tirto.id - Jepang adalah negara yang paling sering mengalami gempa besar dan berdampak pada masyarakat. Hal ini karena Jepang berada di pertemuan lempeng Samudra Pasifik dan Lempeng Laut Filipina yang aktif sehingga setiap kali bertabrakan, atau memisah guncangan akan terasa sampai ke permukaan tanah Jepang, Live Science melansir.
Sejarah mencatat, gempa dan tsunami terdahsyat yang terjadi di Jepang yaitu pada 11 Maret 2011. Dimulai dari sebuah gempa bumi dahsyat di lepas pantai timur laut Pulau Honshu, pulau utama di Jepang. Gempa tersebut kemudian memicu serangkaian tsunami besar, terutama di wilayah Touhoku.
Lalu, tsunami besar juga memicu kecelakaan dan pemadaman stasiun-stasiun listrik di sepanjang pesisir pantai. Britannica mencatat, gempa berkekuatan 9 Skala Richter (SR) tersebut terletak di sekitar 30 km dari timur kota Sendai, Prefektur Miyagi dengan fokus kedalaman 30 km di bawah lantai Samudra Pasifik Barat.
Gempa 11 Maret ini terasa sampai di wilayah Petropavlovsk-Kamchatsky (Rusia), Kaohsiung (Taiwan), dan Beijing (Cina). Gempa ini menjadi gempa dengan kekuatan terbesar di sejak abad ke-19. Kerusakan yang ditimbulkan tidak main-main.
Diperkirakan 200 ribu orang meninggal atau hilang dan 500 ribu lainnya terpaksa dievakuasi. Tsunami dan gempa mempengaruhi stasiun pembangkit listrik tenaga nuklir dan menyebabkan keadaan waspada nuklir. Kerugian yang diciptakan dari bencana ini adalah 360 miliar dolar AS.
Meskipun demikian, Jepang dikenal sebagai negara paling waspada bencana di dunia. Jepang memiliki sistem pendidikan sekolah dasar soal mitigasi gempa, melakukan simulasi bencana dan upaya penyelamatan secara berkala sejak 1995, terutama di wilayah Kobe, yang kemudian menyebar ke seluruh negeri, BBC melaporkan.
Bencana tsunami juga tidak kalah penting untuk dihindari. Gempa bumi adalah peringatan natural akan datangnya tsunami. Gempa bumi selalu diikuti dengan peringatan yang disiarkan oleh televisi atau radio lokal, dan kapal dilarang kembali ke laut dan penduduk wilayah dekat lepas pantai segera diungsikan.
National Geographic menyebut, jika permukaan air laut berkurang atau naik secara signifikan maka kemungkinan besar tsunami akan terjadi dalam beberapa jam.
Sebagai contoh, pada tsunami laut India, banyak orang meninggal karena mereka menyaksikan air laut menyusut dan menampakkan lantai dasarnya, tanpa tahu itu adalah tanda-tanda tsunami.
Dari 1995 hingga 2011 (bencana gempa terbesar terjadi) Jepang melakukan mitigasi bencana gempa dan tsunami sejak dini, sehingga pelatihan yang selama ini dilakukan mulai menampakkan hasil. Korban, jiwa, kerusakan, dan kerugian dapat ditekan.
Saat gempa berkekuatan 9 SR terjadi, tsunami melanda kawasan penduduk menyebabkan kerusakan dan banjir. sistem pendingin di Plantasi nuklir Fukushima Daichii rusak dan ada ketakutan nuklir akan bocor. Masih terdapat gempa susulan sebesar 7 SR dan disusul gempa-gempa ringan.
World Vision merangkum, satu minggu setelah gempa, situasi darurat nuklir diumumkan, sekitar 1 juta rumah belum mendapat pasokan air bersih.
Sebanyak 270 ribu orang yang berada di wilayah evakuasi nuklir dievakuasi, jalan menuju pantai sudah disterilkan dan 14 pelabuhan sudah kembali beroperasi. Aliran listrik sudah 90 persen pulih di permukiman penduduk.
Satu bulan setelah gempa, 90 persen layanan air di pemukiman penduduk telah kembali normal, dan jalur kereta api telah kembali normal, kecuali di titik-titik lepas pantai yang mengalami kerusakan parah.
Regulasi untuk Mitigasi Bencana di Jepang
Selain persiapan-persiapan tersebut, pemerintah Jepang menindaklanjuti mitigasi bencana lewat sejumlah regulasi berikut ini.
- Tahun 2011, pemerintah Jepang menyetujui jangka waktu 1 tahun rekonstruksi dan mengamandemen rencana penanggulangan dasar bencana untuk lebih mempersiapkan diri menghadapi berbagai bencana.
- Tahun 2012, 470 ribu orang yang mengungsi sudah kembali ke rumah mereka masing-masing, menyisakan 344 ribu orang pengungsi karena radiasi nuklir masih tinggi.
- Tahun 2015, diadakan Konferensi Tingkat Dunia Tentang Pengurangan Resiko Bencana dan menyetujui pedoman internasional baru untuk mengurangi dampak bencana dari 2015 hingga 2030. Sebuah forum diadakan di Jepang untuk memperkenalkan praktik-praktik perencanaan dan keterlibatan masyarakat dalam mitigasi bencana.
- Tahun 2016, sekitar 174 ribu orang masih terlantar, dan 60.800 orang tinggal di permukiman sementara.
- Februari 2017 tingkat radiasi masih tinggi di dekat pembangkit listrik tenaga nuklir. Perikanan mulai pulih, uji kualitas air berada dalam tingkat dapat ditoleransi.
- Pada 2018, otoritas rekonstruksi melaporkan 100 ribu orang sudah berada di rumah permanen. 92 persen unit perumahan umum selesai dibangun dan perintah evakuasi mulai dicabut. Proses pembersihan dan dekontaminasi pabrik Fukushima Daiichi berlanjut.
Kota Besar Mengalami Kerugian Paling Besar
Kembali melihat sejarah, The Great Kanto atau gempa besar pada 1 September 1923, yang merupakan gempa yang menimbulkan kerusakan terbesar abad tersebut, menyebabkan kematian 140 ribu orang (dengan populasi yang belum sebanyak hari ini) di Tokyo.
Reuters merangkum, 16 januari 1995 gempa berkekuatan 7,3 SR melanda kota pelabuhan Barat, Kobe. Sebanyak 6.400 orang meninggal dan kerugian diestimasikan 100 miliar dolar AS.
Metropolitan Tokyo juga pernah mengalami gempa berkekuatan 7,3 SR pada 2006. Sekitar 5.600 orang meninggal dan 160 ribu luka-luka. Kerugian diperkirakan mencapai 1 triliun dolar AS.
Tokyo-Yokohama adalah dua kota metropolis dengan populasi 35 juta orang, berada di kategori "risiko tinggi" kerentanan terhadap bencana alam dari 30 mega-politan di dunia.
Penulis: Anggit Setiani Dayana
Editor: Dipna Videlia Putsanra