tirto.id -
Sejumlah fraksi sempat menolak pengesahannya. Selain itu, ia juga ditolak luas oleh buruh, mahasiswa, dan aktivis di seluruh Indonesia. Mereka menilai peraturan ini akan merugikan pekerja, mengancam HAM, serta lingkungan.
Menurut Staf Ahli Kementerian Koordinator Perekonomian yang mewakili Pemerintah, Elen Setiadi, ada tujuh poin perubahan yang diubah dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan UU Ciptaker.
Pertama, terkait program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). "Substasi pokok yang kami usulkan adalah program Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang belum diatur dalam UU Ketenagakerjaan," kata Elen dalam Rapat Panitia Kerja RUU Ciptaker, di Jakarta, Sabtu (3/10/2020).
Menurutnya program itu dibutuhkan karena akan memberikan manfaat bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Lewat program ini pekerja akan diberikan upah setiap bulan tergantung kesepakatan, pelatihan peningkatan kapasitas sesuai pasar kerja, dan kemudahan mendapatkan pekerjaan baru.
Poin kedua terkait waktu kerja. "Dalam perubahan di RUU Ciptaker, selain waktu kerja yang umum (paling lama 8 jam/hari dan 40 jam/minggu), diatur juga waktu kerja untuk pekerjaan yang khusus, yang waktunya dapat kurang dari 8 jam/hari (pekerjaan paruh waktu, ekonomor digital) atau pekerjaan yang melebihi 8 jam/hari seperti migas, pertambangan, perkebunan, pertanian, dan perikanan," ujarnya.
Poin ketiga terkait penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Menurutnya dalam UU 13/2003 masuknya TKA ahli yang diperlukan dalam keadaan mendesak sulit dan menyebabkan terhambatnya masuknya calon investor ke Indonesia. Dalam peraturan baru, kemudahan mempekerjakan TKA diatur, hanya untuk TKA ahli yang memang diperlukan untuk kondisi tertentu seperti kondisi darurat, vokasi, peneliti, dan investor.
Poin selanjutnya terkait Pekerja Kontrak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). "Ke depan kami ingin melakukan perubahan karena perkembangan teknologi digital khususnya industri 4.0 menimbulkan jenis pekerjaan baru yang bersifat tidak tetap dan membutuhkan PKWT. Kami ingin pekerja kontrak diberikan hak dan perlindungan sama dengan pekerja tetap seperti upah jaminan sosial, perlindungan K3, termasuk kompensasi hubungan kerja," katanya.
Poin kelima terkait pekerja alih daya atau outsourcing. Menurutnya di UU 13/2003 dan belum ada penegasan atas kesamaan jaminan hak dan perlindungan bagi mereka seperti hak upah, jaminan sosial, dan perlindungan K3.
Poin keenam terkait upah minimum. Ia mengatakan peraturan upah minimum tidak dapat diterapkan pada usaha kecil dan mikro, dan kenaikannya menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.
"Dalam RUU Ciptaker, UM tidak dapat ditangguhkan, kenaikannya menggunakan formulasi pertumbuhan ekonomi daerah dan produktivitas, basis UM pada tingkat provinsi dan dapat ditetapkan UM pada kabupaten/kota dengan syarat tertentu, dan upah untuk UMKM tersendiri," ujarnya.
Poin terakhir terkait pesangon PHK. Di UU 13/2003 pemberiannya sebanyak 32 kali upah dan menurutnya sangat memberatkan pelaku usaha dan mengurangi minat investor untuk berinvestasi. Ia bilang peraturan baru menyesuaikan itu dan menambahkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Omnibus Law Cipta Kerja Ancam HAM
Ciptaker merevisi 79 undang-undang yang dianggap dapat menghambat investasi, termasuk tiga undang-undang terkait ketenagakerjaan: UU Ketenagakerjaan, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional. Ciptaker disusun menjadi 11 klaster yang terdiri dari 1.244 pasal.
Pemerintah selalu berdalih bahwa Ciptaker bertujuan untuk meningkatkan investasi dan mempermudah bisnis. Namun menurut Amnesty Internasional Indonesia peraturan ini ini justru akan mengebiri hak-hak pekerja.
"Pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM, karena akan memberikan lebih banyak ruang bagi perusahaan dan korporasi untuk mengeksploitasi tenaga kerja. Jika disahkan, RUU ini bisa membahayakan hak-hak pekerja," ujar Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia. Pernyataan in disampaikan sebelum RUU disahkan.
RUU tersebut dapat merampas hak pekerja atas kondisi kerja yang adil dan menyenangkan yang dijamin dalam Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), kata mereka. Kondisi yang dimaksud termasuk upah yang adil, upah yang sama untuk beban kerja yang sama, lingkungan kerja yang aman dan sehat, pembatasan jam kerja yang wajar, perlindungan bagi pekerja selama dan setelah masa kehamilan, dan persamaan perlakuan dalam lingkungan kerja.
Ciptaker menghapus Upah Minimum Sektoral Kota atau Kabupaten (UMSK) (Pasal 89 UU 13/2003). Hal ini dapat menyebabkan pengenaan upah minimum yang dipukul rata di semua kota dan kabupaten, terlepas dari perbedaan biaya hidup setiap daerah.
“Penghapusan inflasi dan biaya hidup sebagai kriteria penetapan upah minimum akan melemahkan standar upah minimum di provinsi dengan pertumbuhan ekonomi mendekati nol atau negatif, seperti Papua,” kata Usman. “Ketentuan ini otomatis akan menurunkan tingkat upah minimum. Konsekuensinya, banyak pekerja yang tidak lagi cukup untuk menutupi biaya hidup harian mereka. Hak mereka atas standar hidup yang layak akan terdampak,” kata Usman.
Ciptaker juga menghapuskan batas waktu maksimal seseorang berstatus pekerja kontrak (Pasal 59 UU 13/2003). Ketentuan baru ini akan memberikan kekuasaan pada pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak untuk jangka waktu tak terbatas.
Aturan seperti ini berpotensi menyebabkan perlakuan tidak adil, misalnya mereka tidak mendapat perlindungan yang memadai, termasuk pensiun, cuti tahunan selama 12 hari (untuk pekerja sementara yang bekerja di bawah satu tahun), dan kompensasi untuk pemutusan hubungan kerja.
Ini merupakan kemunduran dari undang-undang yang ada dan, lagi-lagi, bertentangan dengan standar HAM internasional, kata Usman.
Di pasal lain, ada pula ketentuan yang dapat membuat pekerja untuk bekerja lebih lama. Itu adalah peraturan mengenai batas maksimal waktu lembur dari tiga jam per hari seperti yang ditetapkan oleh UU Ketenagakerjaan menjadi empat jam per hari, serta dari 14 jam menjadi 18 jam per minggu--Pasal 78.
Tidak hanya itu, pasal yang sama juga menyebut RUU ini juga mengatur bahwa untuk sektor tertentu, perusahaan akan diberikan keleluasaan untuk membuat skema sendiri terkait penghitungan besaran kompensasi lembur.
“Keleluasaan yang diberikan kepada perusahaan dalam menentukan skema penghitungan dapat merugikan pekerja di sektor tertentu karena mereka bisa saja diharuskan bekerja lebih lama dan menerima upah lembur yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja dari sektor lain,” kata Usman.
Atas dasar itu semua Usman menilai "pemerintah dan DPR harus segera mengkaji ulang pasal-pasal."
Bagi Anda yang ingin melihat isi UU Ciptaker bisa mengunduhnya melalui link berikut ini.
Masyarakat yang ingin melihat rekam jejak pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan mengunduh draft bisa melalui link berikut ini.
==========
(Revisi 6 Oktober 2020 pukul 17:36: Beberapa bagian kami ubah, termasuk soal cuti haid dan melahirkan yang sebelumnya disebutkan akan dihapus dalam UU Ciptaker. Sehari setelah disahkan DPR belum juga mengunggah versi final UU Ciptaker. Ketentuan-ketentuan yang kami kutip berdasarkan draf terakhir yang diunggah di situs resmi DPR.)
Editor: Agung DH