tirto.id - Fahri Hamzah kembali berkicau di akun Twitter-nya dan lagi-lagi mengundang kontroversi. “Assalamualaikum, selamat pagi, Indonesia. Rajinlah baca buku. Jangan baca komik.”
Sebagai sosok yang kerap berpolemik, kali ini cukup sulit untuk menduga ke arah siapa kicauan tersebut ditujukan oleh Fahri. Namun begitu, netizen segera merespon kicauan tersebut dengan menautkannya dengan polemik pemilihan presiden. Terlepas dari apa maksud sebenarnya dari kicauan yang telah di-retweet hingga sebanyak 1181 kali, 4805 likes, dan 489 replies itu, Fahri keliru besar saat menganjurkan “jangan baca komik”.
Barangkali Fahri lupa, PKS—partai yang membesarkan namanya namun kini justru menjadi tempat ia berkonflik—pada musim pencoblosan 2014 pernah berkampanye mengajak generasi muda untuk tidak golput melalui media komik. Komik dengan cerita jenaka berjudul Blangkon and Friends itu sempat dibagikan dalam acara bertajuk 'Yuk Nyoblos Yuk'.
"PKS merasa bertanggungjawab untuk turut menyadarkan generasi muda, salah satunya adalah pemilih pemula untuk turut berpartisipasi dalam proses demokrasi di Indonesia, dan melalui media yang unik dan menarik seperti komik, mereka diharapkan tidak golput pada 9 April nanti," demikian ujar Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) PKS Jateng kala itu, Hadi Santoso, di Semarang, Jawa Tengah, seperti dilansir Liputan6, Selasa (01/04/2014).
Dalam konteks Indonesia, komik sebagai alat kampanye atau propaganda politik atau adalah sah belaka. Bahkan bukan hal yang sama sekali asing sejauh ia tidak menjurus kampanye gelap. Dalam lini kala sejarah komik Indonesia, ada periode saat komik dijadikan alat propaganda untuk mengobarkan nasionalisme. Kesimpulan ini didapat dari disertasi Marcel Bonneff, Les Bandes Dessinées Indonesiénnes, yang selesai ditulis pada 1972, dan kelak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Komik Indonesia (1998).
Bonneff mencatat, komik tentang perjuangan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan sempat populer pada Periode Medan, yaitu sekitar tahun 1960-1963. Sementara dalam catatan Tempo (23/01/2017), periode ini berlangsung dari tahun 1950-1960-an. Para komikus Periode Medan memang tak hanya memproduksi komik-komik tentang perjuangan bangsa, tapi juga menghasilkan komik yang legendaris.
Alat propaganda politik hanyalah satu dari sekian banyak manfaat komik. Berkat komik pula, seseorang yang nyaris frustasi dengan masa depannya akhirnya dapat kembali bangkit, meraih sukses besar, bahkan terkenal ke seluruh dunia. Dan, yang terbaik dari itu semua: hasil kerjanya begitu berpengaruh hingga dianggap banyak orang berhasil mengubah trek hidup mereka.
Fahri tentunya tahu siapa seseorang yang baru meninggal pada 12 November 2018 lalu: Stan Lee.
Sering-seringlah Membaca Komik
Ada banyak penelitian yang menunjukkan bagaimana membaca komik dapat membantu seseorang meningkatkan kecerdasan.
Membaca komik bukan sekadar melihat gambar-gambar di berlembar kertas. Ada situasi yang kompleks ketika si pembaca mulai menelusuri kisah dalam sebuah komik. Riset tahun 2007 yang dilakukan profesor Dale Jacobs dari University of Windsor English menyebutkan, pembaca harus memproses berbagai komponen yang berbeda—visual, spasial, dan tekstual—dan mengintegrasikan semuanya menjadi suatu pemahaman yang kuat. Jacobs menyebut hal itu dengan istilah: “multiple modalities”.
Jika Anda pernah membaca salah satu dari rangkaian seri komik Sandman Chronicles karya Neil Gaiman—yang ketika diterbitkan DC Comics pada 1989 langsung dipuji kritikus karena dianggap berhasil melawan konvensi komik yang klise—atau novel grafis Watchmen dari Alan Moore dan Dave Gibbons, Anda akan paham bahwa keduanya bukan sekadar buku yang dihiasi berbagai panel visual dan dibubuhi teks. Terpacak berbagai risalah “rumit” di dalamnya mengenai filsafat hingga sejarah, critical theory dan juga sastra.
Komik juga dapat menjadi jembatan bagi seseorang untuk gemar membaca buku “betulan”. Dalam riset yang dilakukan oleh tim peneliti dari Walden University, Minneapolis, Minnesota, AS, novel grafis dapat membantu seseorang mempelajari literatur sejarah yang cenderung membosankan. Hal ini dikarenakan benda itu dibuat dengan visual memikat yang memanjakan mata. Tujuh seri komik Peradaban karya Larry Gonick, misalnya, yang mengisahkan perjalanan sejarah dunia dari masa ke masa, adalah salah satu contoh terbaik dalam hal ini.
Secara natural, manusia cenderung lebih tertarik dengan informasi visual. Dalam kajian neurologi, sebagaimana dikatakan Alex Lundry, Wakil Presiden dan Direktur Penelitian di TargetPoint, gambar memang memiliki semacam “efek superioritas” yang membuat informasi lebih mudah diingat sekaligus dipahami. Ia mengatakan: "Jika saya menyajikan informasi kepada Anda secara lisan, Anda mungkin hanya akan mengingat sekitar 10% sepanjang 72 jam usai pemaparan. Tetapi, jika saya menambahkan gambar, ingatan Anda akan melambung hingga 65%."
Dengan membaca komik pula, seorang anak dapat dengan cepat menambah perbendaharaan kata. Riset mengenai hal ini pernah dilakukan oleh tim Scholastic tahun 2003: "10 Research-Tested Ways to Build Children’s Vocabulary". Hal ini tentunya juga bermula dari meningkatnya motivasi membaca anak-anak di sekolah karena disuguhkan berbagai komik, terutama novel grafis. Sebagaimana juga pernah ditunjukkan dalam observasi Laura Jimenez dari Boston University tahun 2009 mengenai minat baca anak-anak.
Salah satu contoh menarik lain bagaimana komik memberikan berpengaruh besar dalam peningkatan kecerdasan dapat ditemukan dalam kisah Dan Hurley, seorang penulis sains dan jurnalis yang biasa menulis untuk New York Times Magazine dan Washington Post. Hal tersebut ia jelaskan dalam artikelnya di Guardian, 23 Januari 2014: "Can Reading Make You Smarter?"
Ketika masih bocah dulu pada periode 1960an, Hurley sering diledek karena “lambat dalam belajar” dan “kesulitan membaca”. Dia bahkan kesulitan membaca kata “the” kendati telah berusia delapan tahun. Lalu apa yang membantunya berubah? Komik Spider-Man.
Syahdan, salah seorang temannya ketika itu meminjamkannya sejilid komik Spider-Man. Hurley langsung tertarik dengan isinya, dan sejak itu mereka pun selalu menghabiskan waktu sepulang sekolah untuk membaca berbagai komik Spider-Man yang tersedia di perpustakaan. Perubahan dalam diri Hurley amat drastis. Ketika ia berusia 11 tahun, nyaris seluruh mata pelajarannya mendapat nilai A. Di perguruan tinggi, Hurley mencetak skor 136 pada tes IQ.
Tentunya komik tidak terlepas dari kritik. Salah satu kritik paling tajam mengenai komik pernah dilontarkan oleh seorang psikiater ternama, Frederic Wertham—sosok yang dianggap oleh para penggila komik sebagai “The Boogeyman of Comic”. Kritiknya klise belaka: komik dapat merusak moral anak muda, membuat kehidupan mereka tak terarah, dan berakhir dengan menggemari kekerasan. Entah bagaimana kritik Wertham (dia meninggal tahun 1981) seandainya ia melihat Grand Theft Auto—permainan yang amat populer di konsol Playstation.
Wertham mengklaim bahwa kritiknya tersebut berasal dari penelitiannya yang komprehensif. Namun, kesimpulan Wertham telah dibantah dalam artikel tahun 2013 yang ditulis oleh Dave Itzkoff, seorang jurnalis untuk isu-isu budaya populer dari New York Times, berjudul: Scholar Finds Flaws in Work by Archenemy of Comics.
Dalam artikel tersebut, Itzkoff turut meminjam argumen Carol Tilley, seorang profesor dan ahli komik dari University of Illinois. Sejak 2010, Tilley telah menelisik ulang seluruh riset Wertham dan menemukan fakta bahwa sang psikiater tersebut “telah "memanipulasi, melebih-lebihkan, merusak, dan mengarang bukti" demi membenarkan kritiknya terhadap efek komik bagi anak muda.
Kicauan "Jangan baca komik" Fahri Hamzah di Twitter terlontar tanpa dasar yang jelas. Tentu saja tidak relevan jika kicauan Fahri dibandingkan kritikan Wertham. Setidaknya Wertham masih menyediakan basis argumen yang jelas. Itulah selemah-lemahnya kritik.
Editor: Windu Jusuf