Menuju konten utama

Fahri Hamzah Sayangkan Budaya Feodalisme Masih Ada di PKS

Pendiri Partai Gelora (Gelombang Rakyat) Indonesia Fahri Hamzah menilai partai yang telah ditinggalkannya yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih menganut budaya feodalisme.

Fahri Hamzah Sayangkan Budaya Feodalisme Masih Ada di PKS
Pendiri Parta Gelora Fahri Hamzah di Mamuju, Sulawesi Barat, Senin (11/02/2019) malam. ANTARA FOTO/Akbar Tado.

tirto.id - Salah satu pendiri Partai Gelora (Gelombang Rakyat) Indonesia Fahri Hamzah menilai partai yang telah ditinggalkannya yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih menganut budaya feodalisme. Pucuk pimpinan di PKS masih memiliki kekuasaan yang absolut sehingga sulit dibantah oleh kader-kader di bawahnya.

Pernyataan Fahri ini menanggapi Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Salim Segaf Aljufri yang menilai tak tepat bila ada masalah lalu keluar dan membuat partai baru.

"Jadi misalnya Ketua Majelis Syuro dalam kepemimpinannya partai pecah. Nah, dia bisa nyalahkan orang lain partai ini pecah gitu. Padahal dia yang mimpin," kata Fahri saat dihubungi, Jumat (15/11/2019).

Menurut Fahri, pernyataan Salim tersebut menunjukkan budaya kepemimpinan yang tak bertanggung jawab. Mantan Wakil Ketua DPR ini pun menilai susah menghilangkan budaya kepemimpinan yang tak mau mendengarkan kritikan.

"Apa yang dikatakan pimpinan seolah-olah benar, padahal ini semua adalah buah dari kesalahan pimpinan," jelas Fahri.

Seharusnya, bila ada perpecahan hingga akhirnya ada kader yang mundur, menurut Fahri, adalah kesalahan dari pemimpin partai tersebut. Bahkan sang pemimpin harus lah mundur karena dianggap tak mampu menyelesaikan konflik internal partainya.

"Tapi di PKS tak ada logika semacam ini, yang ada pemimpin gak mungkin salah. Itu yang menyedihkan sampai kapan pun," tegas Fahri.

Salim Segaf dalam Rakornas PKS di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (14/11/2019) kemarin menyinggung soal kader-kadernya yang membelot dan membentuk partai baru.

Salim mengatakan menyelesaikan masalah dengan membuat partai baru tidak tepat. Dia bilang menyelesaikan masalah internal partai harus dilakukan dengan kesabaran.

"Kalau ketidakcocokan terjadi di antara kita, antara ikhwan dan akhwat, penyelesaiannya bukan terus keluar, buat partai baru, bukan. Jadi krisis hati ya penyelesaiannya kembali kepada hati. Perlu di situ kesabaran, hal-hal yang berkaitan dengan hati," kata Salim.

Sedikit berbeda, anggota Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring tak mempermasalahkan mantan kader partainya membentuk partai baru. Namun, Tifatul meminta jangan mengacak-ngacak internal PKS.

“Silakan saja kalau bagi saya sih mereka membuat partai baru monggo tapi jangan ngacak-ngacak lagi di sini,” kata Tifatul.

Menurut Tifatul, apabila Partai Gelora merekrut kader-kader PKS akan berdampak pada internal partai.

“Buat yang baru seperti PSI misalkan kan fair, ide-ide baru, tokoh-tokohnya baru, ya monggo silakan orang bebas kok berdemokrasi. Ini lagi liat aja nanti didukung masyarakat atau tidak,” kata dia.

Tifatul memberi peringatan kepada seluruh kadernya untuk mengundurkan diri apabila ingin pindah ke partai lain, termasuk Gelora. Ia tak ingin ada kader PKS yang bermain dua kaki.

“Bagi saya pilihan bebas tapi kalau sudah memilih silakan keluar dari PKS. Jangan istilahnya mendua, itu terus merekrut kader-kader di dalam,” tegasnya.

Baca juga artikel terkait PKS atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Maya Saputri