tirto.id - Ekonom senior Universitas Indonesia, Faisal Basri mengkritik besarnya kepemilikan asing dalam surat utang negara (SUN) atau surat berharga negara (SBN). Faisal akibat kebijakan itu pemerintah secara tidak langsung malah menciptakan ketidakpastian perekonomian yang dampaknya menghantam diri sendiri.
"Kita 38,3 persen goverment currency bond yang dipegang oleh asing per Maret 2019. Indonesia adalah negara yang utang pemerintahannya tertinggi yang dipegang oleh asing. Jadi yang create uncertainty, pemerintah sendiri sebetulnya. Mohon maaf," ucap Faisal dalam paparannya di Kemenkeu RI, Selasa (10/12/2019).
Faisal mengatakan saat ini di negara-negara lain seperti Cina porsi kepemilikan asingnya hanya 4 persen. Di Filipina, kepemilikan asing terhadap utang negara di bawah 10 persen dan Malaysia masih di angka 22 persen.
Menurut Faisal, besarnya porsi kepemilikan asing ini menciptakan ironi. Ia bilang Indonesia saat ini tidak terlalu banyak terpengaruh perang dagang. Porsi ekspor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hanya 32 persen jauh dibanding Singapura yang menyentuh 217 persen.
Sementara itu, porsi kepemilikan asing dalam pasar modal juga cukup kecil di kisaran sepertiga dari totalnya. Sebaliknya, investor lokal menguasai 66 persennya sehingga pasar modal cukup kokoh menghadapi pergeseran dana asing bila sewaktu-waktu ada gejolak ekonomi.
Melihat dua indikator ini, Indonesia sebenarnya cukup aman menghadapi perlambatan ekonomi global. Namun, Faisal menyayangkan kalau pemerintah malah menciptakan sendiri ketidakpastian ekonomi dalam negeri.
"Jadi asingnya tinggal sepertiga kalau asing pun pergi, efeknya tidak sedahsyat dulu," ucap Faisal
Ironi lainnya, kata Faisal, juga terlihat dari perekonomian Indonesia yang belum melakukan peneterasi cukup dalam pada sektor keuangan tertentu. Misalnya, pembiayaan derivatif atau kontrak berjangka dan skema pinjaman hipotek atau mortgage.
Saat dunia mengalami resesi di 2008-2009, ekonomi Indonesia masih tumbuh di 4,6 persen. Semua itu, kata Faisal, terjadi karena semata-mata sektor keuangan Indonesia memiliki level yang dangkal.
"Ekonomi dunia resesi masih tumbuh 4,6 persen bukan karena kita kuat. Kita masih di selokan levelnya jadi tidak mungkin kita tenggelam. Sektor keuangan kita cetek," ucap Faisal.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri