tirto.id - Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Ciptaker) selesai dibahas di tingkat I pada 3 Oktober 2020 pukul 22.50 WIB. Terkait hal ini, para buruh akan melakukan aksi demo dan mogok kerja di berbagai daerah pada 6 sampai 8 Oktober 2020, menolak RUU yang dianggap memuat sejumlah pasal bermasalah atau kontroversial.
Demo para buruh yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) bersama Jaringan Aliansi Tingkat Provinsi-Kota bakal demo pada 6, 7 dan puncaknya digelar di DPR RI pada 8 Oktober 2020.
Sebelumnya, pemerintah menyerahkan Surat Presiden, RUU Cipta Kerja, dan Naskah Akademik kepada DPR RI, pada tanggal 12 Februari 2020.
RUU Cipta Kerja ini dirancang untuk dapat menjawab kebutuhan pekerja, UKM, hingga industri, dikutip dari website Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia.
Namun RUU Cipta Kerja disebut memuat sejumlah pasar bermasalah atau kontroversi. Berikut pasal yang disebut bermasalah mulai dari UU Ketenagakerjaan, Lingkungan Hidup, UU Pers dan Pendidikan.
Pasal Bermasalah Tentang Ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja
Pasar 77A
RUU Cipta Kerja menambahkan pasal 77A yang memungkinkan peningkatan waktu kerja lembur untuk sektor tertentu. Pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu.
RUU Cipta Kerja juga akan menghapuskan batas waktu maksimal untuk pekerja kontrak serta aturan yang mewajibkan sistem pengangkatan otomatis dari pekerja kontrak sementara ke status pegawai tetap. Ketentuan baru ini akan memberikan kekuasaan pada pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak sementara untuk jangka waktu tak terbatas.
Pasal 88C
RUU Cipta Kerja juga menambahkan pasal 88C yang menghapuskan upah minimum Kota/Kabupaten (UMK) sebagai dasar upah minimum pekerja.
Hal ini dapat menyebabkan pengenaan upah minimum yang dipukul rata di semua kota dan kabupaten, terlepas dari perbedaan biaya hidup setiap daerah.
Pasal 88D
Dalam RUU Cipta Kerja, tingkat inflasi tidak lagi menjadi pertimbangan dalam menetapkan upah minimum.
“Penghapusan inflasi dan biaya hidup sebagai kriteria penetapan upah minimum akan melemahkan standar upah minimum di provinsi dengan pertumbuhan ekonomi mendekati nol atau negatif, seperti Papua,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
“Ketentuan ini otomatis akan menurunkan tingkat upah minimum. Konsekuensinya, banyak pekerja yang tidak lagi cukup untuk menutupi biaya hidup harian mereka. Hak mereka atas standar hidup yang layak akan terdampak. Situasi ini bertentangan dengan standar HAM internasional.”
Pasal 91
Pasal 91 dari UU Ketenagakerjaan dihapus. Pasal ini memuat tentang kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja dengan gaji yang sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 93 Ayat 2
RUU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan cuti yang tertuang dalam pasal 93 ayat 2 UU Ketenagakerjaan. RUU ini menghapus cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan (a).
RUU ini juga menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan/keguguran kandungan, hingga bila ada anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia (huruf b).
Ketentuan cuti khusus atau izin lain yang dihapus adalah menjalankan kewajiban terhadap negara (huruf c); menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya (huruf d); melaksanakan tugas berserikat sesuai persetujuan pengusaha (huruf g); dan melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan (huruf h).
Pasal Bermasalah Tentang Lingkungan Hidup di RUU Cipta Kerja
Pasal 88
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dapat menjerat pelaku pembakar hutan dan lahan (karhutla) tetapi pemerintah menghapusnya di RUU Cipta Kerja.
Bunyi pasal 88 UU PPLH adalah, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Namun pemerintah menghapus ketentuan “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” sehingga pasal 88 tersisa, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.”
Pasal 93
Pemerintah dikritik karena ada upaya penghapusan partisipasi publik. Pasal 93 ayat (1) menyatakan “Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara.”
Namun, pada RUU Cilaka hanya ditulis, “Pasal 93 Dihapus.”
“Ini adalah hal yang paling konyol. RUU ini pantas disebut sebagai RUU Cilaka, karena pengesahannya hanya memperhatikan dan mengakomodasi kepentingan bisnis,” ucap Manajer Kampanye Pangan Air dan Ekosistem Esensial Nasional Walhi Wahyu A. Perdana dalam keterangan tertulis, Jumat (14/2/2020).
Pasal Bermasalah Tentang Pers di RUU Cipta Kerja
Pasal 11
Ketua AJI Bengkulu, Harry Siswoyo mengatakan RUU Cipta Kerja berpotensi mengancam nilai-nilai kebebasan pers bagi jurnalis, karena akan terjadi perubahan isi dari Pasal 11 UU Pers.
"Sebelumnya berbunyi penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal berubah menjadi pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal," kata dia.
Pengubahan pasal ini, menurut Harry, berpotensi membuat pemerintah kembali mengatur pers seperti sebelum UU Pers pada tahun 1999 dirancang oleh insan pers dan kemudian menjadi pedoman seluruh pekerja pers hingga saat ini.
pasal 18
perubahan juga terjadi pada pasal 18 UU pers. Point pertama, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
Berubah menjadi, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2 milliar.
Poin kedua, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500 juta, berubah menjadi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp2 milliar.
Kemudian, point ketiga perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100 juta, berubah menjadi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif.
"Serta ada penambahan di point keempat, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah," jelasnya.
Lebih lanjut, Hary menilai perubahan poin-poin dalam pasal ini jelas melanggar semangat UU Pers sebelumnya, yang mengatur bahwa sengketa pers lebih didorong pada upaya korektif dan edukasi.
Jika pun berkaitan dengan denda, maka itu dibuat seprofesional mungkin, dengan kata lain tidak bermaksud untuk membangkrutkan perusahaan pers.
Pasal Bermasalah Tentang Pendidikan di RUU Cipta Kerja
Pasal 51 ayat (1)
Pengelolaan satuan pendidikan formal dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 62 ayat (1)
Syarat untuk memperoleh Perizinan Berusaha meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.
Pasal 71
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Hidayat Nur Wahid (HNW) mengatakan Ketentuan tersebut pada intinya menyebutkan bahwa penyelenggara satuan pendidikan formal dan nonformal, termasuk pendidikan keagamaan seperti Pesantren, yang didirikan oleh masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan. Pesantren juga wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
Apabila, satuan pendidikan tersebut didirikan tanpa Perizinan Berusaha, maka penyelenggara dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar.
HNW menilai ketentuan umum ini sangat berbahaya dan perlu menjadi perhatian bersama. Apalagi, khusus untuk Pesantren sudah ada UU tersendiri, yakni UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang sama sekali tidak mencantumkan sanksi pidana, melainkan pembinaan dan sanksi administratif.
“Jadi RUU Ciptaker ini tak sesuai dengan ketentuan dalam UU Pesantren,” ujarnya.
RUU Cipta Kerja ini bisa didownload melalui link berikut:
NOTE: Artikel ini dipublish sebelum pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta KerjaEditor: Agung DH