tirto.id - Lembaga Bantuan Hukum Jakarta merilis sejumlah modus pelanggaran perusahaan teknologi finansial alias fintech. Pola penagihan terhadap klien disertai dengan teror dan intimidasi menjadi salah satu modus pelanggaran yang kerap terjadi.
Dalam catatan LBH, jumlah kasus ini mencapai 283 dalam satu tahun belakangan. Para peminjam uang terhadap perusahaan fintech ini pun sudah mulai saling berkomunikasi sejak dua tahun lalu.
"Mereka sudah membangun kelompok pengaduan khusus sejak 2016, meski kelompok itu lebih ke curhat, sih," kata Kepala Divisi Advokasi Bidang Perkotaan dan Masyarakat Urban LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait kepada reporter Tirto, Senin (5/11/2018).
Pelanggaran ini tak muncul begitu saja. Sejumlah hal turut menjadi penyebab pelanggaran dilakukan perusahaan fintech dengan bantuan debt collector.
Lantas, bagaimana setiap orang terlilit utang dan diburu debitur?
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Rhenald Kasali mengatakan, masalah ini tak bisa dilepaskan dari sikap konsumtif yang sudah akut melilit kelas ekonomi menengah di Indonesia. Kelas menengah ini, kata Rhenald, punya kebiasaan ingin cepat memiliki sesuatu lewat cara instan.
"Kecenderungannya konsumtif hanya untuk keinginan, bukan kebutuhan," kata Rhenald saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (6/11/2018).
Jika merujuk pada kultur Indonesia yang masyarakatnya ramah, Rhenald mengatakan, ada alternatif agar tak diburu penagih utang. Cara itu ialah meminjam uang pada orang lain. Namun kebanyakan orang memilih cara cepat tanpa mempelajari risiko berutang.
"Harusnya juga paham, peminjaman uang online ya ada risiko yang harus ditanggung," tuturnya.
Ia berharap, masyarakat mendapat edukasi risiko berutang. Ini penting supaya masyarakat tidak mudah terjebak berutang.
"[Karena] Masyarakat kita menganggap meminjam sama dengan meminta. Pinjam sekarang, tahun depan sudah lupa atau dianggap lunas," ujarnya.
Minimnya Literasi Keuangan Masyarakat
Selain karena konsumtif, hal lain yang jadi masalah adalah mudahnya informasi peminjaman uang melalui medium fintech didapat calon pelanggan lewat dunia maya. Ini ditambah dengan ketidaktahuan para calon peminjam membedakan antara kebutuhan primer dan sekunder.
"Ini [karena] tidak dibarengi dengan literasi keuangan yang baik. Sehingga mereka membeli dengan utang sesuai keinginan, bukan kebutuhan," kata Budi kepada reporter Tirto, Selasa (6/11/2018).
Analisis ini sejalan dengan pendapat Jean Baudrillard dalam karya monumentalnya, The Consumer Society. Baudrillard menilai konsumsi sebagai motif utama dan penggerak realitas sosial, politik, bahkan budaya. Untuk mengantisipasi agar tak terjebak, Budi menyarankan calon peminjam menahan diri dengan menunda atau menabung.
Pendapat senada dikatakan ahli perencanaan keuangan dari Finansia Consulting Eko Endarto. Eko menilai fenomena terjebak dalam perjanjian utang disebabkan lemahnya pendidikan keuangan bagi keluarga maupun pribadi. Menurutnya selama ini kampus atau sekolah ekonomi, hanya diajarkan soal pengelolaan keuangan perusahaan.
"Di luar negeri itu sudah banyak pelajaran kaya gini, bagaimana atur keuangan keluarga. Untuk apa aja fungsinya uang. Di sini, dari TK saja sudah tidak ada," kata Eko kepada reporter Tirto.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati, pernah mengeluarkan riset berjudul Less Cash Sociey: Menakar Mode Konsumerisme Baru Kelas Menengah Indonesia (PDF).
Dalam riset itu ia menjelaskan majunya budaya teknologi dan internet membuat masyarakat Indonesia terjebak dalam gaya hidup konsumtif. Jaringan internet dan perkembangan teknologi mempermudah belanja dengan uang elektronik.
"Teknologi secara jelas berperan penting mendorong konsumsi kelas menengah Indonesia agar lebih konsumtif. Kehadiran uang elektronik [e-money] menjadi salah satu cara mendorong masyarakat menjadi konsumtif," tulis Wasisto.
Dengan munculnya watak konsumerisme dan kemudahan e-money di dunia maya, ini jelas bikin masyarakat mudah meminjam uang secara online alias utang.
Riset Share of Wallet yang dilakukan Kadence International-Indonesia pada 2013 lalu menunjukkan, 28 persen masyarakat kelas menengah di Indonesia mengalami defisit penghasilan karena utang yang digunakan untuk konsumerisme.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dieqy Hasbi Widhana