Menuju konten utama

Faktanya, Tiap Orang Cuma Butuh 23 Set Baju di Lemari

Niatnya ingin mengonsumsi mode secara sadar, tapi merek-merek fast fashion dengan model terkini ala runway dijual dengan harga murah. Harus bagaimana?

Faktanya, Tiap Orang Cuma Butuh 23 Set Baju di Lemari
Header Diajeng Fast Fashion. tirto.id/Quita

tirto.id - Saat memandangi lemari baju ukuran 2x2 meter, 2 pintu, dengan 10 sekat di kamar tidur utama, saya langsung teringat video FYP (For You Page) @alfyfatmasaga di TikTok yang ditonton 9.2 juta kali.

Konten hiburan itu berisi kekesalan suami saat mendengar keluhan istrinya yang merasa tak punya baju untuk dipakai pergi. Dengan ekspresi murka mengundang tawa, sang suami mengeluarkan semua isi lemari dan tertimbunlah sang istri dengan koleksi ratusan baju.

Ternyata saya juga merasakan hal sama. Kok, saya nggak bisa menemukan baju hanya untuk ke acara reuni SMA, ya? Rasanya seperti nggak punya baju, padahal lemari penuh!

Gawat, keputusasaan ini membuat saya berpikir untuk segera cari baju baru.

Header Diajeng Fast Fashion

Header Diajeng Fast Fashion. foto/IStockphoto

Memangnya, berapa banyak baju yang dibutuhkan tiap orang? Idealnya sih 85 produk fashion, termasuk mantel dan sepatu. Ini belum termasuk pakaian dalam dan aksesori.

Jumlah itu, bila dipadu-padankan, menghasilkan sekitar 23 set baju (atas-bawah) yang terdiri dari 1 hingga 4 potong baju. Pembelian baju baru dibatasi hingga rerata lima baju per tahun.

Angka tersebut juga mengasumsikan kalau tiap orang membutuhkan pakaian kerja, pakaian rumah, pakaian olahraga dan pakaian aktif, pakaian untuk acara-acara perayaan, dan pakaian luar ruangan.

Ini jadi "ruang konsumsi yang adil", ruang di mana tingkat konsumsi berada di bawah tingkat yang tidak berkelanjutan bagi lingkungan, tetapi di atas tingkat kecukupan yang memungkinkan individu memenuhi kebutuhan dasar mereka. Hitungan detailnya dibuat berdasarkan "perkiraan konservatif", bahwa 4 persen dari emisi global berasal dari fashion.

Para peneliti mengatakan industri fashion harus mengurangi emisinya hingga 1,1 miliar ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) guna memenuhi target Paris Agreement untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5°C.

Artinya, tren konsumsi fashion saat ini, khususnya fast fashion, tak dapat dipertahankan jika kita ingin mencapai transisi yang adil menuju netralitas iklim.

Saat ini, walaupun kita semakin sadar akan isu-isu lingkungan dan dampak fashion terhadap planet kita, tapi seperti diketahui, menciptakan lemari baju yang isinya sustainable atau ethical wardrobe dari nol tidaklah mudah.

Apalagi deretan baju seperti ini belum banyak pilihannya dan harganya jauh lebih mahal. Inilah yang sering membuat produk fashion dari merek-merek fast fashion lebih banyak peminatnya.

Header Diajeng Fast Fashion

Header Diajeng Fast Fashion. foto/IStockphoto

Pada awal 1990-an, New York Times menerbitkan artikel menggunakan istilah fast fashion untuk pertama kalinya. Artikel tersebut bercerita salah satu peretail fashion yang baru mendarat di New York, yang misinya membuat sebuah baju dari tahap desain hingga dijual di toko hanya dalam waktu 15 hari.

Padahal, sebelumnya, proses pengerjaan sebuah baju sampai dijual di toko, bisa memakan waktu lebih dari 6 bulan.

Fast fashion sendiri merujuk pada model bisnis yang mereplikasi tren runway terkini dan desain fashion kelas atas, yang diproduksi secara massal dengan biaya rendah dan disebarkan ke toko-toko retail dengan cepat ketika permintaan sedang tinggi.

Fast fashion melibatkan desain, produksi, distribusi, dan pemasaran baju yang serbacepat. Kecepatannya pun makin bertambah dengan kehadiran Shein, online fast fashion raksasa asal Nanjing, China, yang berbasis di Singapura. Sebagai destinasi belanja online favorit Gen Z saat ini, Shein memproduksi rata-rata 6.000 produk fashion baru yang disebarkan di situs website-nya setiap hari.

Niatnya ingin mengonsumsi mode secara sadar karena dampaknya pada lingkungan, tapi di saat yang sama kita juga merasakan daya tarik besar dari merek-merek fast fashion dengan model terkini ala runway dijual dengan harga murah.

Lantas apa yang bisa kita lakukan, apalagi baju-baju sudah kadung menumpuk? Ichwan Thoha, fashion designer sekaligus penulis, berbagi tips.

Baca juga artikel terkait DIAJENG atau tulisan lainnya dari Glenny Levina

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Glenny Levina
Penulis: Glenny Levina
Editor: Yemima Lintang