tirto.id - Saat memandangi lemari baju ukuran 2x2 meter, 2 pintu, dengan 10 sekat di kamar tidur utama, saya langsung teringat video FYP (For You Page) @alfyfatmasaga di TikTok yang ditonton 9.2 juta kali.
Konten hiburan itu berisi kekesalan suami saat mendengar keluhan istrinya yang merasa tak punya baju untuk dipakai pergi. Dengan ekspresi murka mengundang tawa, sang suami mengeluarkan semua isi lemari dan tertimbunlah sang istri dengan koleksi ratusan baju.
Ternyata saya juga merasakan hal sama. Kok, saya nggak bisa menemukan baju hanya untuk ke acara reuni SMA, ya? Rasanya seperti nggak punya baju, padahal lemari penuh!
Gawat, keputusasaan ini membuat saya berpikir untuk segera cari baju baru.
Memangnya, berapa banyak baju yang dibutuhkan tiap orang? Idealnya sih85 produk fashion, termasuk mantel dan sepatu. Ini belum termasuk pakaian dalam dan aksesori.
Angka tersebut juga mengasumsikan kalau tiap orang membutuhkan pakaian kerja, pakaian rumah, pakaian olahraga dan pakaian aktif, pakaian untuk acara-acara perayaan, dan pakaian luar ruangan.
Ini jadi "ruang konsumsi yang adil", ruang di mana tingkat konsumsi berada di bawah tingkat yang tidak berkelanjutan bagi lingkungan, tetapi di atas tingkat kecukupan yang memungkinkan individu memenuhi kebutuhan dasar mereka. Hitungan detailnya dibuat berdasarkan "perkiraan konservatif", bahwa 4 persen dari emisi global berasal dari fashion.
Para peneliti mengatakan industri fashion harus mengurangi emisinya hingga 1,1 miliar ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) guna memenuhi target Paris Agreement untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5°C.
Artinya, tren konsumsi fashion saat ini, khususnya fast fashion, tak dapat dipertahankan jika kita ingin mencapai transisi yang adil menuju netralitas iklim.
Saat ini, walaupun kita semakin sadar akan isu-isu lingkungan dan dampak fashion terhadap planet kita, tapi seperti diketahui, menciptakan lemari baju yang isinya sustainable atau ethical wardrobe dari nol tidaklah mudah.
Apalagi deretan baju seperti ini belum banyak pilihannya dan harganya jauh lebih mahal. Inilah yang sering membuat produk fashion dari merek-merek fast fashion lebih banyak peminatnya.
Pada awal 1990-an, New York Times menerbitkan artikel menggunakan istilah fast fashion untuk pertama kalinya. Artikel tersebut bercerita salah satu peretail fashion yang baru mendarat di New York, yang misinya membuat sebuah baju dari tahap desain hingga dijual di toko hanya dalam waktu 15 hari.
Padahal, sebelumnya, proses pengerjaan sebuah baju sampai dijual di toko, bisa memakan waktu lebih dari 6 bulan.
Fast fashion melibatkan desain, produksi, distribusi, dan pemasaran baju yang serbacepat. Kecepatannya pun makin bertambah dengan kehadiran Shein, online fast fashion raksasa asal Nanjing, China, yang berbasis di Singapura. Sebagai destinasi belanja online favorit Gen Z saat ini, Shein memproduksi rata-rata 6.000 produk fashion baru yang disebarkan di situs website-nya setiap hari.
Niatnya ingin mengonsumsi mode secara sadar karena dampaknya pada lingkungan, tapi di saat yang sama kita juga merasakan daya tarik besar dari merek-merek fast fashion dengan model terkini ala runway dijual dengan harga murah.
Lantas apa yang bisa kita lakukan, apalagi baju-baju sudah kadung menumpuk? Ichwan Thoha, fashion designer sekaligus penulis, berbagi tips.
Penulis: Glenny Levina
Editor: Yemima Lintang