Kerusuhan ini dipicu oleh aksi rasisme aparat terhadap mahasiswa Papua di Surabaya karena dituduh merusak bendera merah putih.
"Dia kepala suku apa? Mewakili apa? Tidak ada," kata Lukas.
Pada 19 Agustus 2019, Lenis mengatakan "atas nama kepala suku" ia meminta orang-orang berhenti berbuat rusuh. "Jangan sekali-kali kita bakar fasilitas kantor. Membakar fasilitas umum berarti kita membakar rumah sendiri."
Senada dengan Lukas, saat itu Ketua DPRD Papua Yunus Wonda juga menegaskan kalau Lenis "tidak bisa terus mengklaim sebagai kepala suku" karena suku di Papua punya pemimpinnya masing-masing.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino