tirto.id - Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSBPS) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menyatakan Facebook masih menjadi media yang potensial untuk menyebarkan radikalisme. Temuan itu didapatkan setelah mereka mengadakan riset dalam rentang waktu September-November 2017.
"FB [Facebook] tetap menjadi yang dominan dibanding dua platform lain meskipun belakangan kalau target segmentasi ke generasi Z, Instagram akan lebih jauh dominan," kata salah satu peneliti PSBPS Subkhi Ridho di Aula Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Senin (4/12/2017).
Subkhi menerangkan, dari total 262 juta orang penduduk Indonesia, ada sekitar 132 juta orang merupakan pengguna internet dan 106 juta merupakan pengguna media sosial.
Dari angka itu, kata dia, sekitar 60 persen (108 orang/komunitas) merupakan produsen radikalisme dari Facebook, 36 (64 orang/komunitas) persen hanya sebagai penyebar radikalisme. Sementara konsumen sekitar 4 persen (8 orang/komunitas).
Di Twitter, angka produsen penyebar pandangan radikalisme sebesar 39 persen (79 orang/komunitas), distributor sekaligus produsen radikalisme sekitar 22 persen (43 orang/komunitas), distributor 29 persen (58 orang/komunitas). Sementara konsumen sebesar 10 persen (20 orang/komunitas).
Di sisi lain, untuk Instagram, produsen radikalisme sebesar 44 persen (30 user atau akun), 53 persen (25 akun atau orang) berperan sebagai distributor dan konsumen sebatas 3 persen (2 akun/orang). Pencarian tersebut diperoleh berdasarkan penelusuran penyampai pesan radikal di jagad media sosial.
Dalam temuan mereka, latar belakang yang memproduksi dan menyebarkan pesan radikal adalah sarjana dengan dominasi laki-laki. Para responden diduga terpengaruh buku-buku dan tokoh. Mereka menggunakan referensi sejarah, YouTube dan tokoh-tokoh agama.
Medsos Jadi Alat Penyebaran Konten di Website
Sementara peneliti lain Agus Triyono menegaskan, media sosial tidak hanya menjadi faktor kunci, tetapi juga menjadi penghubung untuk menyebarkan konten-konten dari website atau portal radikalisme.
"Keduanya (sosmed-website) memerahkan yang sama dalam konteks radikalisme," Kata Agus di Aula Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Senin (4/12/2017).
Menurut Agus, website dan media sosial mempunyai segmentasi yang berbeda. "Di generasi Z sekarang dia tidak membaca di website. Dia membaca di link yang disebarkan oleh orang lain. Jadi misalkan saya public figure, guru, follower saya jutaan itu saya share link berita baru kemudian mereka merefer ke sana," kata Agus.
"Mereka tidak langsung datang ke website dulu, membaca beritanya. Sehingga public figure mempengaruhi narasi apa yang berkembang," lanjut Agus.
Agus menerangkan, website Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah yang menyajikan informasi kontra radikalisme tidak akan dilihat oleh generasi milenial sekarang. "Website menentukan narasi apa yang dibangun karena sosmed itu kemudian merefer pada narasi yang dibangun di website," kata Agus.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Alexander Haryanto